Jumat, 02 Maret 2018

KOSMOLOGI SUNDA (Bagian 1)



Definisi KOSMOLOGI menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cetakan Kesepuluh yang diterbitkan Balai Pustaka, berarti : (1) cabang astronomi yang menyelidiki asal usul, struktur dan hubungan ruang dan waktu dari alam semesta (2) cabang dari meta fisika yang menyelidiki alam semesta sebagai sistim yang beraturan, sedangkan Kosmografi, berarti: (1) pengetahuan tentang seluruh susunan alam (2) penggambaran secara umum tentang jagat raya termasuk bumi.

Tulisan ini mengeksplorasi naskah-naskah Sunda buhun tentang Jenis dan tingkatan alam di jagat raya menurut kepercayaan di masa lalu dan diberi judul Kosmologi, namun dalam tulisan disinggung Kosmografi, karena agak sulit memisahkan keduanya ketika membahas salah satunya, mengingat sumbernya yang terpisah-pisah dan sulitnya mencari sumber keterangan yang utuh tentang kosmologi Sunda, kecuali dari naskah-naskah Sunda Kuna.

Sebelum dilanjutkan, yuk kita mendengarkan lagu kacapi suling, "Pajajaran cantrik", biar santai membacanya:



SUMBER INFORMASI

Kosmologi Sunda dalam bentuk naskah yang beredar secara umum baru diketahui dari Koropak 420. Oleh para peneliti kemudian dinamakan Kosmologi Sunda. Di dalam Pengantar Buku tersebut (2006) dijelaskan, bahwa semula para peneliti mengira ketiga naskah tersebut (kropak 420 dan 421 dan 422) berisi teks yang bertalian dengan ajaran agama Islam, karena dalam katalog naskahnya yang dibuat C.M. Pleyte awal abad 20 naskah koropak 420 berisi ajaran Sunan Gunung Jati (lesjes Soenan Goenoeng Djati), adalah tokoh penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Tatar Sunda yang dipandang sebagai salah seorang wali dari Walisanga di Pulau Jawa. Namun, ternyata teks naskah koropak 420 tidak berisi tentang ajaran agama Islam, melainkan uraian Kosmologis Sunda Buhun.

Di dalam teks itu disebut Gunung Jati satu Kali, namun maknanya menunjuk pada suatu tempat dalam sistem Kosmologi Sunda Pra Islam, dan tidak bertalian dengan nama tokoh Islami yakni Sunan Gunung Jati. Menurut para peneliti naskah, naskah dimaksud tidak perlu diragukan lagi kesahihannya, mengigat ditemukan di Kawali yang pernah menjadi ibu kota Sunda Galuh pada abad 14–15 M. Pada masa itu pula Islam sudah mulai masuk ke daerah Galuh, bahkan Haji Purwagaluh berasal dari sini. Setelah Pakuan dibumi hanguskan oleh pasukan Banten banyak para pembesar Pajajaran dan masyarakat Sunda yang masih “tuhu ka Pajajaran” mengungsi ke Kawali. Demikian pula pemberi naskah dan penyimpan naskah ini, yakni Bupati Galuh, R.A. Kusumadiningrat, adalah trah raja Sunda Pajajaran yang bertanggung jawab menyimpan benda-benda pusaka peninggalan Pajajaran. Inilah sejarah ditemukannya naskah Kosmologi Sunda.

Di dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, edisi Kamis 2 Juni 2005, Edi S.Ekadjati menguraikan Kosmologi Sunda dan menghubungkan naskah Kosmologi Sunda (kropak 420) dengan naskah Jatiraga (kropak 422). Menurut penjelasannya, berkaitan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala, maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala. Sedangkan dalam Koropak 422 di kemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan, bahkan menempatkan buana jatiniskala di derajat yang paling tinggi. Dengan demikian, rasanya kurang lengkap jika membaca naskah Kosmologi Sunda tanpa membaca Jatiraga.

Naskah-naskah yang berhubungan dengan Kosmologi Sunda, selain bersumber dari kedua naskah diatas, dapat ditemukan dari naskah lain. Naskah-naskah dimaksud, antara lain :
 
(1) Sewakadarma (dibuat tanpa tahun penulisan, namun menyebutkan naskah Jatiniskala) 
(2) Serat Dewabuda (ditulis tahun 1435 dan tidak menyebutkan naskah lain) ;
(3) Jatiniskala (ditulis tanpa tahun dan tidak menyebut naskah lainnya) ;
(4) Kawih Paningkes (ditulis tanpa tahun, tidak menyebut naskah lain) ;
(5) Sanghyang Siksa Kandang Karesyan (ditulis pada tahun 1518, antara lain menyebut Sang Sewakadarma, naskah ini lebih muda dari nakah Sewakadarma) ;
(6) Carita Parahyangan (ditulis tahun 1580, antara lain menyebutkan Sanghyang Siksa, naskah ini lebih muda dari naskah Sanghyang Siksa) ;
(7) Carita Purnawijaya, Kropak 413 dan 423. Kedua manus krip daun lontar ini dianggarkan berasal dari abad ke-17 Masehi dan disimpan di perpustakaan nasional.

Naskah-naskah diatas menjelaskan tentang perjalanan atma atau jiwa manusia yang telah lepas dari jasad (kurungan) atau mengenai kaleupasan-kalepasan, moksa. Naskah-naskah dimaksud membagai dua bagian pembahasannya, yakni persiapan ketika jiwa menghadapi maut dan peralihan jiwa ke dunia gaib, serta perjalanan jiwa sesudah meninggalkan jasad. 

Sedangkan naskah PURNAWIJAYA menjelaskan tentang alam naraka. Memang naskah seperti SEWAKADARMA menunjukkan ada pengaruh aliran Trantayana yang berkembang di tatar Sunda waktu itu, menampilkan campuran aliran Siwa dhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan nama agama Budha Mahayana, bahkan penulis menemukan kitab ini masih digunakan saudara-saudara kita di Bali. Namun unsur agama Pribumi (Sunda) sudah digunakan, seperti nampak adanya istilah Hyang yang dibedakan dari istilah dewa.

NASKAH KAWIH PANINGKES atau Panikis memperlihatkan telah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan istilah pohaci, wirumananggay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun, bahkan pada masa disusunnya naskah Kawih Paningkes, ageman Sunda Buhun sudah mendominasi ajaran-ajaran tersebut.

Etika ini berhubungan pula dengan isi naskah selanjutnya, tentang kewajiban dan strata manusia dan para dewa, semua harus berbakti kepada Batara Niskala (Tuhan YME) sebagai Yang Hak dan Yang Wujud, sebagaimana yang telah ditentukan sejak penguasa alam menyempurnakan mayapada. 

Menurut buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan: Dewa-dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa dan lain-lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala (Tuhan YME). Dialah penguasa alam, nu ngretakeun bumi niskala (yang mengatur dunia gaib). Jika saja disebutkan ada pengaruh agama Hindu didalam keyakinan urang Sunda, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa akhli, ada baiknya jika meninjau pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905). Keduanya menjelaskan, bahwa agama Hindu pada masa itu hanya berlaku (dianut) oleh lingkungan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat kebanyakan, atau masyarakat Sunda buhun, tetap setia menganut agama ajaran leluhurnya. Hanya saja pada masa Pajajaran raja dan rakyat sudah berpadu, ngegem ajaran Sunda Wiwitan atau Jati Sunda, yang diistilahkan Purbatisti-Purbajati. Tak heran jika Pajajaran sangat membekas didalam paradigma masyarakat Sunda sampai sekarang, dibandingkan dengan kerajaan lainnya.

JAGAT RAYA

Menurut Edi S. Ekadjati di dalam Islam jagat raya terdiri dari lima alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Didalam Islam alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sebelum lahir kedunia (alam dunia), sementara alam barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat. Kosmologi menurut konsep Islam didasarkan pada kronologis kehidupan manusia (dan makhluk lainnya). 

Adpun naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), membagi jagat raya menjadi 3, yaitu :

1. SAKALA :

Dunia nyata dihuni oleh berbagai mahluk yang memiliki jasmani dan rohani. Mereka disebut manusia, hewan, tumbuhan, serta benda-benda lain yang dapat dilihat, bergerak dan yang diam.

2. NISKALA :

Dunia gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal, sorga dan neraka. Makhluk-makhluk tak berjasad tersebut diantaranya dewa-dewi dalam panteon Hindu dan Budha serta panteon Sunda Buhun. Hal ini sebagaimana disebutkan didalam naskah PANIKIS, yang memperlihatkan telah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan istilah pohaci, wirumananggay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun. 

Jika manusia terbawa angkara murka maka akan kembali ke alam niskala sebagai penghuni neraka. Namun jika menurut aturan para dewa penjaga neraka mendapat keringanan, maka harus reinkarnasi kembali ke alam sakala.

Hal ini disebutkan pula didalam NASKAH SEWAKADARMA yang disusun oleh seorang pertapa perempuan, bernama BUYUT NI DAWIT, yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana Gunung Kumbang, diperkirakan disusun sebelum dibuatnya naskah Sanghyang Kandang Karesyan (1518 M). Menurut Ayatrohaedi (2003) dalam tulisan Nganjang Ka kalenggangan, menyebutkan, bahwa : 

Diatas Kahyangan kelima Dewata (Isora, Brahma, Maha dewa, Wisnu, Siwa) terdapat kahyangan Sari Dewata dengan Ni Dang Larang Nuwati sebagai penghuninya, yang pada saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk mengabdikan diri kepada agama. Namun karena ikrarnya itu, karena kesedihannya, maka dia tidak dapat menempati surga tertinggi. Setingkat diatas kahiyangan Nuwati, terletak Kahyangan Bungawari, disitulah tempat tinggal Pwah Sanghyang Sri (Dewi Padi), Pwah Naga Nagini (Dewi Bumi), dan Pwah Soma Adi (Dewa Bulan). Disitulah batas kehidupan Surgawi (sorga tingkat tertinggi).

Namun suatu hal yang perlu dipahami pula, bahwa yang dimaksud kahyangan atau kasorgaan ini bukanlah alam tertinggi, melainkan alam NISKALA.

3. JATINISKALA

Alam Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal (Tuhan YME), dinamakan pula Sang Hyang Manon, atau Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si Ijujatinistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia berada dalam Dzat nya.

Alam Jatiniskala bukanlah alam kasorgaan sebagaimana yang disebutkan dalam naskah KOSMOLOGI SUNDA, atau alam surgawi sebagaimana disebutkan dalam naskah SEWAKADARMA, dan batas kehidupan surgawi bukan batas akhir dari jagat raya, karena bagi sang Atma yang mendapat gemblengan Sewakadarma tidak hanya berhenti sampai di batas sorga, melainkan mampu memasuki bumi kancana, karena disitulah terletak Jatiniskala, tempat kegaiban yang sejati, keadaan serba cerah dalam keheningan yang mutlak. Disitulah tempat keabadian, telah lepas melampaui semua kehidupan dan penghuni alam sakala dan niskala.

Urang Sunda Buhun sangat tegas membedakan antara Surga tempat bermukim para dewa dan Kahyangan tempat keberadaannya Hyang, sebagaimana yang ditulis didalam Sang-hyang Kandang Karesyan, masuk surga disebutnya munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa. Artinya surga adalah tempat sementara, sedangkan kahiyangan atau alam Jatiniskala inilah tempat yang abadi.

Naskah ini menuliskan, :
“...... Inilah keinginan manusia ...... ; yun sementara berarti menginginkan surga, akan kembali menemui dunia, dan yun terhindar berarti ingin mencapai moksa, tidak mau terbawa menjadi penghuni surga. Demikianlah keinginan manusia. (.... Ini kahayang janma ...; yun munggah ma ngaranna hayang sorga, mumul munggah mumul mang gihkon bwana; yang luput ngaranna hayang moktsa; mumul kabawa ku para sarga. Na mana sakitu kaha yang janma saenyana)”. (Ayatrohaedi, 2003).

Alam Jatiniskala digambarkan suka tanpa mengenal duka, kenyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa mengenal mati bahagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk, pasti tanpa mengenal kebetulan, moksa lepas tanpa mengenal ulangan hidup (reinkarnasi).

Keterangan dari naskah Sewaka Darma di atas tidak jauh berbeda dengan keterangan dari naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan, terutama kaitannya dengan keinginan manusia untuk memasuki alam Jatiniskala, yakni : 

“Jika meninggal sukmanya akan menemui kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan, senang tanpa menderita, indah tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi dewa. Itulah yang disebut parama lenyep (kesadaran utama)”. 

TUTUR TINULAR

Susunan Jagat raya didalam Keyakinan Masyarakat Baduy tidak terlepas dari kisah perjalanan manusia melalui tiga buana (alam), yakni : buana handap atau panca tengah, buana rarang dan berakhir di buana luhur (buana atas). Istilah buana menunjukan ruang kehidupan sangat luas yang harus dilalui setiap manusia. Manusia dilahirkan ke buana panca tengah untuk mengembara (ngumbara) dan belajar, apakah akan menemukan kesenangan, bahagia atau sengsara di kelak kemudian hari. 

Masyarakat Baduy menyebut juga dunia panca tengah termasuk sorga jeung naraka (surga dan neraka), dan tempat kehidupan makhluk dan tanaman. (Garna : 1988).

Pandangan masyarakat Baduy merujuk kedalam pandangan terpusat, sehingga mengangap dunia terbagi dua bagian, yakni masyarakat Baduy sebagai masyarakat sakral yang diberi tugas untuk mengelola Sasaka, serta masyarakat luar Baduy, sebagai masyarakat yang profan (tidak sakral/kudus atau tidak berhubungan dengan agama) mengelola nagara telung puluh telu, pancasalawe nagara. 

Keyakinan ini nampak pula dalam ungkapan :
Satangkubeun langit 
Langit nu nuruban
Satangkarak ning lemah
Dunya nu nangkarak Menelungkupnya langit
Langit yang menutupi
Membentangnya tanah
Dunia yang membentang

Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran jagat raya terungkap dalam Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :

1. Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya Sang-Hyang Keresa (Tuhan YME). 
2. Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
3. Buana Larang atau neraka.

Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia. Tingkatan alam tersebut sebagai berikut:
1. Bumi Suci alam Padang.
2. Sang Hyang burung ribut.
3. Sang Hyang Sorong Kancana
4. Bumi cengcerengan.
5. Bumi Putih.
6. Bumi Hawuk.
7. Bumi koneng.
8. Bumi Hejo.
9. Bumi Hideung. 
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek seah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patap an Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul

DALAM TRADISI PERPANTUN BOGOR

Didalam tradisi para perpantun Bogor mengenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala tersebut adalah: 
1. Mandala Kasungka ;
2. Mandala Parmana ;
3. Mandala Karna ;
4. Mandala Rasa ;
5. Mandala Seba ;
6. Mandala Suda ;
7. Jati Mandala ;
8. Mandala Samar ;
9. Mandala Agung.

Sejak dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah termasuk Mandala Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (leluhur) yang sudah mencapai alam kasucian. 

Tahapan Mandala ini dikisahkan, sebagai berikut :
  • Ari Panjangnya Jaman. Nurutkeun tahapan Mandala; jeung ti hiji mandala deui anggangna teh hanteu saruwa ... !. Kabehna Mandala saloba salapan ! 
  • Nahap Ngundak ti handap anu disebut Mandala Kasungka. Laju nahap di Mandala Parmana. Laju nahap di Mandala Karna; Laju di Mandala Rasa .. unggah di Mandala Seba; unggah deui di Mandala Suda ... !
  • Dimandala Suda kumpul karuhun-karuhun anu meunang pulang anting ka jagat ieu; di lebah perelu .... meunang ngarupa cara manusa. Tapi ngan nyawarakeuna rasa manusa ........ ! atawa nyawara tanpa rupa !.
  • Anggeus Mandala Suda, laju: Mandala anu nahap kana alam kasucian; nyaeta anu disebut Mandala Padumu kan para Karuhun dina ngaran: Jati Mandala .... ! lain Mandala Jati .... tapi Jati Mandala ..... ! Nya didinya ayana Paseban Pangauban paranti kumpul para Karuhun anu geus diwenangkeun bisa turun deui ngalongok manusa ieu jagat bari ngarupa jeung nyawara. Nya tonggoheun eta paseban ayana: Papanggungan Bale Agung. Paranti Karuhun narang gowan giliran mudu Nitis ....!
  • Saruhureun Jati Mandala, nyaeta Mandala Samar tea ........ ! Tonggoheun enggon Karuhun aya tilu enggon anu sajajar. Nu ditengah: paranti Sanghiyang Guru ...... anu disebut Sanghiyang Guriang Tunggal. Anu dikenca paranti Sanghiyang Wenang. Enggon anu beulah katuhu paranti Sanghiyang Wening. Tonggo heun enggon tengah aya deui enggon paranti Sanghiyang Kala, nya Dewa nya Batara ..... !
  • Saruhureun eta kabeh Mandala tadi, aya deui Mandala anu ti Mandala samar bae, anggangna teh: Duwa Puluh Salapan Jaman Satengah .... ! nya eta Mandala anu disebut Mandala Agung tea ... ! nya di dinya ayana: Sanghiyang Tunggal ... anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat.
Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung (Kahyangan) atau tempatnya Sang-Hyang Tunggal (Tuhan YME). Jika roh manusia telah selesai menjalankan tugas hidup dan kehidupannya di Buana Pancatengah, maka sukma harus kembali ke Kahyangan (Tuhan YME). Sukma dahulu turunnya dari Kahyangan dalam keadaan baik maka kembalinyapun harus baik pula, namun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya sukma sangat tergantung kepada amal perbuatan sewaktu berada di Buana Panca tengah.

Teks buhun umumnya mengabarkan cita-cita urang sunda buhun jika meninggalkan alam dunya yakni “balik ka Hyang lain ka Dewa”. Namun yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatan selama hidup di dunia. Jika sikap, perilaku dan perbuatannya buruk dan bertentangan dengan ajaran agama, maka akan masuk kedalam siksa neraka, hingga mendapat keringanan dan kemudian akan dilahirkan kembali (reinkarnasi) ke alam dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, maka rohnya akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga).

PENCIPTAAN BUMI (Dijelaskan pada bag. ke-2).




1 komentar: