Jumat, 26 Januari 2018

ZAMAN AWAL PERADABAN BANGSA BUMI


Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi. Kapan itu? Sebagian ada yang mengatakan inilah yang disebut zaman Satya Yuga. Kapan itu zaman Satya Yuga? Satya Yuga adalah bagian dari siklus zaman yang terdiri dari: Satya Yuga, Tetra Yuga, Dwapara Yuga, dan Kaliyuga. Total 1 siklus disebut Maha Yuga. Umumnya satu siklus Mahayuga, dimulai dari peradaban manusia bangkit hingga hancur atau dihancurkan, atau sebut saja “Kiamat Kecil”. Dalam setiap Maha Yuga, terjadi perubahan yang signifikan terhadap bentuk permukaan bumi, lempeng benua (daratan) dan lautan. Berapa lama periode 1 Mahayuga? Nah ini ada perbedaan pendapat, yang akan saya jelaskan nanti.

Para Ilmuwan mengatakan bahwa usia bumi kita adalah sekitar 4,5 milyar tahun. Namun sumber lain yang dapat dipercaya mengatakan bahwa usia bumi kita sedikit lebih muda, yaitu sekitar 3,065 Milyar tahun. Inilah atau katakanlah sebagai zaman Satya Yuga pertama. Bukti kemajuan peradaban manusia yang cukup tinggi dan paling tua ditemukan pada periode lebih kurang 2,5 Milyar tahun yang lalu. Hal ini mengacu pada penemuan tambang dan reaktor uranium tertua di daerah Oklo, Rep. Gabon. Afrika. Para ilmuwan menyatakan, bahwa teknologi penambangan dan pengolahan uranium di sini telah menggunakan teknologi lebih tinggi dibandingkan teknologi yang ada sekarang ini. 

Bukti lainnya adalah penemuan fosil pesawat UFO, atau mungkin juga produk peradaban manusia sendiri yang berusia 300 juta tahun di daerah China.
 


Bukti lainnya adalah penemuan Palu Besi pada sebuah batu era cretaceous tidak jauh dari kota London, yang diperkirakan berusia 75-100 juta tahun. Palu besi ini dibuat secara presisi dengan teknolgi modern. Dan bukti lainnya adalah penemuan komponen metal mesin berusia 300-320 juta tahun di sebelah tenggara Moskow, Rusia.
 
Masih banyak lagi penemuan lainnya yang merupakan bukti peradaban awal bangsa bumi, yang bahkan jauh lebih tua dari pada era dinosaurus. Dengan mengacu pada konsep Maha Yuga, maka diperkirakan sudah ribuan atau bahkan puluhan ribu kali, peradaban bangsa bumi ini musnah akibat peperangan atau bencana alam (Kiamat Kecil) dan kembali lagi ke zaman awal peradaban (primitif). 

Pertanyaan selanjutnya, adalah apakah peradaban bangsa bumi yang telah mencapai teknologi tinggi di masa lalu, benar-benar musnah dan tidak ada yang dapat diselamatkan? Dugaan beberapa ilmuwan menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa sebagian bangsa bumi yang memiliki iptek tinggi di masa lalu, telah menciptakan pesawat antariksa yang lebih maju dari pesawat antariksa yang ada saat ini. Dan ketika terjadi peperangan atau bencana alam yang dahsyat, mereka menyelamatkan diri (eksodus) ke planet-planet terdekat yang dinilai mampu mendukung kehidupan mereka. Dengan demikian, ada kemungkinan juga, bahwa Alien atau UFO yang kerap mendatangi bumi adalah bangsa bumi pada periode zaman siklus Mahayuga yang lalu-lalu. Mereka ingin melihat perkembangan tanah leluhurnya, atau bahkan mungkin mereka juga ikut berperan aktif dalam proses pengembangan peradaban manusia pada siklus selanjutnya.

ZAMAN SATYA YUGA 

Mengingat begitu lamanya rentang periode peradaban bangsa bumi, maka kisah zaman awal peradaban Bangsa Bumi ini akan kita batasi lingkupnya, yaitu dimulai pada zaman Satyayuga yang merupakan siklus Mahayuga terakhir. Kapan itu?  Penjelasan lengkap tentang siklus Mahayuga dapat dilihat di sini: https://id.wikipedia.org/wiki/Yuga Zaman Satyayuga=1.728.000 tahun, Zaman Tetrayuga=1.296.000 tahun, Zaman Dwapara Yuga=864.000 tahun, dan Zaman Kali Yuga=432.000 tahun, atau total 1 siklus Mahayuga = 4.320.000 tahun. Wow, lama nian mak!!!.

Bila memang konsep siklus Mahayuga, adalah dimulai dari awal peradaban manusia hingga dihancurkan (Kiamat Kecil), sepertinya perhitungan ini terlalu lama. Masih merujuk pada sumber yang sama, dikisahkan bahwa pada zaman Satyayuga terjadi peristiwa banjir besar, dimana Maharaja Manu diperintahkan oleh Matsya Avatara untuk membuat Bahtera Besar. Kisah ini serupa dengan kisah Nabi Nuh a.s., yang diperkirakan oleh para ilmuwan terjadi pada periode akhir zaman Es, atau sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jadi ada ketidakkonsistenan antara perhitungan lama periode siklus Mahayuga dengan perkiraan para ilmuwan.

Oleh karena itu, sumber lain yang dapat dipercaya  telah membuat koreksi terhadap perhitungan lama periode siklus Maha Yuga sebagai berikut: Zaman Satya Yuga=17.520 tahun, Zaman Tetra Yuga=13.140 tahun, Zaman Dwapara Yuga=8.760 tahun, Zaman Kali Yuga=4.380 tahun, maka 1 siklus Maha Yuga = 43.800 tahun. Koreksi perhitungan  waktu ini masih mengacu pada konsep sebelumnya, dimana rentang periode Zaman Dwapara Yuga adalah 2 kali rentang periode Kali Yuga, rentang periode Zaman Tetra Yuga adalah 3 kali rentang peiode Kali Yuga, dan rentang zaman Satya Yuga adalah 4 kali rentang periode Kali Yuga. Hanya saja rentang periode Kali Yuga yang digunakan acuan adalah lebih pendek.

Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa saat ini kita sudah memasuki zaman Kali Yuga dalam siklus Maha Yuga terakhir. Pertanyaannya kapan zaman Kaliyuga ini dimulai? Sumber yang sama menyatakan, bahwa awal zaman Yuga biasanya ditandai dengan lahirnya seorang penjelmaan Tuhan (Avatara). Untuk itu kita gunakan saja tahun kelahiran Nabi Isa a.s (Yesus). Kapan itu? apakah Tanggal 25 Desember awal tahun Masehi? Bukan, itu hanya rekaan saja dari penguasa Romawi. Ini yang sebenarnya, tanggalnya tidak diketahui pasti, tapi Nabi Isa a.s. lahir pada tahun 224 Sebelum Masehi (SM). Dengan demikian zaman Kali Yuga sekarang ini akan berakhir pada tahun 4.156 M. Wow!! Masih lama bukan? Hehehe….

Lanjut!!..Jadi kapan Zaman Satya Yuga pada siklus Maha Yuga terakhir dimulai? Mengacu pada perhitungan di atas, maka ini dimulai pada tahun 39.644 SM. Ditandai dengan kelahiran Matsya Avatara yang kemudian memerintahkan Manu (Nabi Nuh) untuk membuat bahtera besar, terkait dengan bencana air bah (banjir besar). Lha, hasil perhitungan ini juga kenapa masih belum sesuai dengan perkiraan para ilmuwan tentang periode akhir zaman es yang terjadi sekitar 18.000 tahun yang lalu? Marilah kita perhatikan lagi, pendapat ilmuwan yang menyatakan bahwa periode zaman Es dipicu oleh meletusnya Gunung Toba pada sekitar 74.000 tahun yang lalu. Tentunya akibatnya tidak akan begitu lama (dalam rentang 56.000 tahun). Dengan demikian, adalah sangat logis, bila periode akhir Zaman Es ini dimulai pada tahun 39.644 SM. Para ilmuwan juga berpendapat bahwa periode akhir Zaman Es ini berlangsung dalam periode yang cukup lama, hingga sekitar 8.000 SM.

Demikianlah, diperkirakan pada tahun 39.644 SM dimulai zaman Satya Yuga untuk siklus Mahayagura terakhir. Zaman ini ditandai dengan terjadinya peristiwa bencana banjir besar yang dahsyat dan menenggelamkan sebagian besar manusia dan hewan yang ada di muka bumi. Dalam kisah Nabi Nuh a.s diceritakan bahwa Nabi Nuh beserta keluarganya, dan orang-orang yang beriman, beserta berbagai pasangan jenis hewan selamat dari bencana besar ini. Dan ini menjadi era baru dari peradaban manusia di muka bumi pada siklus Mahayuga terakhir.

Bagaimana kondisi bumi pada zaman Satya Yuga? Dari berbagai sumber, diriwayatkan bahwa bumi pada masa itu dihuni oleh beberapa ras manusia. Ras apa saja? Secara garis besar ada 4 (empat) jenis, yakni: Manusia yang sama seperti kita (homo sapien), Manusia kerdil (Hobbit), Manusia yang mirip Kera, dan Manusia Raksasa (Asura/ Nephilim).

Bukti dari keberadaan manusia kerdil (hobbit) dapat ditemukan dengan peninggalan tulang belulangnya di daerah Flores dan diberi nama Homo Floresiensis. Pada sekitar tahun 2013, masyarakat Lampung pernah digegerkan oleh penampakan manusia kerdil di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), yang dilihat oleh beberapa orang termasuk petugas TNWK. Diduga ras manusia kerdil ini masih ada hingga saat ini, hanya mereka bersembunyi di tempat terpencil.
 


Bukti keberadaan manusia setengah kera ini ditemukan dari peninggalan tulang belulangnya di beberapa tempat, dan juga diceritakan dalam kisah Ramayana, sebagai pasukan yang membantu Rama ketika menyerang Rahwana. Pasukan manusia kera pada zaman Ramayana ini diperkirakan adalah sejenis Gigantopithecus atau manusia kera raksasa, dan juga sejenis dengan Big Foot atau Yeti yang dipercaya masih hidup hingga saat ini di pegunungan Himalaya.

Adapun bukti keberadaan manusia raksasa (Asura/ Nephilim) ditemukan dari peninggalan tulang belulang, jejak kaki seperti yang terdapat di wilayah Tapak Tuan, Aceh,  serta dari cerita-cerita yang termuat dalam Kitab Suci, dan cerita-cerita rakyat, antara lain dalam kisah Rahwana, yang merupakan Raja Asura (Raksasa) dan menjadi musuh Rama.



Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya, menyatakan bahwa Manusia Raksasa ini lahir dari perkawinan antara Ras Alien/ Anunnaki (mahluk luar bumi) dengan manusia. Dalam hal ini ada kemungkinan juga yang disebut sebagai Ras Alien ini sebenarnya adalah penghuni bumi pada siklus-siklus Maha Yuga sebelumnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Diceritakan bahwa pada periode sebelum siklus Mahayuga terakhir, beberapa Ras Alien/ Anunnaki kerapkali mendatangi bumi dan berinteraksi dengan manusia. Pada awalnya mereka mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan tentang peradaban, termasuk juga pengetahuan spiritual (agama). Karena begitu pandai dan hebatnya para Ras Alien ini, maka banyak manusia yang sangat menghormati mereka, dan sebagian lagi memujanya, dan menyebut para Alien ini sebagai Dewa dan ada juga yang menyebut sebagai Putera Surga atau Son of God (Nanti akan dijelaskan perbedaan antara Alien dengan Dewa).

Bukti dari keberadaan Alien ini dapat ditemui pada patung manusia berkepala burung di Candi Sukuh (leluhur bangsa Nusantara menyebutnya sebagai manusia burung/ kinara), Amon Ra di Mesir, dan pada beberapa relief artefak peninggalan bangsa Summeria.

 

 

Selanjutnya interaksi antara manusia dan ras Alien yang cukup lama ini, menyebabkan terjadinya perkawinan antara Ras Alien dengan manusia. Nah dari perkawinan antara manusia dengan Ras Alien ini lahirlah yang disebut Nephilim, atau manusia Raksasa (Asura). Dalam salah satu kitab kuno dijelaskan sebagai berikut: 

“Raksasa ini masing-masing tingginya adalah tiga ratus cubits (elo). Mereka menelan semua yang dipoduksi/dihasilkan oleh manusia; hingga menjadi mustahil untuk memberi makan mereka; Ketika mereka menjadi berbalik melawan terhadap manusia, dalam rangka menelan (memakan) mereka; Dan mulai untuk melukai burung-burung, binatang buas, binatang melata, dan mencari ikan, untuk makan daging mereka satu demi satu.” 

Demikianlah, keberadaan manusia Raksasa (Asura/Nephilim) ini menyebabkan banyak kerusakan di bumi. Sehingga mereka kerap disebut juga sebagai Iblis. Padahal Iblis dan Manusia Raksasa (Asura/ Nephilim) adalah mahluk yang berbeda. Jangan rancu!!

Selanjutnya, dan memang sudah menjadi Kehendak Tuhan Yang Satu (Allah SWT), maka sebagian besar dari para Raksasa ini binasa dengan terjadinya peristiwa banjir besar pada Zaman Nabi Nuh a.s., namun masih menyisakan sedikit populasi pada awal era baru zaman Satya Yuga.

Paska peristiwa banjir besar, Nabi Nuh dan para pengikutnya yang diselamatkan Allah SWT, menyebar ke berbagai penjuru bumi. Dimanakah negeri asal Nabi Nuh a.s.? Tidak ada penjelasan pasti.  Hanya karena, sumber cerita (Kitab Suci) diturunkan di wilayah Timur Tengah, maka sebagian besar masyarakat dunia, percaya Nabi Nuh a.s berasal dari wilayah Timur Tengah. Namun jangan lupa, bahwa cerita Nabi Nuh a.s. dengan peristiwa banjir besarnya adalah cerita yang umum, dan dapat ditemui pada kisah-kisah rakyat hampir di seluruh penjuru Dunia.

Dalam kitab Weda diceritakan, bahwa pada zaman Satya Yuga, Maharaja Manu diperintahkan oleh Matsya Avatara untuk membuat Bahtera Besar, karena akan ada peristiwa bencana air bah (banjir besar). Manu dan Nuh kemungkinan besar merujuk pada orang yang sama. Pada kitab ini dijelaskan juga, bahwa Manu adalah turunan Wiwaswan (Dewa Matahari). Pemujaan pada Dewa Matahari ini, tampaknya juga merupakan cerita yang umum, dan dapat ditemui pada kisah-kisah rakyat di seluruh penjuru Dunia. Dengan merujuk ini, dapat disimpulkan bahwa kisah Nabi Nuh, dan peristiwa banjir besarnya adalah suatu peristiwa global (mendunia), demikian juga kepercayaan pemujaan dan penghormatan pada Dewa Matahari.

Pertanyaan selanjutnya, dimana sumber pertama dari Cerita dan Kepercayaan ini? Spekulasi yang pantas untuk dipertimbangkan adalah negeri kita ini, ya, Bumi Nusantara ini. Kenapa? 

PERTAMA, Pemujaan/penghormatan kepada Dewa Matahari sudah sangat lama dikenal di Nusantara, dan dikenal sebagai ajaran SUNDA-YANA, dan menjadi cikal bakal agama asli di Nusantara. Kemudian kata SUN ini banyak digunakan di berbagai bahasa dunia yang artinya Matahari, malah digunakan sebagai nama hari pertama, yaitu: Sun-day = Hari Matahari. Bila ditelaah secara lebih mendalam, sebenarnya ajaran SUNDA-YANA bukan menyembah Matahari, tetapi menghormati Matahari, karena bumi Nusantara dilintasi oleh garis khatulistiwa, sehingga cuaca dan iklimnya dipengaruhi oleh garis edar Matahari. Dalam bahasa Sansekerta, SUNDA mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata SUNDA, dengan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). Dengan demikian, SUNDA-YANA juga dapat diartikan tentang kesucian, dan cahaya yang merupakan sifat Tuhan Yang Satu (Allah SWT). 

KEDUA, kata SUNDA merupakan  istilah yang sudah sangat lama dikenal dalam ilmu geografi dunia, sebagai berikut:

KEPULAUAN SUNDA BESAR, yaitu gugusan kepulauan meliputi: Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulaweis), serta KEPULAUAN SUNDA KECIL, meliputi: Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku.

PAPARAN SUNDA adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2.

TANAH SUNDA (SUNDALAND), sebuah istilah yang merujuk kepada bentang daratan lempeng benua dan landas kontinen di Asia Tenggara yang merupakan dataran di atas permukaan laut ketika permukaan laut jauh lebih rendah pada zaman es terakhir. Tanah Sunda termasuk Semenanjung Malaya, kepulauan Sunda Besar termasuk Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, serta laut dangkal di sekitarnya, yaitu Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Teluk Siam, dan bagian selatan Laut China Selatan.

SISTEM GUNUNG SUNDA, adalah jajaran pegunungan yang melingkari paparan Sunda (CIRCUM-SUNDA MOUNTAIN SYSTEM) yang panjangnya se kitar 7000 km. Paparan Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian ba rat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke ti mur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Paparan Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3).

LAUT SUNDA (SOENDA ZEE), istilah Laut Sunda atau Soenda Zee masih dikenal pada zaman pemerintah kolonial Belanda hingga pada era sekitar tahun 1919. Soenda Zee adalah wilayah laut meliputi Laut Jawa, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan yang dikenal saat ini. 

KETIGA, nama lain yang juga populer di wilayah Sunda adalah MALAYA. Malaya digunakan sebagai bahasa (bahasa Melayu), dan menjadi nama semenajung Malaya. Malaya sendiri adalah singkatan dari MAHA-LAYA, MAHA = Besar/ Luas; LAYA = Tempat. Jadi MAHA-LAYA = Tempat Yang Besar/ Luas. Beberapa pendapat menyatakan MAHA-LAYA dapat diartikan sebagai Tempat Awal. Tempat awal apa? Tempat awal peradaban bangsa bumi. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Malaya adalah nama daerah asal Nabi Nuh a.s.

KE-EMPAT, dalam Alkitab (Injil) diceritakan bahwa Nabi Nuh a.s. membawa setiap pasangan jenis hewan ke dalam bahteranya untuk diselamatkan dari banjir besar. Bila Nabi Nuh a.s. berasal dari wilayah Timur Tengah, tentunya tidak banyak jenis hewan yang dapat diselamatkan, karena keaneka ragaman hewan yang paling lengkap berada di Bumi Nusantara ini.

Pertanyaan selanjutnya, dimanakah Bahtera Nabi Nuh a.s. mendarat paska peristiwa Banjir Besar? Dalam Alkitab (Injil) disebutkan Gunung Ararat, sedangkan dalam kitab suci Al Qur’an disebutkan Gunung Judi, yang lokasinya tidak dapat dipastikan. Mengacu pada kesimpulan sebelumnya, bahwa negeri asal nabi Nuh adalah bumi Nusantara yang disebut sebagai daerah MALAYA, maka sumber kami yang dapat dipercaya memberikan jawaban sederhana, yaitu pegunungan tinggi yang terkait dengan nama MALAYA, yang tidak lain adalah pegunungan HIMALAYA. 

Meskipun jawabannya sederhana, namun ini sangat logis, berdasarkan jarak antara wilayah MALAYA dengan pegunungan HIMALAYA, yang disebutkan oleh Injil adalah sekitar 40 hari (perjalanan Bahtera Nabi Nuh), dan hubungan penamaan antara tempat yang terkait. Dengan demikian, era baru zaman Satya Yuga bermula bukan di bumi Nusantara. Bumi Nusantara adalah negeri asal dari Nabi Nuh a.s. 

Cerita berlanjut masih pada zaman Satyayuga, namun pada periode lebih kurang 4.000 tahun paska peristiwa Banjir Besar. Kala itu peradaban manusia berkembang di sekitar kaki pegunungan Himalaya, dan sekitar lembah Indus, yang saat ini dikenal sebagai wilayah India, dan menyebar sampai ke wilayah Indo Cina dan semenajung Malaya saat ini. Sementara wilayah Nusantara yang merupakan negeri asal Nabi Nuh a.s, diperkirakan didominasi oleh Ras Manusia Raksasa (Asura). Ras manusia Raksasa (Asura) ini adalah keturunan dari sisa-sisa Manusia Raksasa yang selamat paska peristiwa banjir besar, dengan lari ke pegunungan yang tinggi di wilayah Bumi Nusantara.

Dikisahkan pada zaman itu, para Dewa banyak yang turun ke bumi. Agar tidak rancu, perlu dijelaskan di sini, bahwa Dewa adalah berbeda dengan Ras Alien yang diceritakan sebelumnya. Dewa adalah mahluk Tuhan yang menempati dimensi lebih tinggi dibandingkan dimensi alam raya yang dapat kita lihat ini (sering disebut sebagai Dimensi-3). Dewa memiliki tingkat spiritual, dan kesaktian lebih tinggi dibandingkan semua mahluk yang menempati alam raya pada dimensi-3, termasuk Alien. Namun perlu juga dicatat, bahwa Dewa juga tunduk kepada Tuhan Yang Satu (Allah SWT). Mereka bukanlah mahluk yang abadi atau dapat mati, hanya saja karena menempati dimensi lebih tinggi, usia mereka bisa mencapai ribuan tahun. Mereka sebenarnya juga masih pada tahap belajar dalam peningkatan spiritual untuk mendekakan diri kepada Tuhan Yang Satu (Allah SWT). 

Dewa juga berbeda dengan malaikat. Malaikat berada pada dimensi yang lebih tinggi lagi dibandingkan dimensi para Dewa, yang dikenal sebagai lapisan-lapisan dimensi Surga. Tak ada satu mahluk-pun selain malaikat yang dapat masuk dimensi Surga, kecuali atas izin dan kuasa Tuhan sendiri. Demikianlah, kenapa dalam Agama Islam, tidak diajarkan pengetahuan tentang Dewa atau Alien, melainkan hanya sedikit sekali dijelaskan dalam Al Qur’an. Karena ini tidak penting, dan juga agar kita tidak terjerumus lagi pada penafsiran yang keliru, yang menyebabkan kita meminta tolong, memuja/menyembah para Dewa. Islam mengajarkan kita agar hanya menyembah dan bergantung pada Tuhan Yang Satu (Allah SWT), karena hanya inilah satu-satunya jalan untuk peningkatan spiritual kita, hanya rahmat dan Kasih Sayang Tuhan sendiri yang dapat membawa kita mendekat kepada-Nya.

Pada zaman dahulu, banyak praktisi spiritual melakukan tapabrata, meditasi, dsb. dalam waktu yang lama untuk tujuan peningkatan spiritual. Mereka berpendapat, bahwa peningkatan spiritual diperoleh ketika mereka dapat mencapai dimensi yang lebih tinggi (ascension). Kemudian dia disebut sebagai Ascended Master. Sebagian memang berhasil mencapai dimensi yang lebih tinggi. Namun perlu diingat, terdapat ratusan lapisan dimensi yang harus dilalui untuk mencapai dimensi surga. Dan berapa usia maksimal seorang manusia. Jadi rasanya ini adalah suatu hal yang mustahil.

Bahkan seandainya, kita dapat mencapai dimensi tertinggi sekalipun, tetap kita tidak dapat masuk ke lapisan dimensi Surga, karena dijaga oleh para Malaikat. Dan sekali lagi saya katakan, bahwa hanya atas izin dan rahmat Kasing Sayang Tuhan sendiri, kita manusia, Alien, atau para Dewa, dapat masuk ke lapisan dimensi Surga. Demikianlah, sedikit gambaran dari Ke-Maha Besaran, dan Ke-Maha Kuasaan Tuhan. Dan oleh karena itulah, Islam mengajarkan kita untuk menyembah, meminta bantuan dan bimbingan hanya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Satu.

Allahuakbar, Allah Maha Besar. Dia lah yang menciptakan seluruh alam raya dan lapisan-lapisan dimensi keberadaan, beserta mahluk-mahluk-Nya untuk belajar. Belajar apa? Belajar untuk mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Semua mahluk Tuhan, baik manusia, Asura, Alien, maupun para Dewa semuanya masih dalam tahap belajar tentang hal ini. Kecuali malaikat saja, karena tugasnya memang untuk selalu mengabdi kepada Tuhan.

Kembali pada laptop, pada zaman itu para Dewa yang turun ke bumi dipimpin oleh 3 (tiga) Dewa yang telah mencapai kesempurnaan spiritual, yaitu Dewa Brahma, Wisnu dan Syiwa (Mahadewa), atau disebut juga Dewa Avatara (wakil langsung Tuhan YME). Mereka ditugaskan oleh Tuhan untuk melindungi manusia dari ancaman para Raksasa (Asura) yang jahat. Perlu diketahui bahwa para Dewa yang menempati dimensi lebih tinggi, dengan kesaktiannya dapat dengan mudah masuk ke dimensi yang lebih rendah (lapisan dimensi ke-3). Meskipun sakti mandraguna, namun para Dewa ini (kecuali Dewa Avatara) kadang masih berbuat kesalahan, masih ada kesombongan, senang dipuji dan sifat-sifat emosi negatif lainnya yang mirip dengan manusia. Sebagai imajinasi keadaan para Dewa, dapat kita lihat dalam film serial “Mahadewa” di ANTV.

Kisah selanjutnya tentang para Dewa yang turun ke bumi ini mirip dengan kisah ketika para Ras Alien turun ke bumi. Para Dewa yang bertugas melindungi manusia ini, terlibat pada perkawinan dengan manusia, dan melahirkan anak yang disebut putra Dewa. Contohnya adalah para Pandawa yang merupakan putra Dewa. Kemudian, karena manusia memandang para Dewa sebagai pelindung mereka, maka banyak manusia juga yang kemudian menyembah/ memuja para Dewa. Meskipun para Dewa sebenarnya tidak menghendaki seperti itu, karena tidak sesuai dengan amanat Tuhan yang telah diberikan kepada mereka.

Dalam tugas melindungi manusia, para Dewa ini juga kerap terlibat peperangan dengan para Raksasa (Asura) yang mengancam manusia. Para Asura yang dikalahkan oleh para Dewa, sebagian juga ada yang kemudian sadar dan mengikuti ajaran dari para Dewa, khususnya kepada 3 Dewa Avatara, yaitu: Dewa Brahma, Wisnu dan Syiwa (Mahadewa). Dan sesuai dengan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, para Dewa Avatara ini juga mengajarkan pengetahuan spiritual kepada para Asura, dengan harapan agar para Asura bisa berubah, hidup dalam damai, dan berbudi pekerti, mengikuti ajaran Tuhan Yang Maha Esa.

Namun kemudian pengetahuan spiritual yang diajarkan oleh para Dewa Avatara ini banyak yang disalahgunakan oleh para Asura untuk mengejar kesaktian. Beberapa dari Asura, bahkan ada yang dapat mencapai ascension, menembus ke lapisan dimensi lebih tinggi, atau dimensinya para Dewa dan kemudian memerangi para Dewa. Hingga akhirnya, Asura ini kembali dibinasakan oleh para Dewa.

Dalam kisah para Asura dan Kura-kura Raksasa (Kurma Avatara) penjelmaan Dewa Wisnu diceritakan, bahwa para Dewa dan Asura saling berebut Tirta Amerta atau air kehidupan yang dapat membuat hidup mereka abadi. Kisah ini secara lengkap dapat dibaca pada Catatan saya sebelumnya tentang Kisah Asura dan Kura-Kura. Kejadian ini terjadi masih pada zaman Satya Yuga.





ZAMAN TRETA YUGA 

Zaman Treta Yuga dimulai pada tahun 22.124 SM. Pada zaman ini, peradaban manusia maupun Asura (Raksasa) berkembang dengan pesat. Manusia dan Asura memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, wilayah kekuasaan manusia berkembang di sekitar wilayah India, Indo Cina dan semenajung Malaya saat ini. Sementara wilayah kekuasaan Asura diperkirakan berada di wilayah Nusantara sekarang ini.

Dugaan wilayah kekuasaan Asura berada di bumi Nusantara, mengacu pada petunjuk nama pulau Bali yang diambil dari nama Raja Asura yang terkenal bernama Bali. Kota Majalengka berasal dari kata Maharaja Alengka, dan kemungkinan masih banyak lagi nama-nama daerah di Bumi Nusantara ini yang mengacu pada nama-nama kaum Asura. Satu petunjuk lagi, adalah adanya peninggalan Tapak kaki Raksasa di daerah Tapak Tuan, Aceh.

Puncak peradaban zaman Treta Yuga terjadi pada periode Ramayana. Pada masa itu, terdapat 2 (dua) kerajaan besar, yaitu: kerajaan Ayodya di wilayah India, yang merupakan kerajaan dari Ras Manusia, dan kerajaan Alengka di wilayah Nusantara, yang merupakan kerajaaan dari Ras Asura (Raksasa). Pada masa itu, peradaban dari Ras Manusia maupun Asura diperkirakan telah menguasai iptek yang canggih. Hal ini sesuai dengan yang dikisahkan dalam beberapa seloka pada kitab Wedha tentang kisah peperangan antara Rama (penjelmaan Dewa Wisnu) dengan Rahwana (Raja Asura) sebagai beikut: 

“Pasukan Alengka menumpangi kendaraan yang cepat, meluncurkan sebuah senjata  yang ditujukan ke ketiga kota pihak musuh (Ayodya). Senjata ini seperti mempunyai segenap kekuatan alam semesta, terangnya seperti terang puluhan matahari, kembang api bertebaran naik ke angkasa, sangat indah. Mayat yang terbakar, sehingga tidak bisa dibedakan, bulu rambut dan kuku rontok terkelupas, barang-barang porselen retak, burung yang terbang terbakar hangus oleh suhu tinggi. Demi untuk menghindari kematian, para prajurit terjun ke sungai membersihkan diri dan senjatanya”. 

Banyak spekulasi bermunculan dari cerita ini, diantaranya ada sebuah spekulasi yang menyebutkan bahwa perang Rama dan Rahwana adalah semacam perang NUKLIR!! Spekulasi ini dikuatkan dengan hasil penelitian Unicef dan NASA yang diawali dari hasil pengamatan Citra Satelit Landsat dan dilanjutkan dengan penelitian para arkeolog yang difokuskan pada hulu sungai Gangga. Pada lokasi ini ditemukan banyak sisa puing bangunan yang telah menjadi batu hangus yang seperti dilekatkan menjadi satu, permukaannya menonjol dan cekung tidak merata. Ketika dicoba melebur bebatuan tsb, ternyata dibutuhkan suhu minimal 1.800 derajat celcius! Panas biasa dalam keadaan normal tak akan mencapai suhu ini. Kecuali pada benda-benda yang terkena radiasi nuklir, baru bisa mencapai suhu yang demikian tinggi.

Di pedalaman hutan primitif India, para peneliti juga menemukan lebih banyak reruntuhan batu hangus. Tembok kota yang runtuh dikristalisasi, licin seperti kaca, lapisan luar perabot rumah tangga yang terbuat dari batu dalam bangunan juga telah di-kaca-lisasi. Inilah bukti reruntuhan perang nuklir zaman prasejarah, derajat radiasi masih terekam meski kejadiannya ribuan tahun SM (Sebelum Masehi). Batu kaca pada reruntuhan tersebut, semuanya sama persis dengan batu kaca pada kawasan percobaan nuklir saat ini. Diduga kuat perang nuklir ini terjadi sekitar tahun 15.000 SM. 

Bila kita hitung dengan mengacu pada perhitungan Yuga sebelumnya, maka diperkirakan bahwa zaman Rama dan Rahwana ini terjadi pada tahun 13.364 SM, atau mendekati dugaan imuwan saat terjadinya perang Nuklir di atas. Sedangkan bila merujuk pada kisah negeri ATLANTIS yang diceritakan oleh Plato, bahwa Atlantis memiliki angkatan laut yang menaklukkan Eropa Barat dan Afrika 9.000 tahun sebelum waktu Solon, atau pada sekitar tahun 9.500 SM, maka Kisah Rama dan Rahwana, diperkirakan terjadi sekitar 4000 tahun sebelum peristiwa ini, atau kemungkinan zaman Rama dan Rahwana merupakan awal peradaban Atlantis.

Paska kemenangan Rama atas Rahwana, sebagian besar bangsa Asura binasa, dan hanya tersisa sedikit saja populasinya yang masih ada di Bumi Nusantara. Kerajaan Alengka yang ada di Bumi Nusantara dikuasai oleh Rama, dan menjadi bagian dari Kerajaan Ayodya. Peradaban manusia dengan ipteknya berkembang di seluruh wilayah Kerajaan Ayodya, termasuk yang ada di Bumi Nusantara, sehingga menjadi pusat peradaban dunia. Dan negeri inilah yang selanjutnya diduga sebagai Atlantis oleh Plato, sebagaimana yang dijelaskan pada catatannya sebagai berikut: 

“Negeri Atlantis dikelilingi oleh pegunungan, dan lebih tinggi dari permukaan laut. Mengandung gunung berapi, dan sering terkena gempa dan banjir. Gunungnya mengandung emas, perak, tembaga, dan timah, dan gabungan alami dari emas dan tembaga yang disebut orichalcum”. 

Gambaran di atas sesuai dengan gambaran wilayah Ayodya paska perang Rama dan Rahwana, yang mencakup wilayah India, Indo Cina, Semenanjung Malaya dan Nusantara (Indonesia) saat ini, yang dikelilingi oleh jajaran pegunungan Sunda (Sunda Mountain System) yang telah dijelaskan sebelumnya. Atlantis sendiri diduga berasal dari kata Atala = tempat yang tinggi, atau dapat juga diartikan dengan negeri yang memiliki banyak (deretan) pegunungan yang tinggi. Sebagai catatan, pada masa itu diperkirakan Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan masih menyatu dengan daratan Asia. Terbentuknya pulau-pulau di wilayah Nusantara seperti yang ada saat ini diperkirakan terjadi pada zaman Dwapara Yuga (sekitar tahun 9.000-8.000 SM).

Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya. Atlantis adalah negeri dari Dewa Laut Poseidon. Poseidon kemungkinan berasal dari dari bahasa Sansekerta “Payas Dhan”, yang artinya masyarakat yang menguasai kekayaan laut. Sejak zaman dahulu kala, Nusantara memang dikenal sebagai bangsa pelaut, dan negara maritim yang kuat. Kemungkinan lainnya adalah Poseidon berasal dari kata Pasundan, yang berarti tempat bangsa Sunda yang besar. 

Petunjuk lain yang menguatkan bahwa bumi Nusantara adalah negeri Atlantis adalah hasil penelitian dari Prof. Nunes dos Santos, Ph.D, yang ditulis dalam bukunya “Atlantis The Lost Continent Finally Found”. Dan Stephen Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia”. 

ZAMAN DWAPARA YUGA 

Zaman Dwapara Yuga ditandai dengan kelahiran Sri Krishna Avatara, yang diperkirakan terjadi pada tahun 8.984 SM, atau sekitar 600 tahun paska penaklukan Eropa dan Afrika Barat oleh Negara Atlantis. Kisah pada zaman Dwapara Yuga direkam dalam kisah Mahabharata dan perang Bharata Yudha, yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Nusantara. Dengan mengacu pada penjelasan sebelumnya, diduga bangsa Atlantis yang diceritakan oleh Plato, adalah Bangsa Bharata yang ada dalam kisah Mahabharata. 

Kisah Mahabharata menceritakan tentang perseteruan antara para Kurawa dan Pandawa yang sebenarnya masih bersaudara. Pusat kerajaan dari bangsa Bharata adalah di Hastinapura yang diperkirakan berada di wilayah India, namun wilayah kekuasaannya diperkirakan mencapai wilayah Nusantara. Karena siasat licik dari Sangkuni, para Pandawa yang seharusnya menjadi pewaris tahta kerajaan Hastina, harus menerima hanya sebagian wilayah Hastina yang merupakan hutan belantara, dan disebut Hutan Kandawa. Sedangkan wilayah pusat kerajaan Hastina (Hastinapura) diambil oleh Para Kurawa.

Para Pandawa tetap menerima keputusan ini, dan dengan bersusah payah mereka membuka Hutan Kandawa menjadi wilayah dan pusat kerajaan baru, yang selanjutnya disebut sebagai kerajaan Indraprastha atau Amarta. Yudistira yang merupakan putra tertua dari Pandawa Lima, kemudian menjadi raja Indraprastha atau Amarta dan diberi gelar sebagai Prabu Samiaji, gelar lainnya adalah Prabu Dharmaraja atau Prabu Dharmawangsa. Berdasarkan sumber yang dapat dipercaya, wilayah Indraprastha ini diperkirakan berada di wilayah Nusantara saat ini, atau di bekas wilayah Kerajaan Alengka pada zaman Ramayana. Adapun pusat kerajaannya diduga berada pada lokasi antara Pulau Sumatera dan Kalimantan, atau sekitar Selat Karimata (zaman dulu disebut sebagai Laut Sunda, atau Dangkalan Sunda yang merupakan bagian wilayah yang tenggelam pada akhir periode zaman Es).

Hal lain yang memperkuat dugaan bahwa kerajaan Indraprastha dan Amarta berada di wilayah Nusantara adalah terdapatnya nama-nama raja, kerajaan, dan tempat yang menggunakan nama Ksatria para Pandawa, antara lain: Dharmawangsa, Dharmasraya yang ada di wilayah Jawa dan Sumatera. Di Jawa Timur kita dapat menemukan nama Gunung Arjuna, dan di Sumbawa Timur terdapat kota bernama Bima, yang semuanya merupakan nama-nama dari ksatria Pandawa. Masyarakat Jawa Tengah percaya silsilah Prabu Jayabaya adalah turunan dari Prabu Parikesit (cucu Arjuna).

Lanjut!!..Perseteruan antara para Kurawa dan Pandawa diakhiri dengan Perang Bharata Yudha. Perang ini telah mengakibatkan kehancuran yang parah, sebagaimana yang diceritakan dalam Epos Mahabharata sebagai berikut: 

“Arjuna yang gagah berani, duduk dalam Weimana (sarana terbang yang mirip pesawat terbang) mendarat di tengah air, lalu mengangkat Gendewa dan meluncurkan sebatang anak panah (semacam rudal/roket?) yang dapat menimbulkan sekaligus melepaskan nyala api yang bersinar terang di wilayah musuh. Curahannya seperti hujan lebat yang deras, mengepung musuh dengan kekuatan dahsyat. Setelah panah itu tiba pada sasarannya, dalam sekejap sebuah bayangan yang tebal dengan cepat terbentuk seperti cendawan raksasa merekah di atas wilayah Kurawa.

“Angkasa menjadi gelap gulita, kemudian badai angin yang dahsyat mulai bertiup wuuus… wuuus, disertai debu pasir. Burung-burung bercicit panik seolah-olah langit runtuh dan bumi gonjang-ganjing. Sementara itu di atas langit, matahari seolah-olah bergoyang, panas membara memancarkan udara mengerikan, membuat bumi berguncang, dan gunung-gunung bergoyang.”

“Di kawasan darat yang luas, binatang-binatang mati terbakar dan berubah bentuk. Air sungai kering kerontang, ikan, udang dan hewan laut lainnya, semuanya mati.”Saat panah (semacam rudal/ roket?) meledak, suaranya bagaikan halilintar, membuat prajurit musuh berjatuhan bagaikan batang pohon yang terbakar hangus. Akibat yang ditimbulkan oleh senjata Arjuna tersebut, tercipta badai api, diikuti ledakan dahsyat yang memancarkan debu beracun (radio aktif?).”


Dari cerita di atas jelas, bahwa Perang Baharata Yudha mirip dengan Perang antara Rama dengan Rahwana yang diperkirakan melibatkan senjata teknologi tinggi (semacam senjata Nuklir) dan menimbulkan kehancuran luar biasa. Bukti bekas perang Nuklir ini juga ditemui oleh para arkeolog pada wilayah yang diduga merupakan bekas lapang Kuru Setra di India. 

Perang Bharata Yudha  diperkirakan menjadi akhir dari masa kejayaan Bangsa Bharata atau Bangsa Atlantis. Paska Perang Baharata Yudha, baik negara Hastina maupun Indraprasta kedua-duanya mengalami kerusakan yang parah akibat penggunaan senajata pemusnah massal, dan paparan debu radio aktif yang telah membinasakan sebagian penduduknya dalam area yang luas. Pihak Pandawa (Indraprasta) sebagai pemenang perang selanjutnya menyatukan kerajaan Hastina dan Indraprasta dengan pusat kerajaannya di Indraprasta (Nusantara). Disamping itu, mereka bersama dengan para tetua bangsa Bharata juga memutuskan untuk menghancurkan segala jenis senjata pemusnah massal dan tidak lagi mengembangkan iptek.

Kerajaan Hastina dan Indraprasta di bawah pemerintahan Prabu Yudistira tidak berlangsung lama, karena beliau bersama saudaranya (para Pandawa) memutuskan untuk mandeg pandito. Dan sebagai penggantinya ditunjuk Parikesit (cucu Arjuna). Setelah Prabu Parikesit masih ada 3 (tiga) generasi turunan Parikesit yang menjadi raja Hastina dan Indraprasta, sebelum pusat kerajaannya di Indraprasta (Nusantara) tenggelam akibat bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan kenaikan muka air laut setinggi lebih dari 100 m. Diduga kenaikan muka air laut ini dipicu oleh terjadinya pemanasan global dampak Perang Bharata Yudha, yang menyebabkan pencairan es di Kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada sekitar 8.800 SM.

Dalam catatannya Plato mengisahkan “Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam”. 

Peristiwa bencana alam ini mengakibatkan bangunan-bangunan dan peradaban berteknologi tinggi negeri Atlantis tenggelam ke bawah permukaan laut, Adapun bangunan berteknologi tinggi lainnya yang tersisa pada wilayah daratan Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (wilayah yang tidak tenggelam), sejalan dengan waktu, dan akibat bencana letusan gunung berapi yang kerapkali terjadi di wilayah Nusantara, menjadi ikut terkubur di bawah permukaan tanah. Dalam hal ini, bangunan situs Gunung Padang, di Cianjur diduga merupakan salah satu bangunan yang tersisa dari peradaban Atlantis (Bangunan ini diperkirakan berusia 10.000 tahun).

Peninggalan budaya Atlantis lainnya yang tersisa adalah sistem penanggalan (kalender) yang disebut Pawukon atau Kala Sunda. Dalam tulisannnya, Ir. C.J Snijders, astronom Belanda menaksir umur Sistem Pawukoan (Kala Sunda) adalah 17.184 tahun. Sebagai perbandingan, umur kalender bangsa-bangsa dunia, sebagai berikut: Kalender Quichuas, dari penduduk asli Meksiko, berumur 15 ribu tahun. Usia kalender Cina 13 ribu tahun, Babilonia 6.500 tahun, dan India yang disebut Surya Sidhanta, berumur 2.200 tahun. Dengan demikian, Kalender Sunda adalah kalender tertua di dunia. 

Peristiwa banjir besar dan bencana alam di negeri Atlantis juga mengakibatkan terjadinya eksodus sebagian besar penduduk Atlantis di Nusantara ke seluruh penjuru dunia. Mereka yang eksodus ini selanjutnya menjadi cikal bakal dari perkembangan budaya dan iptek yang ada di wilayah Mesopotamia/Sumeria (5.500-2.500 SM), Mesir Kuno (3.150 SM), India Kuno (2.800-1.800 SM), yang oleh sebagian para ilmuwan dianggap sebagai kebudayaan tertua di dunia. 

Adapun penduduk Atlantis yang masih tetap bertahan di Nusantara, karena menyadari bahaya dari iptek yang berujung pada peperangan, mereka sepakat untuk tidak lagi mengembangan iptek dan kembali pada kehidupan yang selaras dengan alam, atau dalam istilah sekarang dikenal sebagai “Back to nature”. Buku-buku iptek sisa peradaban Atlantis dikubur di tempat yang dirahasiakan.

Oleh karena itulah, pada kepercayaan Sunda Wiwitan yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Nusantara, terdapat aturan adat atau Pikukuh sebagai berikut: 

Gugung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancur)
Lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak)
Larangan teu meunang ditempak (larangan tak boleh dilanggar)
Buyut teu meunang dirobah (buyut tak boleh diubah)
Lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong)
Pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung) 

Kisah selanjutnya, peradaban di wilayah bekas negeri Atlantis (Nusantara) lebih banyak berfokus pada penyadaran diri dan peningkatan spiritual untuk mendekatakan diri kepada Tuhan YME. 

Pertanyaan terakhir yang diperkirakan masih ada di benak pembaca adalah Bagaimana kelanjutan keberadaan dari Ras Manusia Raksasa (Asura)? Sebagaimana diceritakan sebelumnya, bahwa Ras Manusia Raksasa (Asura) hanya tersisa sedikit saja paska Perang antara Rama dan Rahwana. Kemudian pada zaman Mahabharata, sisa-sisa Ras Raksasa ini semakin berkurang populasinya, akibat pembukaan Hutan Kandawa oleh Para Pandawa yang digunakan sebagai pusat kerajaan Idraprastha atau Amarta. Di samping itu, sebagaimana yang termuat pada cerita Mahabharata, para Ras Manusia Raksasa (Asura) ini juga ikut terlibat dalam perang Bharata Yudha, dan banyak yang binasa dalam perang tersebut. Terakhir, peristiwa banjir besar kenaikan muka air laut, gempa dan tsunami di wilayah Nusantara mengakibatkan Ras Manusia Raksasa (Asura) nyaris punah.

Keberadaan sisa-sisa Ras Manusia Raksasa (Asura) yang nyaris punah ini, masih terdengar hingga periode akhir zaman Dwapara Yuga (1000 SM), dan diduga punah sama sekali pada awal zaman Kaliyuga. 

Demikianlah akhir dari kisah zaman Dwapara Yuga. Selanjutnya dunia memasuki zaman Kali Yuga yang diperkirakan dimulai pada tahun 224 SM. Untuk kisah pada zaman Kali Yuga, tidak perlu lagi diceritakan di sini, karena sudah menjadi bagian sejarah yang dapat dibaca di berbagai literatur.

- SEKIAN -