Jumat, 02 Maret 2018

SEJARAH AGAMA (Bagian 1)





Mungkin di antara pembaca ada yang merasa bahwa judul tulisan ini konyol dan hanya berisi omong kosong belaka. Tetapi sampai kapan kita dapat menolak suatu kebenaran dan fakta-fakta yang ditemukan? Sampai kapan kita bisa memasang kaca mata kuda, mempertahankan pemahaman-pemahaman fanatisme dan doktrin-doktrin yang sebenarnya keliru?  

Saya di sini ingin mengajak para pembaca untuk membuka wawasan pengetahuan, terlepas dari semua konsep-konsep fanatisme, doktrin-doktrin yang selama ini banyak mempengaruhi cara berfikir kita. Berhentilah menjadi fanatik, dan menyalahkan agama lain tanpa adanya bukti, dan fakta-fakta yang jelas, karena pada dasarnya semua agama bersumber pada Tuhan Yang Satu, Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Sumber dari segalanya. Semua agama itu esensinya mengajarkan hal yang sama, yaitu kebaikan dan kasih sayang. Tidak ada satu agamapun yang mengajarkan kejahatan, mencuri, membunuh, dsb.  

Memang benar agama Islam adalah agama yang terakhir sehingga paling sempurna, namun janganlah kita menjadi sombong, karena kesombongan justru akan menjerumuskan kita kepada kebodohan dan kemalasan untuk mempelajari esensi dari ajaran Islam itu sendiri. Tanpa memahami esensi ajaran Islam, maka kita tidak berhak mengakui kesempurnaan Islam. Esensi ajaran Islam itu sendiri pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari agama-agama yang telah diturunkan sebelumnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama Islam dan agama-agama lain yang diturunkan sebelumnya bersifat saling melengkapi.

Hal ini ditegaskan dalam kitab suci Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 2 sampai 4 sebagai berikut:   

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu, dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.  

Jelas dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa orang yang bertaqwa harus beriman kepada Al Qur’an dan juga kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Dengan kata lain, bahwa disamping Al Qur’an terdapat rujukan kitab-kitab sebelumnya yang telah diturunkan Tuhan kepada umat-umat sebelumnya (agama sebelumnya) yang juga perlu kita pelajari. Karena bagaimana mungkin kita dapat beriman kepada kitab-kitab sebelumnya, tanpa kita mempelajari dan memahaminya terlebih dahulu?  

Rasulullah Muhammad SAW sendiri mengajarkan “Belajarlah kalian sampai ke negeri Cina”.

Kenapa Rasulullah menghendaki umatnya belajar ke negeri Cina? Ada apa di negeri Cina?

Pada dasarnya terdapat tiga hal yang menjadi esensi pesan Rasulullah, sebagai berikut:   

Pertama, dalam menempuh perjalanan dari Arab ke negeri Cina, akan melintasi beberapa negeri, antara lain India tempat berkembangnya agama Hindu, dan di negeri Cina sendiri berkembang agama Budha. Artinya umat Islam dapat mempelajari agama-agama yang diturunkan sebelum Islam.  

Kedua, di negeri Cina maupun negeri-negeri yang dilintasi dalam perjalanan dari Arab ke negeri Cina terdapat banyak ilmu pengetahuan yang tidak ada di negeri Arab, dan perlu dipelajari guna memperkaya wawasan ilmu pengetahuan umat Islam.  

Ketiga, baik di negeri Cina maupun negeri-negeri yang dilintasi dalam perjalanan dari Arab ke negeri Cina, umat Islam dapat memperkenalkan ajaran agama Islam (dakwah) sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Tuhan YME melalui rasul-Nya Muhammad SAW.  

Terbukti apa yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW tersebut membawa hasil yang menakjubkan di kemudian hari, dimana kekhalifahan Islam berjaya menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dunia, serta agama Islam dapat diterima dan berkembang di negeri India dan Cina. Bahkan menurut sejarah, penyebaran agama Islam di Indonesia tidak terlepas dari jasa ulama-ulama Islam yang berasal dari negeri Cina dan India (Gujarat).     

Dari pesan Rasulullah di atas, dapat disimpulkan juga bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah sejalan dengan Agama, atau bukan merupakan hal yang saling bertentangan. Karena baik agama maupun ilmu pengetahuan bersumber pada Tuhan Yang Satu (Allah SWT, Allah Bapa, Yahweh, Sang Hyang Widi, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Kersa, atau nama lainnya). Jadi bagaimana mungkin agama dengan pengetahuan saling bertentangan? Dengan demikian, semestinya apa yang diajarkan oleh agama itu adalah logis atau bisa diterima oleh akal. Bila ada suatu ajaran agama yang tidak logis, maka itu pasti adalah doktrin yang dimasukkan atas kepentingan seseorang, kelompok/golongan, atau bukan ajaran dari Tuhan yang disampaikan melalui nabi atau rasul-Nya.   

Pertanyaan pertama yang mungkin ada di benak pembaca terkait dengan topik Sejarah Agama adalah Sejak Kapankah Agama ada?

Merujuk pada kitab suci Al Qur’an dan Al Kitab adalah sejak Adam dan Hawa diturunkan ke bumi dan diamanahkan oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.  

Pertanyaan berikutnya, adalah kapan Adam dan Hawa diturunkan ke bumi?

Dalam Al Kitab (Kitab Kejadian 1 : 27) disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) pada hari ke enam, setelah bumi diciptakan terlebih dahulu. Kemudian pada Kitab Kejadian 2 : 7 - 22 dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia (Adam) kemudian menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan mereka ditempatkan di taman Eden. Pada kitab Al Qur’an dijelaskan pula bahwa ketika Adam diciptakan, malaikat dan iblis sudah diciptakan terlebih dahulu, kemudian mereka diperintahkan Tuhan untuk sujud kepada Adam.   

Pada sisi lain, berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan, menyimpulkan bahwa manusia (homo sapien) terwujud karena proses evolusi, bermula dari bentuk mahluk hidup paling sederhana (mahluk bersel satu), berkembang menjadi mahluk tanpa tulang (invertebrata), berkembang lagi menjadi mahluk hidup dalam air, berkembang lagi menjadi mahluk hidup di darat tanpa kaki (melata), berkaki dua, berkaki empat, hingga berbentuk manusia purba, dan akhirnya menjadi manusia yang seperti sekarang ini (homo sapien).

Apakah hasil penelitian ilmuwan ini bertentangan dengan agama?  

Tentu saja tidak, karena apa yang dijelaskan dan disebutkan hari dalam Al Kitab (Kitab Kejadian 1) itu sebenarnya adalah 1 Hari Illahi atau yang dikenal dalam agama Hindu sebagai 1 Hari Brahma atau sama dengan 1.000 Mahayuga. Dengan mengacu pada perhitungan yang pernah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi, bahwa 1 Mahayuga = 43.800 tahun, maka 1  Hari Brahma adalah sama dengan 43,8 juta tahun. Jadi bila dalam kitab Al Kitab dijelaskan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan pada hari ke enam, sebenarnya menjelaskan bahwa manusia (homo sapien) baru ada dalam kurun waktu 262,8 juta tahun sejak bumi terbentuk. Bumi sendiri terbentuk melalui proses evolusi alam semesta yang memerlukan waktu sangat panjang sejak alam semesta awal diciptakan. Dengan demikian, sebenarnya semua bentuk fisik yang ada saat ini tidak seketika tercipta, namun melalui proses evolusi hukum alam, yang menjadi ketetapan dari sang Pencipta (Sunatullah).    

Pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah taman Eden tempat awal Adam dan Hawa ditempatkan?

Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa ketika pertama kali Adam diciptakan, Tuhan memerintahkan malaikat dan iblis sujud kepada Adam, atau dengan kata lain Adam pernah berada pada satu tempat bersama para malaikat dan iblis.

Apakah taman Eden itu di bumi?

Tentu saja bukan, karena pada penjelasan lain dalam kitab suci disebutkan bahwa Adam dan Hawa diturunkan ke bumi karena melanggar perintah Tuhan ketika masih berada di surga. Mungkin diantara pembaca merasa bingung terhadap apa yang dijelaskan dalam Al Kitab, khususnya antara Kitab Kejadian 1 yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan pada hari ke-enam (setelah penciptaan langit dan bumi, tumbuhan dan hewan, serta segala isinya), sementara pada Kitab Kejadian 2 (lanjutan dari Kitab Kejadian 1) menyebutkan bahwa manusia (Adam dan Hawa) diciptakan setelah hari ke-tujuh, dan mereka ditempatkan di Taman Eden.

Mana yang benar, manusia diciptakan pada hari ke-enam atau setelah hari ke-tujuh?

Bila merujuk pada teori evolusi, maka terbentuknya manusia (Adam dan Hawa) pada kurun waktu 262,9 juta tahun sejak bumi terbentuk, tentunya tidak hanya seorang diri namun dalam jumlah tertentu (jamak). Disinilah kita harus memahami secara seksama, bahwa apa yang dijelaskan dalam kitab suci tentang Adam, sesungguhnya tidak memiliki hanya satu arti (makna).  Demikianlah keunikan kitab suci, terdapat beberapa lapis makna dalam ayat-ayat-Nya. Dan untuk memahaminya kita tidak dapat hanya mengandalkan akal kita saja yang sangat terbatas, karena akal kita tidak akan mampu memahami semua petunjuk Tuhan yang disampaikan-Nya melalui kitab suci.

Kenapa demikian? Karena untuk hal-hal yang mendalam, termasuk hal-hal yang gaib, Tuhan menghendaki kita untuk belajar lebih sungguh-sungguh, bukan ala kadarnya saja, kita harus memperkaya wawasan pengetahuan seluas mungkin dengan membaca berbagai literatur tanpa dibatasi oleh konsep-konsep, doktrin-doktrin yang membelenggu kita. Di samping itu, kita juga harus berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan YME agar diberi petunjuk/bimbingan oleh-Nya untuk mendapatkan seorang Guru spiritual yang mumpuni dan dapat mengantarkan kita pada kunci ilmu yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita semua. 

Sehubungan dengan kunci ilmu ini, sesungguhnya Al Qur’an sudah memberi petunjuk dalam surat Al Hajj : 46, berikut:
  
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.   

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa manusia memiliki hati yang dianugerahkan Tuhan untuk memahami. Sekali lagi saya tegaskan, Hati untuk memahami!!! Tuhan tidak mengatakan otak atau akal untuk memahami. Karena Hati lah kunci dari semuanya, Hatilah kunci hubungan kita kepada Tuhan. Melalui hatilah Tuhan akan memberi petunjuk kepada kita semua. Bagaimana cara menggunakan hati kita? Inilah yang perlu kita pelajari secara seksama, dan memerlukan bimbingan dari seorang Guru yang mumpuni.  

Kembali ke topik, beberapa hal yang saya jelaskan berikut ini memang tidak dapat ditemukan dalam kitab suci manapun. Dalam tulisan ini, saya juga membatasi pada hal-hal yang boleh dijelaskan, karena untuk hal-hal yang mendalam para pembaca harus memahaminya melalui pengalaman langsung, atau dengan kata lain melalui petunjuk/bimbingan langsung dari Tuhan.    

Sebagai pengantar, dan sekaligus untuk menjawab pertanyaan tentang kisah Adam di atas, saya ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya terdapat 3 (tiga) makna dari Adam yang dijelaskan dalam kitab suci, sebagai berikut:   

Pertama, Adam dalam pengertian Ruh atau Diri Sejati kita (bukan mahluk fisik) yang diciptakan Tuhan di alam Ruh, sebelum alam semesta fisik dan keberadaan ini diciptakan. Inilah makna sesungguhnya yang dikisahkan pada Kitab Kejadian 2. Dengan demikian, Kitab Kejadian 2 dan 3 sesungguhnya adalah penjelasan dari Kitab Kejadian 1 yang mengungkap hakikat penciptaan manusia (Adam dan Hawa), dimana yang diceritakan di sini semuanya bermakna simbolik. Atau bukan kelanjutan dari Kitab Kejadian 1, sehingga rancu bila ditafsirkan kisah Adam dan Hawa di Taman Eden terjadi setelah hari ke-7.    

Kedua, Adam dalam pengertian manusia (mahluk fisik) yang terbentuk melalui proses evolusi, dalam hal ini tidak merujuk pada satu orang, karena terbentuknya manusia (homo sapien) sekaligus dalam bentuk jamak. Inilah yang dijelaskan pada Kitab Kejadian-1, Tuhan menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) pada hari ke-6. 

Ketiga, adalah Adam merujuk pada nabi Adam a.s. yang merupakan nabi pertama setelah manusia terbentuk dari proses evolusi dan ditugaskan Tuhan untuk mengajarkan agama dari Tuhan YME. Inilah yang dijelaskan pada Kitab Kejadian 4 dan seterusnya. 

Dengan demikian, adalah anggapan yang keliru bila mengatakan bahwa pada zaman Nabi Adam a.s, di bumi ini hanya ada satu pasang manusia, yaitu Adam dan Hawa. Karena sesungguhnya pada zaman tersebut telah cukup banyak manusia (homo sapien) yang terbentuk melalui proses evolusi. Hal ini sesuai dengan penjelasan pada Kitab Kejadian 1 yang menyebutkan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan pada hari ke-6 setelah penciptaan langit dan bumi, tumbuhan dan hewan, serta segala isinya).

Adapun pengertian Adam sebagai Ruh, inilah sesungguhnya awal dari sejarah agama, ketika Ruh atau Diri Sejati kita semua masih berada di alam Ruh, ketika Ruh kita masih bersama Tuhan, ketika agama disampaikan langsung oleh Tuhan kepada kita, jauh sebelum alam semesta dan keberadaan diciptakan, ketika itu belum ada yang berbentuk fisik. Pengertian Adam sebagai Ruh di sini juga bermakna jamak, karena ini bermakna Ruh atau Diri Sejati kita semua, yaitu Ruh saya, Ruh semua pembaca, Ruh semua manusia di bumi, dan Ruh semua mahluk yang berkesadaran.   

Pada beberapa kitab spiritual, dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap manusia terdiri dari Tubuh Fisik, Jiwa, dan Ruh. Tubuh fisik ini seperti pakaian yang akan rusak, dimana ketika tubuh fisik kita mati, maka akan digantikan dengan tubuh fisik yang baru sejalan dengan proses reinkarnasi (Baca Catatan saya tentang Reinkarnasi). Sedangkan Jiwa dan Ruh kita tetap ada dan tidak pernah mati. Semua ingatan (memori) dalam perjalanan proses reinkarnasi juga tetap ada dan tersimpan dalam ingatan (memori) dari Jiwa dan Ruh kita. Namun, karena kehendak Tuhan, semua memori ini tertutup dan hanya bisa diakses atas izin Tuhan. Hal ini juga telah dijelaskan dalam catatan saya tentang Reikarnasi.  

Perihal Ruh atau Diri Sejati kita ini termasuk bagian dari rahasia Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dari Al Qur’an pada Surat Al Israa : 85 berikut :  

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."   

Kenapa Ruh termasuk bagian dari rahasia Tuhan?

Ini disebabkan di dalam Ruh atau Diri Sejati kita terdapat percikan Dzat Tuhan. Dalam beberapa buku Spiritual menyebutkan Ruh kita sebagai Atma. Pada beberapa aliran kepercayaaan disebutkan bahwa barang siapa yang dapat mengenal Ruh atau Diri Sejatinya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Sehingga terdapat konsep Manunggaling Kawula Gusti, atau manunggalnya antara hamba dengan Tuhannya. Namun perlu saya ingatkan agar pembaca berhati-hati dalam memahami konsep ini, karena sesungguhnya Ruh/ Diri Sejati atau Atma berbeda dengan Tuhan YME Sang Pencipta. Dengan demikian, bila ada orang-orang yang mengaku sudah ma’rifat (mengenal) Tuhan, apalagi mengaku sudah manungaling dengan Tuhan, pastilah mereka telah keliru, karena yang dianggap sebagai Tuhan oleh mereka adalah Ruh/Diri Sejati atau Atmanya.  

Memang terdapat beberapa orang yang atas izin Tuhan YME, mereka diperkenankan untuk mengenal percikan Dzat Tuhan yang ada di dalam Ruh (Diri Sejati)-nya. Nah inilah sesungguhnya tingkatan spiritual tertinggi (pencerahan) yang dapat dicapai oleh sang hamba (manusia). Karena tak ada satupun mahluk Tuhan termasuk para malaikat yang sanggup mengenal Tuhan secara utuh. Dia Yang Maha Besar di luar jangkauan hamba-Nya, tak dapat dibayangkan seperti apa, dan kita sebagai hamba hanya mampu mengenal percikan Dzat-Nya, yang bila dibandingkan dengan Tuhan Sang Pencipta, percikan Dzat-Nya ini bagaikan sebutir debu di hadapan Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk menjadi sombong, mengaku sudah mengenal Tuhan, apalagi mengaku manunggal dengan Tuhan, dan berkata “Ana’l Haq” atau akulah Kebenaran. Ini jelas pemahaman yang keliru!!!.  

Namun bagaimanapun, Ruh atau Diri Sejati kita adalah suatu yang istimewa, karena Tuhan menganugerahkan suatu yang istimewa di dalam Ruh (Diri Sejati) kita, yaitu percikan dari Dzat Tuhan. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Shaad: 72:  

“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya (Adam/Ruh/Diri Sejati manusia) dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya”.  

Demikianlah, meskipun hanya kepada percikan Dzat-Nya, malaikat-malaikat bersujud kepada percikan Dzat-Nya, yang ada di dalam Ruh (Diri Sejati) kita. Inilah keistimewaan manusia yang dianugerahkan Tuhan dengan percikan Dzat-Nya.  

Adapun perihal Jiwa, pada dasarnya merupakan mediator antara Ruh (Diri Sejati) dengan tubuh fisik. Sebagaimana Ruh, Jiwa ini juga berbentuk non-fisik, atau termasuk hal yang ghaib. Saya tidak ingin menjelaskan secara rinci pengetahuan tentang Jiwa dan Ruh (Diri Sejati), karena hal ini merupakan pengetahuan yang harus dialami langsung oleh para pembaca, dimana kuncinya sudah saya sebutkan pada penjelasan sebelumnya di atas. Sebagai gambaran umum, sesungguhnya jiwa inilah yang ketika tubuk fisik kita meninggal akan mengalami siksaan (neraka) atau mendapatkan anugerah surga, sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing pada saat masih hidup di bumi. Sedangkan, yang kembali kepada Tuhan adalah Ruh (Diri Sejati) kita. Demikian penjelasan singkat tentang Ruh (Diri Sejati) dan Jiwa.   

Kembali ke topik, kita lanjutkan kisah Adam dalam arti Ruh (Diri Sejati) kita ketika masih di alam Ruh. Disana kita diberi berbagai kenikmatan dan keistimewaan oleh Tuhan, sehingga dalam kitab suci disimbolkan sebagai taman Eden. Namun kemudian terjadilah peristiwa yang menjadi awal dari segalanya, yaitu ketika Ruh (Diri Sejati) kita semua melanggar perintah langsung dari Tuhan (dalam kitab suci disimbolkan sebagai memakan buah khuldi), karena tergoda oleh bujuk rayu Iblis. Mungkin bila di antara pembaca yang peka dapat merasakan di hatinya terdalam ada suatu perasaan sedih dan rindu sewaktu membaca apa yang saya jelaskan ini. Itulah ingatan dari Ruh (Diri Sejati) kita ketika masih berada di Alam Ruh.   

Sejak itulah, dan karena kesalahan Ruh (Diri Sejati) kita sendiri, maka kita lari dari hadapan Tuhan. Jadi bukan, karena diusir oleh Tuhan!!! Kemudian karena Tuhan tidak dapat memaksa kita untuk kembali bersama-Nya, maka diciptakanlah alam semesta dan semua keberadaan ini yang ditujukan sebagai sarana bagi kita semua untuk belajar menyadari semua kesalahan kita, agar dapat bersedia kembali bersama-Nya.

Demikianlah begitu besar Kasih Sayang Tuhan kepada kita semua, sehingga Dia menciptakan segalanya hanya untuk kita.  Melalui alam semesta dan keberadaan inilah semua mahluk dapat belajar untuk memahami Kebesaran dan Kasih Sayang Tuhan, menyadari semua kesalahannya, berserah diri kepada Tuhan dan memilih Tuhan di atas segalanya, untuk dapat kembali bersama-Nya. Di alam semesta ini semua mahluk belajar melalui proses evolusi dan reinkarnasi, dan berlaku hukum sebab akibat, atau hukum karma. Setiap kali kita berbuat sesuai dengan perintah Tuhan, maka kita akan menerima manfaatnya, sebaliknya setiap kali kita melanggar perintah-Nya, maka kita juga akan mendapatkan ganjarannya. Siapa yang menanam maka dia akan memetik hasilnya!.   

Demikianlah kita mengalami proses evolusi dan reinkarnasi yang memakan waktu yang sangat panjang sehingga kita menjadi mahluk manusia (homo sapien). Semuanya merupakan proses pembelajaran yang harus kita lalui. Bila kita analogikan perjalanan proses evolusi dan reinkarnasi ini sebagai permainan video games, maka proses evolusi dan reinkarnasi ini adalah tingkatan-tingkatan (level) kesulitan yang harus kita lalui. Dan sekarang setelah kita dilahirkan sebagai mahluk manusia, ini harus kita syukuri karena kita sudah berhasil melalui level-level yang lebih rendah. Dalam wujud sebagai manusia inilah kita memiliki kesempatan untuk menyelesaikan pembelajaran spiritual dari Ruh (Diri Sejati) kita, yakni untuk kembali kepada Tuhan YME.     

Sejalan dengan itu, karena begitu besarnya Kasih Sayang Tuhan kepada kita semua, serta karena Tuhan Maha Tahu bahwa kita sebagai mahluk manusia akan menempuh pelajaran dalam tingkatan (level) yang lebih sulit, maka Tuhan merasa perlu untuk mengutus Nabi atau Rasul-Nya dalam menyampaikan petunjuk-petunjuk/ajaran Tuhan. Pada zaman awal keberadaan manusia inilah Tuhan memilih dan mengutus Nabi Adam a.s untuk mengingatkan semua manusia di muka bumi agar mengikuti petunjuk-petunjuk / ajaran Tuhan.    

Namun sayangnya memang sejarah pembelajaran kita sebagai manusia tidak berlangsung dengan baik, sehingga berulang-ulang kali kita tidak memperdulikan ajaran Tuhan yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya, dan banyak berbuat kerusakan di muka bumi. Sehingga berkali-kali juga bumi kita mengalami kehancuran (kiamat kecil) akibat dari ulah perbuatan kita sendiri. Inilah yang dikenal sebagai siklus Mahayuga, yaitu siklus dimulainya hingga berakhirnya peradaban manusia atau kembali ke zaman primitif (Baca catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi).   

Sekarang ini kita sudah memasuki siklus Mahayuga terakhir. Inilah kesempatan terakhir kita untuk menyelesaikan proses pembelajaran spiritual kita. Pada siklus Mahayuga terakhir ini, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak hanya menurunkan Nabi dan Rasul-Nya, namun Tuhan juga mengutus apa yang disebut dengan Avatar.   

Apakah itu Avatar?

Dalam beberapa kitab spiritual dijelaskan bahwa Avatar adalah manusia atau mahluk fisik penjelmaan dari Tuhan. Namun sekali lagi saya katakan bahwa Tuhan adalah Maha Besar, dan tak ada satu mahlukpun yang dapat membayangkan Ke-Besar-an dan Ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Oleh karena itu, saya lebih setuju menggunakan istilah bahwa Avatar adalah wakil langsung dari Tuhan yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan Tuhan (lebih tinggi daripada dewa-dewa, mahluk suci apapun, bahkan lebih tinggi dari malaikat-malaikat agung) yang diturunkan ke bumi dalam wujud mahluk fisik. 

Dalam kitab suci Weda, Avatar ini disebutkan sebagai penjelmaan dari dewa Wisnu. Dalam hal ini terdapat kerancuan terhadap penamaan dewa Wisnu, karena Wisnu bukanlah dewa melainkan nama simbolik dari Avatara yang merupakan wakil langsung dari Tuhan YME dan memiliki kedudukan jauh lebih tinggi di atas para dewa. Sebagaimana telah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi, bahwa dewa adalah mahluk Tuhan yang menempati alam dimensi yang lebih tinggi dari kita, sehingga mereka usianya bisa mencapai ribuan tahun, namun mereka juga sama dengan kita masih dalam tahap belajar untuk kembali kepada Tuhan YME, dan juga masih terikat pada siklus reinkarnasi. Artinya, kita yang dilahirkan sebagai manusia saat ini bisa jadi pada beberapa kehidupan sebelumnya (past life) pernah menjadi Dewa.

Kembali pada topik, merujuk pada kitab suci Weda, Avatar pertama yang diturunkan Tuhan ke muka bumi adalah Matsya Avatar yang diturunkan pada awal zaman Satya Yuga dalam Siklus Mahayuga terakhir (diperkirakan sekitar tahun 39.644 SM, dasar perhitungannya dapat dibaca pada catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi), atau dalam Al Kitab disebutkan sebagai zaman Nabi Nuh a.s. Pada masa itu Matsya Avatar dibantu oleh Nabi Nuh a.s mengajarkan agama pertama dalam siklus Mahayuga terakhir. Dengan demikian, terdapat jarak waktu yang sangat panjang (lebih dari 2 milyar tahun) antara Nabi Adam a.s yang diturunkan pada siklus Mahayuga pertama hingga Matsya Avatar. Sehingga dapat dikatakan bahwa Matsya Avatar inilah yang menurunkan agama pertama di muka bumi.   

Seperti yang pernah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi, bahwa tempat asal Nabi Nuh a.s sebelum terjadinya peristiwa banjir besar adalah di bumi Nusantara ini. Dengan demikian agama pertama yang diturunkan Matsya Avatar dibantu oleh Nabi Nuh a.s berlokasi di bumi Nusantara ini, yang dikenal sebagai ajaran SURAYANA. Adapun esensi dari ajaran SURAYANA sesungguhnya hampir sama dengan yang diajarkan sejak zaman Nabi Adam a.s, yaitu monotheisme (percaya pada Tuhan Yang Maha Esa), pengenalan kepada Tuhan YME, perbaikan akhlak/ budi pekerti, dan kasih sayang, karena bersumber pada Tuhan YME.  

Paska peristiwa banjir besar, ajaran SURAYANA ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan menjadi anutan banyak orang khususnya di wilayah India dan bumi Nusantara hingga memasuki akhir zaman Treta Yuga (13.364 SM), atau dalam kurun waktu sekitar 26.280 tahun. Dalam kurun waktu tersebut tercatat sebanyak 5 kali lagi Avatar diturunkan ke bumi (setelah Matsya Avatar) guna menjaga kemurnian esensi ajaran SURAYANA (Nama-nama Avatar ke-dua hingga ke-enam dapat dilihat di https://en.wikipedia.org/wiki/Avatar).

Kemudian pada akhir zaman Treta Yuga (13.364 SM) Tuhan menurunkan Avatar ke-tujuh, yang bernama Sri Rama dan diceritakan dalam kisah Ramayana. Pada zaman Avatar Rama ini peradaban manusia diperkirakan telah menguasai teknologi tinggi (lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini), serta terjadi peperangan yang dahsyat antara pasukan yang dipimpin Rama Sang Avatar dengan pasukan yang dipimpin Rahwana (Raja Asura). Garis besar cerita zaman Rama dapat dibaca dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi.

Sekitar 4.380 tahun setelah Sri Rama, diturunkan lagi  Avatar ke-delapan pada awal zaman Dwapara Yuga (8.984 SM), yaitu Sri Krishna, yang dikisahkan dalam kitab Mahabharata. Pada zaman Sri Krishna inilah ajaran SURAYANA dimurnikan, dikembangkan dan berganti nama menjadi ajaran SUNDAYANA, dengan simbol Matahari dan Bulan (Surya dan Chandra). Makna dari simbol Matahari dan Bulan akan dijelaskan nanti pada catatan terpisah. Sri Krishna adalah guru spiritual dari Pandawa Lima, serta memiliki dua orang murid utama, yaitu: Arjuna penengah Pandawa, dan Udawa keponakan Sri Krishna. Arjuna inilah yang sesungguhnya merupakan penulis pertama dari Kitab Bhagawad Gita, dan Mahabharata. Sedangkan Udawa adalah penulis dari Hamsa Gita. Kitab Bhagawad Gita dan Hamsa Gita ini berisi ajaran spritual Sri Krishna kepada Arjuna dan Udawa.  

Adapun negeri para Pandawa adalah Indraprasta yang dulunya merupakan hutan belukar (Hutan Kandawa) dan merupakan bagian dari wilayah kerajaan Hastinapura. Negeri Indraprasta ini diperkirakan berlokasi di wilayah Nusantara. Oleh karena itulah, kisah tentang Pandawa begitu melekat di hati masyarakat Indonesia, bahkan hingga saat ini. Di Jawa Timur terdapat gunung bernama Arjuna, di Sumbawa Timur terdapat kota bernama Bima, terdapat candi-candi di Jawa Tengah dengan nama-nama satria Pandawa, juga terdapat nama raja atau kerajaan Dharmawangsa, Dharmasraya (putra sulung Pandawa) di wilayah Jawa dan Sumatera.   

Dengan pengelolaan para Pandawa, negeri Indraprasta di bumi Nusantara mencapai puncak kejayaannya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dunia. Para leluhur kita menyebut zaman itu sebagai zaman Swargantara. Berita tentang kejayaan dan kemakmuran negeri Indraprasta tersebar ke seluruh dunia, dan terekam dalam catatan Plato, tentang keberadaan negeri Atlantis yang diperkirakan merujuk pada negeri Indraprasta. Atlantis sendiri berasal dari bahasa Sansekerta Atala, yang berarti negara yang makmur bagaikan surga atau tempat yang tinggi (banyak pegunungan). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya.   

Kisah tentang para Pandawa secara lengkap dapat dibaca dalam Kitab Mahabharata. Kisah kejayaan negeri Atlantis (Indraprasta) ini berakhir dengan terjadinya perang Bharata Yuda yang diduga melibatkan berbagai bentuk senjata pemusnah massal (nuklir), serta tenggelamnya pusat kerajaan Atlantis di Nusantara akibat bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami dan kenaikan muka air laut yang dipicu oleh pemanasan global dampak perang Bharata Yuda. Dalam catatan sejarah, peristiwa tenggelamnya negeri Atlantis ini dikenal sebagai periode akhir zaman es (sekitar 8.800 SM), yang mengakibatkan terpecahnya Benua Atlantis menjadi banyak pulau, antara lain: pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. 

Tenggelamnya pusat kerajaan Atlantis di Nusantara mengakibatkan terjadinya eksodus besar-besaran dari sebagian besar penduduknya ke seluruh penjuru dunia. Mereka yang eksodus ini membawa sisa-sisa peradaban dan iptek dari negeri Atlantis, serta menjadi cikal bakal perkembangan peradaban yang ada di wilayah Mesopotamia/Sumeria (5.500-2.500 SM), Mesir Kuno (3.150 SM), India Kuno (2.800-1.800 SM), serta Maya dan Aztec kuno di Amerika, yang oleh sebagian para ilmuwan disebutkan sebagai kebudayaan tertua di dunia. Mereka yang eksodus ini juga turut membawa/ menyebarkan ajaran SUNDAYANA dari Sri Krishna ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke wilayah Timur Tengah.

Sedangkan mereka yang masih tinggal/menetap di bumi Nusantata sepakat untuk tidak lagi mengembangkan iptek, karena menyadari bahaya dari iptek yang berujung pada peperangan. Mereka sepakat untuk menjalani kehidupan yang selaras dengan alam, atau dalam istilah sekarang dikenal sebagai “Back to nature”. Sejak periode 8.800 SM hingga sekitar 5.000 SM, belum ada sebuah kerajaan yang muncul di wilayah Nusantara. Periode selama sekitar 3.800 tahun ini disebutkan sebagai masa perenungan dari sisa-sisa bangsa Atlantis di Nusantara, mereka berfokus pada pendekatan diri kepada Tuhan YME (spiritual).

Kemudian pada periode tahun 5.000 SM, dikisahkan muncul kembali raja pertama di Nusantara bernama Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya, dengan pusat kerajaannya di daerah yang saat ini disebut dengan Parahyangan. Adapun arti kata Parahyangan sendiri terdapat beberapa penafsiran, pertama yaitu Pa = tempat; Ra = Cahaya (Sinar); Hyang = Tuhan; kedua yaitu Pa berasal dari singkatan nama Parikesit cucu dari Arjuna; RaHyang = Raja pandita (raja yang juga merupakan Guru Spiritual). Disebutkan bahwa Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya adalah turunan dari Prabu Parikesit (cucu Arjuna)

Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya selanjutnya berputra Maha Ratu Resi Prabu Sindhu La Hyang, yang kelak menurunkan Dinasti Warman. Prabu Sindhu inilah yang menyebarkan ajaran SUNDAYANA warisan dari Sri Krishna hingga menjadi agama utama di seluruh wilayah Nusantara, sehingga beliau diberi gelar sebagai Maha Ratu Resi (Guru Spiritual). Terdapat sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Prabu Sindhu adalah seorang Nabi yang diutus Tuhan YME untuk memurnikan ajaran dari Sri Krishna sang Avatar. Bila dilihat dari periode antara zaman Sri Krishna sang Avatar dengan zaman Prabu Sindhu (sekitar 5.000 SM) dimana ada rentang waktu yang cukup lama (sekitar 3.800 tahun), maka bisa jadi pendapat bahwa Prabu Sindhu adalah seorang Nabi adalah benar.

Adapun perihal nama ajarannya yang sama dengan apa yang diajarkan Sri Krishna (SUNDAYANA), kemungkinan disebabkan ajaran Prabu Sindhu tidak jauh berbeda dengan apa yang diajarkan Sri Krishna, sehingga masyarakat setempat (nusantara) masih menyebut ajaran Prabu Sindhu dengan nama SUNDAYANA. Sebagian ajaran SUNDAYANA hingga saat ini masih melekat pada ajaran/agama asli leluhur Nusantara, antara lain: Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu Bali, serta beberapa aliran kepercayaan yang ada di Nusantara. Nama Sindhu juga banyak diabadikan sebagai nama tempat di wilayah Nusantara, antara lain curug Cidulang (berasal dari kata Sindhu La Hyang) di Cicalengka, nama pantai di Bali, nama pantai di Pulau Natuna, dll.

Tidak hanya di Nusantara, Prabu Sindhu juga menyebarkan ajaran SUNDAYANA hingga ke negeri Jepang, dan ajarannya diberi nama Sinto, kemudian juga ke India, dan ajarannya diberi nama Shindu, kemudian berganti nama menjadi Hindu. Dengan demikian terdapat kekeliruan sejarah yang selama ini diajarkan di sekolah, bahwa sesungguhnya asal dari agama Hindu bukan dari India, melainkan dari negeri kita ini (Nusantara). Oleh karena itulah, agama Hindu yang ada di Indonesia (misal Hindu Bali) tidak sama dengan agama Hindu yang ada di India. Demikian juga apa yang disebut sebagai agama Hindu yang banyak dianut masyarakat pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu tidak sama dengan agama Hindu dari di India, namun lebih mirip dengan agama Hindu Bali.

(Dilanjutkan pada Bagian ke-2)......

2 komentar: