Rabu, 07 Februari 2018

SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA - Bagian 1: Periode SM s/d Awal Berdirinya Kerajaan Pajajaran



Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan para Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah Su-Mata-Ra. Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang) pada periode 100.000 – 74.000 SM. Pada masa tersebut para Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana” atau ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis, dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat luas (100 Km2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat meletusnya gunung tersebut. Dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi ini disebut sebagai periode sebelum kelahiran Nabi Nuh (sekitar 39.644 SM).

Masa berganti cerita berubah, pusat kebudayaan bangsa Sunda yang disebut dengan mandala Hyang bergeser ke arah Selatan ke gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”. Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang-menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa, perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan “Atalan/Atlantis” (mungkin maksudnya Ata-Land). Dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi ini disebut sebagai periode zaman Pandawa yang membangun negara Indraprasta di Nusantara, dan diceritakan dalam kitab Mahabharata (diperkirakan terjadi pada 8.984-8.900 SM).

Kembali kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), daratan terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa), dan mengakibatkan banjir besar dan berakhirnya zaman es pada sekitar 8.800 SM. Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang dan tenggelam. Paska peristiwa banjir besar tersebut, bangsa Sunda kembali membangun peradabannya hingga menurut cerita dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sindhu (Sang Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang kemudian mengajarkan kepercayaan Sundayana (Sindu Sandi Sunda). Ajaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. Periode ini diperkirakan terjadi pada sekitar 5.000 SM.

Perjalanan Prabu Sindu ke wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto, ajaran Surya (matahari), bahkan ajaran tersebut kemudian dijadikan bendera bangsa. Perjalanan penyebaran ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang. Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana, yang hingga kini masih tersisa di wilayah Nusantara ada di daerah Bali sekarang, serta agama Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup, dan bila dikaji lebih mendalam ajaran ini merupakan ajaran ”Monotheism” atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Berikut adalah beberapa fakta sejarah, dan penemuan arkeologis terkait dengan perjalanan bangsa Sunda.

1. Kota Barus di pesisir Barat Sumatara 

Merupakan satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi. 

2. Kerajaan Melayu Tua di Jambi 

Meliputi : kerajaan Kandis yang terletak di Koto Alang, wilayah Lubuk Jambi, Kuantan, Riau. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada periode 1 Sebelum Masehi. Di samping itu, diceritakan terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu: Koying, Tupo, dan Kantoli.

3. Kerajaan Salakanagara. 

Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di Nusantara. Pusat kerajaan ini berkedudukan di Rajataputra (daerah Pandeglang) sesuai Naskah Wangsakerta. Tidak diketahui pasti sejak kapan berdirinya kerajaan Salakanagara, namun berdasarkan catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM, yang tidak lain adalah Salakanagara. Naskah Wangsakerta menyebutkan bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan kerajaan Salakanagara di Jawa Barat. Salakanagara (kota Perak) pernah pula disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M. Kerajaan Salaka Nagara, memiliki raja bernama Dewawarman (I – VIII), yang merupakan leluhur dari semua raja di kemaharajaan Sunda Nusantara. 

Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa yang dimaksud kerajaan Koying pada butir (2) di atas tidak lain adalah Kerajaan Salakanagara. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau. Gambaran tentang negara Koying ini sama dengan kondisi ibukota kerajaan Salakanagara, yaitu Rajataputra (pesisir Barat Pandeglang saat ini). 

Penamaan Koying dalam catatan cina diduga merupakan singkatan dari Ka dan Yin. Ka = gunung Karang (di daerah Pandeglang); Yin = sebelah selatan lereng gunung. Contoh: Huayin, artinya di sebelah utara/selatan gunung Hua. Dan memang Rajataputra ibukota Salakanagara terletak pada lereng seletan gunung Karang (di daerah Pandeglang dan merupakan gunung berapi). Baca perihal penggunaan nama Yin pada suatu tempat di https://id.wikipedia.org/wiki/Yin_dan_Yang.

4. Situs Gunung Padang, Cianjur. 

Merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Menurut legenda dan cerita para leluhur, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Dan ada juga yang mengatakan bahwa situs ini merupakan tempat penobatan para raja yang ada di dalam wilayah kemaharajaan Sunda Nusantara. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda (Sunda Wiwitan) untuk melakukan upacara. Berdasarkan Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan adanya suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, yang tidak lain adalah situs ini. 

Diduga situs gunung padang sesungguhnya bukanlah gunung, melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena timbunan debu vulkanik, sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan. Di dalam situs gunung padang dipercaya memiliki ruang didalamnya yang kini telah tertimbun tanah. Dalam situs gunung padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang pada bagian atasnya. Jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain. dan alat musik dari batu itu dapat dimainkan dengan benar. 

Laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, Amerika Serikat merilis usia bangunan bawah permukaan dari Situs Gunung Padang, sebagai berikut: 1). Pada lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter (diduga man made stuctures /struktur yang dibuat oleh manusia) dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada Bor-2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Fantastis!! Usia bangunan ini jauh lebih tua dibandingkan dari Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM. 2). Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter, adalah sekitar 14.500–25.000 SM. Ini sangat mengejutkan!! Artinya situs gunung padang ini telah ada sebelum peristiwa banjir besar (berakhirnya zaman es). Kontroversi merebak setelah Tim Katastropik Purba merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang. "Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada ruang-ruang,". "Selintas tak seperti gunung, seperti manmade." Kecurigaan ini berawal dari bentuk Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari Utara. 

SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA
(s/d Berdirinya Kerajaan Pajajaran)

KERAJAAN SALAKANAGARA 
  1. Dewawarman I 
  2. Dewawarman II 
  3. Dewawarman III 
  4. Dewawarman IV 
  5. Dewawarman V 
  6. Dewawarman VI 
  7. Dewawarman VII 
  8. Dewawarman VIII
KERAJAAN TARUMANAGARA
  1. Jayasingawarman (358 – 382) dia adalah menantu dari Dewawarman VIII 
  2. Dharmayawarman (382 – 395) 
  3. Purnawarman (395 – 434) 
  4. Wisnuwarman (434 – 455) 
  5. Indrawarman (455 – 515) 
  6. Candrawarman (515 – 535) 
  7. Suryawarman (535 – 561). Tahun 526 menantu Suryawarman yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru bernama kerajaan Kendan di wilayah Timur (dekat Nagreg Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama Wretikandayun mendirikan kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Galuh. 
  8. Kertawarman (561 – 628) 
  9. Sudhawarman (628 – 639) 
  10. Hariwangsawarman (639 – 640) 
  11. Nagajayawarman (640 – 666) 
  12. Linggawarman (666 – 669)
Puteri Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Dapunta Hyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya.  Puterinya yang bernama Manasih menikah dengan Tarusbawa yang kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan Sunda. Karena Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan yang berdiri sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya kerajaan-kerajaan itu diperintah oleh garis keturunan (garis ayah/ibu) yang sama hanya ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda, Pakuan, Galuh, Kawali, Saunggalah).

Catatan: Dapunta Hyang Srijayanasa adalah keponakan dari Dapunta Hyang Syailendra pendiri wangsa Syailendra, atau cucu dari Santanu yang disebutkan dalam prasasti Sojomerto (Kab. Batang, Jawa Tengah). Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Sojomerto. Lihat juga http://en.rodovid.org/wk/Person:322557 dan https://id.wikipedia.org/wiki/Dapunta_Hyang
Adapun Dapunta Hyang Syailendra adalah ayah dari Ratu Shima, kerajaan Kalingga. Silisilah Ratu Shima, secara lengkap dapat dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Ratu_Shima 

Sebelum dilanjutkan, marilah kita sama-sama mendengarkan lagu dalam video berikut, untuk dapat lebih merasakan suasana kesejukan dan kedamaian negeri Sunda Nusantara.

 


KERAJAAN SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN

1.     Tarusbawa (669 – 723)
2.     Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan Jamri (723 –732) adalah menantu dari Tarusbawa yang menikah dengan putrinya bernama Sekarkancana/ Tejakancana. Karena anak laki-laki Tarusbawa meninggal di usia muda, maka tahta kerajaan Sunda jatuh pada Sanjaya
Ibu dari Sanjaya adalah Dewi Sanaha, puteri dari Rahyang Mandiminyak (raja ke-2 kerajaan Galuh; 702-709), yang menikah dengan Dewi Parwati, putri dari Ratu Shima (Ratu kerajaan Kalingga). Artinya, Sanjaya adalah cicit Ratu Shima dari pihak Ibu
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa, yang disebutkan juga sebagai Sang Salah, karena terlahir akibat hubungan gelap antara Mandiminyak dengan kakak iparnya (istri dari Sempak Waja bernama Nay Pwahaci). Bratasenawa dan Sanaha (ayah dan ibu Sanjaya) masih bersaudara (kakak dan adik) dengan satu ayah, hanya berlainan Ibu. Bratasenawa/ Prabu Sanna diangkat menjadi raja ke-3 Galuh setelah ayahnya, Mandi Minyak lengser keprabon tahun 709. Dengan demikian, Sanjaya adalah cicit dari Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh) dari pihak Ayah.
Catatan: Sebelum Ratu Shima wafat (695), kerajaan Kalingga dibagi 2, menjadi: kerajaan Kalingga Utara (Bhumi Mataram) yang diwariskan kepada putrinya (Parwati) dan menantunya (Mandiminyak) (695-709), serta Kalingga Selatan (Bhumi Sambara) yang diwariskan kepada putranya, Rakryan Narayana (695-742). Artinya, Mandiminyak juga menjadi raja di Kalingga Utara sejak tahun 695 hingga lengser keprabon tahun 709. Demikian juga Prabu Sanna (ayah Sanjaya) menjadi raja di Kalingga Utara sejak tahun 709 hingga 732.
Pada tahun 716, Prabu Sanna dikudeta oleh sepupunya Purbasora, yang kemudian menjadi raja ke-4 Galuh (716-723). Prabu Sanna dan istrinya Sanaha (orang tua Sanjaya), serta juga Sanjaya selanjutnya pindah dan menetap di Kalingga Utara. Prabu Sanna adalah sahabat baik dari Tarusbawa (raja Sunda), sehingga Sanjaya dijadikan menantu oleh Tarusbawa, dan kemudian diangkat menjadi raja Sunda pada tahun 723 menggantikan Tarusbawa.
Karena masih menyimpan sakit hati kepada Purbasora (raja Galuh) yang telah mengkudeta ayahnya, maka pada tahun 723, Sanjaya melancarkan serangan ke kerajaan Galuh. Purbasora dapat dikalahkan, dan selanjutnya Sanjaya dinobatkan menjadi raja Sunda Galuh. Sanjaya menjadi raja Sunda Galuh tidak lama (hanya 9 tahun), karena pada tahun 732 diminta orang tuanya untuk menjadi pewaris tahta kerajaan Kalingga Utara (Bhumi Mataram). Tahta kerajaan Sunda Galuh diserahkan kepada putranya, Tamperan Barmawijaya.
Dibawah kekuasaan Sanjaya, kerajaan Kalingga Utara berkembang pesat, wilayah kekuasaannya meluas. dan namanya diubah menjadi kerajaan Medang/ Mataram Kuno. Pada masa itu kerajaan Sunda Galuh dan Medang/ Mataram Kuno berada di bawah kekuasaan ayah dan anak.
Dalam rangka mempererat tali persaudaraan (turunan Ratu Simha), Sanjaya menikahi putri Dewasinga (raja Kalingga Selatan/ Bhumi Sambara), bernama Dewi Sudiwara. Dari Dewi Sudiwara, Sanjaya berputra Rakai Panangkaran yang selanjutnya menurunkan raja-raja wangsa Syailendra. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Sanjaya,_Rakai_Mataram dan https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Wanua_ Tengah_III
Dengan demikian, memang tidak pernah ada yang disebut sebagai wangsa Sanjaya, karena Sanjaya menghormati bapak buyutnya Dapunta Hyang Syailendra (ayah Ratu Simha), dan mengabadikan keturunannya sebagai raja-raja wangsa Syailendra. Hal ini yang menyebabkan di berbagai prasasti tidak pernah disebutkan adanya wangsa Sanjaya. 

3.     Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah putra Sanjaya dari istrinya Tejakancana. Tamperan diserahi tahta kerajaan Sunda Galuh pada tahun 732, karena Sanjaya  diminta orang tuanya untuk menjadi pewaris tahta kerajaan Kalingga Utara (Bhumi Mataram).
Pada masa pemerintahan Tamperan, kerajaan Sunda Galuh kembali pecah, karena terjadi kudeta tahta Galuh (tahun 739) oleh Manarah atau Ciung Wanara. Manarah/ Ciung Wanara adalah cicit dari Purbasora, artinya masih turunan dari Wretikandayun (pendiri kerajaan Galuh). Dalam peristiwa ini Tamperan tewas.
Berita kematian Tamperan mengakibatkan kemarahan Sanjaya (ayah Tamperan) dan kemudian dengan pasukan besar menyerang Galuh. Peperangan antara Sanjaya dan Manarah tidak berlangsung lama karena dilerai oleh Raja Resi Guru Demunawan yang merupakan sesepuh yang dihormati oleh kedua belah pihak dan juga masih keturunan dari Wretikendayun.
Selanjutnya disepakati adanya pemecahan kerajaan Sunda dan Galuh. Kerajaan Sunda diserahkan kepada Rakeyan Banga (putera Tamperan), dan kerajaan Galuh diserahkan kepada Manarah (Ciung Wanara). Untuk memperteguh perjanjian damai ini, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai Raja Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_Galuh
4.    Rakeyan Banga (739 – 766), adalah putera Tamperan, atau cucu Sanjaya yang menjadi raja Sunda ke-4, setelah pecahnya kerajaan Sunda Galuh.
5.         Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6.         Prabu Gilingwesi (783 – 795)
7.         Pucukbumi Darmeswara (795 – 819)
8.     Prabu Gajah Kulon/ Rakeyan Wuwus (819 – 891). Pada masa pemerintahan Gajah Kulon, tahta Galuh diserahkan dari Prabu Linggabumi (cicit Manarah) ke pada suami adiknya, yakni Prabu Gajah Kulon (raja Sunda). Sejak itu, kembali kerajaan Sunda dan Galuh disatukan, berikut kerajaan Kuningan, dengan nama kerajaan Saunggalah.
9.         Prabu Darmaraksa (891 – 895)
10.     Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913)
11.     Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12.     Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 – 942)
13.     Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14.     Limbur Kancana (954 – 964)
15.     Prabu Munding Ganawirya (964 – 973)
16.     Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17.     Prabu Brajawisesa (989 – 1012)
18.     Prabu Dewa Sanghyang (1012 – 1019)
19.     Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20.  Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 – 1042). Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng) menikah dengan putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)
21.     Raja Sunda XXI
22.     Raja Sunda XXII
23.     Raja Sunda XXIII
24.     Raja Sunda XXIV
25.     Prabu Guru Dharmasiksa
26.  Rakeyan Jayadarma, istri Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal anak dari Mahesa Campaka, Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa Wongateleng adalah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari. Artinya, Dyah Singamurti adalah cicit dari Ken Arok dan Ken Dedes.
27.   Sang Nararya Sanggrama Wijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Dia adalah putera Rakeyan Jayadarma dengan Dyah Singamurti. Sehingga seharusnya tahta kerajaan Sunda jatuh ke tangan Raden Wijaya. Namun karena Jayadarma meninggal di usia muda dan Dyah Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah Singamurti dan puteranya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit pertama.
28. Prabu Ragasuci (1297 – 1303) adalah adik dari Rakeyan Jayadarma, yang dinobatkan sebagai Raja Sunda, setelah kepergian Raden Wijaya ke Jawa Timur. Istri Ragasuci bernama Dara Puspa seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana (yang menikah dengan Kertanegara dari Singasari).
29.     Prabu Citraganda (1303 – 1311)
30.     Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333)
31.     Prabu Ajigunawisesa (1333 – 1340) menantu Prabu Lingga Dewata
32.   Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357), dijuluki Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.
33.     Prabu Mangkubumi Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana
34.   Prabu Raja Wastu/Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi). Istri pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang Haliwungan setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri keduanya adalah Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora memiliki anak yang bernama Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewaniskala.
 

Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah lagi menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.
 
Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang dijuluki Prabu Siliwangi.
 
PENUTUP:
 
Kami berharap kisah/cerita/fakta sejarah dapat diungkap dengan proporsional karena selama ini saya dan juga bangsa Indonesia lainnya merasa telah “tertipu” oleh politik yang menyembunyikan fakta sejarah yang sebenarnya. Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa Sanjaya pendiri Mataram Kuno adalah seorang putra Sunda? Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya seorang puteri Sunda? Demikian pula dengan sejarah Majapahit, kenapa tidak pernah pula disebutkan bahwa Raden Wijaya raja pertama Majapahit adalah seorang putera Sunda?
 
Kami khawatir bahwa "penipuan sejarah" ini memang sengaja dilakukan oleh pihak penjajah (Belanda), agar bangsa Indonesia selalu terpecah belah (politik devide et impera). Tidak ada kerukunan antara suku bangsa yang sesungguhnya masih bersaudara. Marilah kita lupakan, ego dari sukunya masing-masing, merasa Majapahit lebih hebat, Sunda lebih hebat, Sriwijaya lebih hebat. Karena siapapun yang hebat, seharusnya kita semua bangga, karena kita semua bersaudara!!!.
  
Mudah-mudahan kejadian “penipuan sejarah” tidak terulang lagi dimasa yang akan datang, terlepas dari keuntungan politik yang akan diperoleh, walau bagaimananpun juga masyarakat tentu akan lebih menghargai informasi yang jujur.

- BERSAMBUNG (ke Bagian 2) -

2 komentar: