Rabu, 07 Februari 2018

FAKTA SEJARAH BAHWA PURNAWARMAN RAJA MENDUNIA (Bagian-2)


ANALISA TENTANG PURNAWARMAN RAJA MENDUNIA 

Penulis yakin bahwa Purnawarman adalah raja diraja atau maharaja yang mempunyai kekuasaan mendunia, bahkan mungkin setara atau menyamai luas wilayah nusantara sekarang, dengan alasan tidak terdapatnya data sejarah mengenai kerajaan-kerajaan lain dibagian Indonesia sebelah timur, berita mengenai munculnya kerajaan-kerajaan disebelah Timur Indonesia baru muncul ketika masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya, mulai sekitar abad 7, berita pelancong dari negeri jazirah Arab. Artinya sah-sah saja kalau dikatakan Tarumanagara mengusai wilayah tersebut. Bahkan tatar Jawa yang bisa dikatakan lebih modern, tidak terdapat sama sekali berita mengenai telah tumbuh dan berkembangnya suatu kerajaan pada masa itu. Tatar Jawa juga sah kalau diklaim masuk wilayah kekuasaannya Kerajaan Tarumanagara. Begitu pun di wilayah Indonesia bagian barat, tidak ada informasi pada saat itu salah satu kerajaan yang memberikan informasi seperti Tarumanagara. Sah juga kalau dianggap mereka berada dalam kekuasaan Tarumanagara. 

Pembaca yang budiman pasti bertanya bagaimana dengan kerajaan Kutai? Nah, mari kita lihat bukti fakta sejarah yang ada. 

1.    Prasasti yang ditemukan di Kutai yang diperkirakan dibuat pada abad ke-4. Prasasti itu bukan dibuat oleh raja di daerah Kutai, tapi dibuat oleh para Brahmana sebagai ucapan terima kasih atas kemurahan hati raja Mulawarman atas hadiah berupa 1000 ekor sapi dan lainya, ada juga yang mengatakan lembu. Tetapi dalam prasati itu tidak dijelaskan nama kerajaan. CATAT! Nama kerajaan Kutai itu diberikan setelah diketemukan Naskah Nagarakertagama yang menyebutkan adanya kerajaan dibawah Kerajaan Majapahit yang bernama Kutai Kertanagara. Merujuk dari informasi Nagarakertagama, entah siapa yang memulai, maka prasasti yang diketemukan itu dinamai prasasti kutai dan Nama Kerajaannya pada kisaran abad ke-4 itu diduga adalah Kerajaan Kutai. 

2.    Perhatikan nama raja-raja yang disebut dalam prasasti tersebut. Pertama, Kudungga yang menerangkan mempunyai seorang putra. Kedua Aswawarman adalah putra dari Kudungga yang mempunyai 3 orang putra, hanya putra yang cemerlang yang disebut, dan Aswawarman ini adalah pendiri dinasti, entah apa nama dinastinya, tidak disebutkan. Ketiga. Mulawarman, putra yang paling cemerlang diantara ketiga putra Aswawarman tersebut diatas. Tentang penyebutan nama Kudungga dan Aswawarman hanyalah penyebutan silsilah keluarga dari Raja Mulawarman sebenarnya oleh para Brahmana dalam prasasti tersebut. Jadi tidak menyebutkan raja-raja yang berkuasa di daerah tempat prasasti ditemukan pada masa itu.

3.    Lihat kembali jumlah hewan ternak sapi yang dihadiahkan kepada para Brahmana, 1000 ekor, bukan kah itu juga jumlah yang diberikan raja Purnawarman terhadap para Brahmana di Kerajaan Tarumanagara, cek prasati Tugu? Kalau dilihat dari huruf dan bahasa yang digunakan adalah sama yaitu huruf palawa dan bahasanya sansekerta. Mungkin ada perbedaan sedikit, tergantung siapa yang menulis dan tahun penulisan. Tapi pada dasarnya sama.

4.    Dalam bahasa sansekerta yang penulis ketemukan dari beberapa sumber. Purnawarman, asal kata dari Purna dan Warman. Purna artinya selesai atau sempurna, warman artinya cahaya atau raja. Jadi purnawarman adalah cahaya sempurna atau raja sempurna. Mulawarman berasal dari kata Mula dan Warman, mula artinya awal, permulaan, Warman sama seperti diatas mempunyai arti cahaya atau raja. Dengan demikian Mulawarman mempunyai arti raja permulaan. Ada pepatah, timur jauh dengan barat jauh bukankah menunjuk tempat yang sama? Begitu juga penulis berpendapat, raja sempurna dan raja permulaan dapat menunjuk pada satu orang yang sama. Kalau Mulawaman artinya raja permulaan, kenapa nama itu tidak diberikan kepada Kudungga?

5.    Yang jadi pertanyaan selanjtunya, kenapa seorang raja yang sama diberikan dua nama berbeda (Mulawarman dan Purnawarman)? Nah, mari kita perhatikan prasasti yang menerangkan tentang Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Purnawaraman itu menunjukan angka pembuatan pada tahun 536 Masehi, tepat satu tahun setelah bencana alam super dasyat, letusan gunung Krakatau 535 Masehi. Mungkin inilah penyebab perubahan nama raja dari Mulawarman menjadi Purnawarman (raja yang sempurna). Bencana alam gunung krakatau diperkirakan juga menyebabkan eksodus masyarakat Tarumanagara ke arah menjauh sumber bencana dan arah yang mungkin adalah ke arah timur. Para Brahmana yang membuat prasati yang diketemukan di daerah hulu sungai Mahakam yang terkenal dengan sebutan prasasti Kutai adalah para pelaku yang melakukan eksodus akibat bencana tersebut lewat laut. Kelihatanya. Kita baru dapat melihat jelas terhadap sejarah Nusantara masa lampau kalau seandainya 26.000 manuskrip yang ada di Leiden, negeri Belanda itu bisa kita angkut ke tanah air tercinta, arsip kita aja hanya 12000-an. 

Fakta sejarah selanjutnya yang mendukung dugaaan bahwa raja Purnawarman adalah raja mendunia adalah sebagai berikut:

1.   Prasasti Ciaruteun, memuat tulisan: 
“Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur, Purnawarman penguasa Tarumanagara”. 

2.   Prasasti Cidanghiang, memuat tulisan: 
“Ini (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sungguh-sungguh dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji seluruh raja-raja”. 

3.   Prasasti Pasir Kaleangkak (Bogor), berisi: 
“Gagah, mengagumkan, dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termasyhur Sri Purnawarman, yang memerintah diTaruma dan baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya.” 

4.   Prasasti Kebon Kopi (Cibungbulang), berisi:
Di sini tampak sepasang kaki … yang seperti Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam …dan kejayaan.” 

5.   Prasasti Tugu, berisi: 
“Dahulu kali yang bernama Kali Chandrabhaga (Kali Bekasi) digali oleh Maharaja Yang Mulia yang mempunyai lengan yang kencang dan kuat, yakni Raja Purnawarman. Setelah melewati istana baginda yang masyhur, kali itu dialirkan ke laut. Kemudian, di dalam tahun ke-22 dari takhta baginda, Raja Purnawarman yang berkilau karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji segala raja, memerintahkan pula menggali kali yang indah serta jernih airnya. Kali Gomati namanya. Kali ini mengalir di tengah-tengah kediaman Sang Pendeta Nenek da Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yakni pada tanggal 8 paro peteng bulan Phalguna dan diakhiri pada hari tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Galian itu panjangnya 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dilaksanakan oleh para brahmana. Untuk selamatan itu, Raja Purnawarman mendharmakan seribu ekor sapi”. 

6.   Lihat juga pembangungan sungai dengan sekala besar, 11 kilometer, prasasti Tugu, dan sungai lainnya dan itu bukan pekerjaan mudah, perlu kerjasama semua pihak untuk melakukan pekerjaan tersebut, dan diperuntukan untuk meningkatkan produksi pangan serta sistem pengairan lahan, apakah serasi dengan simbolisasi Lebah? Wajar kalau kerajaannya ditakuti dan disegani, dan wajar juga kalau Purnawarman mengusai seluruh wilayah Nusantara, tidak pernah terkalahkan, serasi dengan simbolisasi laba-laba dan lebah.

7.   Raja di Nusantara mana yang pernah menyumbang atau memberi hadiah 1000 ekor sapi kepada para Brahmana? 1000 ekor x 10 juta, misal harga sapi 10 juta berati total yang disumbangkan adalah 10 milyar, nilai yang sungguh fantastis, itu cuma hadiah loh. Jelas Tarumanegara bukan kerajaan kecil, dan pemberian hadiah itu semata-mata memberi contoh bersedekah dan kepercayaan terhadap apa yang dia anut, dan pemberian hadiah ini pula menjadi simbol kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, serasi dengan simbolisasi teratai dan lebah.

8.   Sumber luar negeri tentang masa Kerajaan Tarumanagara ini diberitakan oleh Fa-Hien (414 Masehi), berita dinasti Sui (528 dan 535 Masehi) dan dinasti Tang (666 dan 669 Masehi). To-lo-mo diduga secara fonetis sebagai Taruma atau menunjuk kerajaan Tarumanagara  Ini juga menjadi indikasi bahwa kerajaan pada saat itu yang diakui di Nusantara adalah kerajaan Tarumanagara. Lihat tahun pada dinasti Sui 528 dan 535 Masehi. Terhenti di 535 Masehi dan itu kejadian bencana alam seperti disampaikan diatas.

9.   Penemuan situs percandian Batujaya yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik. Ditermukan sebanyak 24 candi sekaligus. Itu baru di permukaan, belum yang di bawah permukaan. Bisa jadi yang terbesar di Asia Tenggara. Situs Batujaya telah dengan luas sekitar 5 kilometer persegi. Dahulu di sepanjang pesisir Karawang berjejer bangunan tertua di Indonesia. Abad 4 Masehi, warisan kerajaan Tarumanegara. 2 Candi sedang dipugar, yaitu: Candi Jiwa dan Candi Blandongan. Berdasarkan analisis radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.

Pakar arkeologi Indonesia mengatakan, Situs Batujaya menggunakan material bata pada abad ke-5 Masehi, berdasar analisis pertanggalan Radiocarbon Dating C-14, analisa bentuk paleografi. Jadi, bata di Batujaya bisa lebih tua dari batu candi2 di Indonesia. Membuat bata lebih sulit daripada memahat batu. Penguasaan teknologi pembuatan bata, dari sejak pemilihan jenis tanah, bentuk, ukuran dan pembakarannya, apalagi awet sampai hari ini, menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi. Bata berukuran 41 x 22 x 7 cm diolah sangat baik ; keras, bercampur ( temper ) pasir, kulit padi ( sekam ) dan dibakar sempurna.

Di samping candi, di situs Batujaya juga ditemukan 5 kerangka manusia akhir prasejarah ( sekitar abad ke-2 M ) yang ditemukan di pelataran Candi Blandongan. 5 kerangka manusia dilengkapi bekal kubur dan 2 batu menhir berukuran 2,1 meter dan 2,2 meter. Kelima kerangka terkubur di kedalaman 93 meter dengan posisi berjejer dan hanya satu yang utuh dari ujung batok kepala hingga ujung tulang kaki. Gerabah yang utuh dan pecah berada di antara tulang kaki kerangka. Ada yang disimpan di atas perut dan berdekatan dengan kerangka. Di tulang lengan, ada benda logam. Kerangka itu sudah ada sebelum muncul Kerajaan Tarumanagara (era kerajaan Salakanagara). Masyarakat Sunda kuno diduga sudah kontak dengan India, Srilangka dan Bali ( Situs Sembiran ) sejak awal Masehi. Dengan X-ray Diofraction ( XRD ), gerabah2 tsb mirip dengan gerabah di Situs Anuradhapura (Srilangka) dan Arikamedu (India). Tembikar Arikamedu mendapat pengaruh dari kebudayaan Buni (Sunda Kuno). Gerabah di Candi Blandongan dibuat dari bahan setempat dengan teknologi “budaya Buni”.

Dari uraian di atas, jelaslah sudah bahwa Tarumanagara merupakan kerajaan besar yang memiliki peradaban dan kebudayaan tinggi, dengan rajanya Purnawarman seorang raja yang mendunia dan menjadi panji seluruh raja-raja. 

Disarikan dan ditambahkan dari sumber utama: htt://menguaktabirsejarah.blogspot.com/2012/06/purnawarman-raja-mendunia.htm, dengan penambahan dari beberapa referensi/sumber terkait).

- SEKIAN -

FAKTA SEJARAH BAHWA PURNAWARMAN RAJA MENDUNIA (Bagian-1)


Prasasti Ciaruteun dkk (dan kawan-kawan) artinya prasati Ciaruteun dan prasati sejenis pada masa Kerajaan Tarumanagara menyatakan bahwa raja pada waktu itu bernama Purnawarman. Batu prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran sungai Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane, namun pada tahun 1981 prasasti diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini ditandai sebagai peninggalan Kerajaan Tarumanagara, berhuruf  Palawa dan bahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi: 

“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”. 

Terjemahannya menurut Vogel: 
“Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur, Purnawarman penguasa Tarumanagara”. 

Selain tulisan, terdapat juga gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan. Ukiran bendera dan sepasang lebah dengan jelas ditatahkan pada batu prasasti, terdapat juga ukiran kepala gajah bermahkota teratai. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang diperkirakan sebagai lambang laba-laba, bisa juga matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan), bisa juga campuran keduanya.

Baik. Kita akan urai satu-satu tentang ke semua simbol yang terdapat dalam batu prasasti tersebut. 

PERTAMA, TENTANG SEPASANG LEBAH 

Secara umum terdapat sifat-sifat lebah, seperti:
  1. Membangun. Lebah adalah salah satu arsitek besar dalam dunia serangga, membangun rumah bertingkat yang rumit dan kompleks yang dihuni oleh seluruh komunitas.
  2. Merawat atau memelihara sesama dan memberi makan larva sehari 30 kali (gak kurang gak lebih, pass....ckckckckk sungguh fantastis).
  3. Berkomunikasi. Melalui gerakan, suara, dan sikap tubuh, lebah dapat mengkomunikasikan informasi rumit tentang lokasi tanaman dan jenis bunga yang ditemukan.
  4. Menghitung. Lebah dapat menemukan kembali benda-benda dengan mengingat jumlah benda-benda mencolok di sepanjang perjalanan menuju tujuan yang diinginkan.
  5. Menari. Ketika lebah kembali ke sarangnya, dia akan melakukan tarian rumit untuk menyampaikan informasi lokasi dan arah dari penemuan baru kepada teman-temannya.
  6. Membedakan lebah lainnya. (padahal menurut kita sama semua, bingung bin heran!)
  7. Makan. Itu mah sudah pasti. Tapi ingat lebah makannya yang baik-baik, tidak sembarangan, gak jorok, dan makananya hanya berupa serbuk sari.
  8. Berkelahi. Bukan hanya sekedar berkelahi, tetapi juga dengan keganasan, fokus kecepatan, dan koordinasi peralatan perang mereka, sehingga membuat film-film silat yang diputar dengan lebih cepat sekalipun akan tampak lambat dan menyedihkan jika dibanding dengan kecepeatan menyerang para lebah.
  9. Terbang. Dengan memakai sistem navigasi sehingga mampu terbang berkerumun dengan koloninya, tanpa mengalami kesulitan akibat kerumunan itu.
  10. Mendengar. Sama halnya seperti manusia.
  11. Hidup dalam komunitas yang teratur dan berfungsi dengan selaras.
  12. Menentukan arah. Dalam sekala mini, lebah setara dengan pesawat terbang canggih masa sekarang. Bayangkan berusaha mendarat disebuah daun yang bergerak dalam tiupan angin yang kencang,. 
  13. Memproduksi madu. Siapa pun pasti kenal fungsi madu yang teramat banyak bagi kesehatan.
  14. Mengatur suhu. Ketika sarang menjadi terlalu panas, sekelompok lebah akan bekerja secara harmoni untuk mengatur kembali suhu sebesar sepersepuluh derajat celsius, dengan menggunakan sayap-sayap mereka sebagai kipas angin raksasa, dan memasukan udara sejuk sampai sarang mencapai derajat suhu yang diinginkan (wuiihhhhhh ruarrrrrr bisaaaa!!!! Soalnya gak ada tukang pasang AC kalee hehehe).
  15. Mengingat. Mereka tidak akan bisa menghitung, mengkomunikasikan atau bertahan hidup jika mereka tidak mengingat.
  16. Reproduksi. Sistem reproduksi yang dimaksud adalah bahwa lebah terbagi menjadi tiga kelas; Ratu, pejantan dan pekerja. Ratu menghasilkan telur dan koloni, jantan melakukan perkawinan maksudnya dengan ratu pada musim semi dan panas.
  17. Melihat. Penglihatan lebah peka terhadap sinar ultraviolet.
  18. Berkerumun dalam formasi yang sangat rumit, tidak sekedar berkerumun, dibandingkan dengan skuadron pesawat tempur, masih hebatan formasi dan manuver mereka. Ohhhh berkerumun maksudnya saat terbang....manteppsss gak kalau gitu, hebat kan  bisa gak tabrakan?
  19. Mencicip, membaui, mengecap dan meraba atau menyentuh. 

KEDUA TENTANG TERATAI (TERATAI=PADMA) 

Karena kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan beragama Hindu, maka bahasan tentang teratai akan dilakuan dalam kontek agama Hindu juga, sumber materinya berasal dari kitab-kitab Upanisad. Kitab-kitab itu kurang lebih menyatakan bahwa dalam agama Hindu ada banyak sekali media yang digunakan sebagai sarana untuk memuja Sang Pencipta, salah satunya adalah Padmasana, Di Padmasanalah Sang Pencipta itu disthanakan. 

Kata Padmasana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Padma yang artinya teratai dan Asana artinya sikap duduk atau tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang berbentuk teratai. Oleh sebab itu pelinggih (Bangunan Pura) yang paling utama disebut Padmasana. Bangunan ini pada bagian bawahnya berbentuk kembang teratai, di atas kembang teratai inilah bangunan Padmasana didirikan. Bunga teratai itu simbol dari tempat duduk atau berdirinya dewa-dewa. Mengapa dipilih bunga teratai? Karena bunga teratai mempunyai kelainan dengan bunga-bunga pada umumnya. Di antaranya sebagai berikut:
  1. Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh di dalam lumpur, batangnya berada di air dan bunganya berada di atas air. Dengan demikian bunga teratai hidup di tiga alam yaitu alam lumpur, air, dan udara. Di dalam, ajaran agama Hindu Hyang Widhi disebutkan bertahta di atas tiga alam ini, sebagai penguasa Tri Bhuwana yaitu alam Bhur, Bwah, dan Swah. Hidup bunga teratai di dalam tiga alam inilah yang diidentikkan dengan Bhur, Bwah, dan Swah sehingga bunga teratai bisa dianggap simbol Tri Bhuwana.
  2. Bunga teratai walaupun hidup di lumpur yang busuk dan hidup di air tetap berbau harum dan tidak basah oleh air. Sebab itu maka bunga teratai dianggap sebagai lambang kesucian, bebas dari ketidakterikatan.
  3. Bunga teratai mempunyai tangkai bunga yang lurus dan pangkal yang berada dalam lumpur sampai ke sari bunganya yang berada di atas air. Sesuatu yang lurus itu biasanya dipakai sebagai simbol yang baik.
  4. Meskipun bunga daun (kelopak daun) bunga teratai itu lebih dari delapan kelopak, tetapi di dalam mythologi selalu dilukiskan bahwa daun kelopak bunga teratai itu berjumlah delapan, dengan tepung sari di tengah sebagai simbol Hyang Widhi yang menguasai seluruh penjuru mata angin. 

KETIGA TENTANG LABA-LABA (JARING LABA-LABA) 

Laba-laba cenderung membangun jaringnya, yang demikian berharga baginya, di tempat yang sunyi. Alasannya adalah untuk menghindari kerusakan oleh binatang-binatang atau oleh kondisi-kondisi alam. Laba-laba telah menggunakan model-model ini di seluruh dunia sejak pertama kali mereka muncul. Laba-laba, seperti mahluk hidup lainnya, berbuat hanya berdasarkan inspirasi dan tuntutan situasi yang ada dan sebagai cara untuk bertahan hidup. Belajar dari sifat dan kehidupan laba-laba, Inilah merupakan fitrah setiap mahluk hidup yang dianugrahkan Tuhan segala kelebihan dan kekurangannya sesuai dengan kondisi kehidupan yang dihadapainya.

Mengenai kekuatan jaring laba-laba Tempo.Co, Boston  mengungkapkan bahwa para ilmuwan di Amerika Serikat berhasil menemukan jawaban mengapa jaring laba-laba mampu menahan kekuatan besar. Mereka mengklaim temuan ini dapat digunakan untuk membantu merancang bahan berkekuatan super generasi baru. Menurut para ilmuwan, kekuatan luar biasa jaring laba-laba tidak hanya disebabkan bahan baku benang sutra yang memang alot, tapi juga desain rumit jaring itu sendiri. Markus Buehler dari Massachusetts Institute of Technology di Boston mengatakan, kekuatan sesungguhnya dari jaring laba-laba tidak terletak pada benang sutra penyusunnya. "Tapi pada perubahan sifat mekanis ketika ada yang mengenai jaring itu," ujar dia. Struktur kompleks jaring berperan penting. Ketika salah satu untaian benang putus atau rusak, misalnya, kekuatan keseluruhan jaring laba-laba justru semakin meningkat. Menurut Buehler, pembuatan jaring menyita sebagian besar energi laba-laba sehingga hewan itu butuh desain yang mencegah perbaikan besar ketika jaring rusak. Para ilmuwan juga menemukan benang sutra pada jaring laba-laba memiliki kemampuan untuk menjadi lunak atau kaku, tergantung seberapa besar beban yang mengenainya. "Ini tidak seperti serat alami atau buatan manusia lainnya," kata Buehler lagi.

Para ilmuwan membandingkan benang sutra laba-laba dengan tiga bahan lain sebagai pembuat jaring. Ternyata, sutra laba-laba enam kali lebih tahan terhadap kerusakan ketika tertimpa ranting jatuh atau angin kencang. Begitu pula ketika diberi beban tambahan. Hanya satu jalinan benang sutra laba-laba yang rusak. Dengan kerusakan minim itu, laba-laba hanya perlu melakukan perbaikan kecil pada jaringnya setiap ada kerusakan daripada membuat jaring baru. Yang juga mengejutkan, ketika para peneliti mengurangi beban hingga 10 persen dari berbagai titik pada jaring laba-laba, jaring tersebut malah 10 persen lebih kuat. Menurut penelitian ini, benang sutra laba-laba lima kali lebih kuat daripada benang serupa yang terbuat dari baja.

Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Jurnal Nature, Jumat, 3 Februari 2012, ini menemukan, jaring laba-laba mengandung dua jenis benang sutra. Jenis pertama adalah benang sutra kaku dan kering yang merentang seperti jari-jari dari titik pusat ke tepian jaring. Jenis kedua adalah benang sutra yang lebih tipis dan lengket, disebut "sutra lengket". Benang jenis kedua ini disusun melingkar, menempel pada jari-jari sutra kering. Sutra lengket juga berguna untuk menjebak mangsa yang menyangkut di  jaring laba-laba itu.

Selain kuat, benang-benang yang membentuk jaring laba-laba juga elastik. Namun tingkat elastisitasnya pada masing-masing daerah berbeda. Elastisitas ini penting untuk alasan-alasan berikut ini:
  1. Jika tingkat elastisitasnya lebih rendah dari yang diperlukan, serangga yang terbang menuju jaring akan terpental balik seperti menubruk sebuah pegas yang keras.
  2. Jika tingkat elastisitasnya lebih tinggi dari yang diperlukan, serangga akan memolorkan jaring, benang-benang lengket akan menempel satu sama lain dan jaring tersebut akan kehilangan bentuknya.
  3. Pengaruh angin telah masuk dalam perhitungan elastisitas benang. Jadi, jaring yang teregang oleh angin dapat kembali ke bentuk semula.
  4. Tingkat elastisitas juga sangat berhubungan dengan benda yang melekat pada jaring. Sebagai contoh, jika jaring melekat pada tumbuhan, elastisitasnya harus mampu menyerap setiap gerakan yang disebabkan tumbuhan tersebut.
  5. Benang-benang penangkap yang terjalin berbentuk spiral letaknya saling berdekatan satu dengan lainnya. Ayunan kecilpun dapat saling melekatkan satu dengan lainnya, dan menyebabkan celah-celah pada medan perangkap. Itulah sebabnya benang-benang penangkap yang lengket dan berelastisitas tinggi ini terletak di atas benang-benang kering yang berelastisitas rendah. Ini untuk mencegah potensi terbentuknya celah untuk lolos.
Seperti telah kita lihat, pada setiap segi jaring dapat kita lihat suatu keajaiban struktural dan ini yang menciptakan sifat redam-kejut pada jaringnya. 

ANALISA SIMBOL LEBAH, TERATAI DAN LABA-LABA 

Pertama tentang lebah. Coba pembaca resapi, renungkan dan pikirkan dari uraian tentang lebah. Seandainya simbol sepasang lebah itu bertujuan untuk memberikan informasi mengenai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerajaan Tarumanagara, artinya Kerajaan Tarumanagara sudah mengalami peradaban begitu maju luar biasa. Sempurna sebagai sebuah bangsa dan negara dalam tata dan aturan yang mereka miliki serta konsep kehidupam semua elemen didalamnya. Tidak termasuk katagori peradaban terbelakang, kuno atau bahkan purba malah sangat maju. Mereka sudah mampu menerapkan sistem kehidupan normal yang hampir sama dengan kehidupan kita sekarang, bahkan kalau benar-benar sifat kehidupan itu sesuai dengan sifat lebah diatas secara faktual dan nilai, mereka jauh beradab dari kita sekarang. Nilai-nilai disini maksudnya tidak dipengaruhi dan bukan berbicara masalah teknologi.

Wajar seandainya Kerajaan Tarumanagara menjadi idola, contoh, dan sumber inspirasi bangsa-bangsa lain. Disegani, ditakuti atau bahkan dijadikan induk bagi kerajaan-kerajaan yang lainnya. Mempunyai tingkat kehidupan sosial dan budaya yang sudah sangat teratur dan tersusun sistematis. Biasanya bangsa seperti ini adalah bangsa yang besar, dihargai dan disegani pada masanya. Lihat kembali poin-poin tentang lebah. Penulis merasa relevansinya  tidak perlu dijabarkan atau dijelaskan lagi, penulis yakin pembaca bisa memaknainya secara sempurna.

Kedua tentang Teratai. Ini merupakan simbolisasi dari nilai-nilai spiritual, religius, yang berkembang dalam kehidupan berkenegaraan di Kerajaan Tarumanagara. Memberikan tanda atau informasi kepada kita bahwa masyarakat Tarumanagara sebagian besar masyarakatnya yang sudah memiliki kepercayaan kepada Sang Pencipta atau beragama, dan bukan animisme atau dinamisme. Bukankah agama berasal dari bahasa sansekerta? “a” berarti tidak, “gama” berarti kacau. Karena digabung jadi pengertian agama mengadung arti kata “tidak kacau” artinya orang beragama adalah orang yang hidupnya tidak kacau. Masyarakat beragama adalah masyarakat yang tidak kacau, masyarakat yang sudah patuh dan taat terhadap aturan yang diajarkan dan dibimbing oleh nilai-nilai kepercayaannya yang dianut, ada pola keteraturan dalam bermasyarakat dalam hal ini. Jelas sudah! Bahwa Kerajaan Tarumanagara adalah kerajaaan yang beragama, kerajaan yang hidup berdasarkan nilai-nilai kepercayaan yang meraka jalankan. Inilah yang menjadi ciri bahwa Kerajaan Tarumnagara sudah mempunyai peradaban yang tinggi.

Ketiga tentang laba-laba. Penulis memaknai uraian tentang laba-laba diatas yaitu bahwa Tarumanagara sebagai sebuah negara atau kerajaan yang sudah terbentuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, tentunya untuk mempertahankan kedaulatanya perlu sistem pertahanan negara yang kuat seandainya ingin tetap disebut sebagai sebuah negara. Tanpa itu, dalam waktu cepat Tarumanagara akan wassalam, tamat! Jangan harap bisa terus berdiri. Simbolisasi laba-laba yang mau disampaikan adalah sebuah simbol yang berisikan nilai filosofis terhadap pertahanan negara yang menggunakan sistem jaring laba-laba. Sistem pertahanan negara yang mempunyai sifat elastis, fleksibel, kuat dan bisa mematikan serta daya tahan luar biasa bahkan nilai-nilai sportif pun ada alias fair play atau kesatria, juga kelihatan dalam hal ini simbol jaring laba-laba digabung dengan sifat lebah, alhasil akan memenuhi sekali kriteria “art of war”.

Sungguh kerajaan Tarumanagara mempunyai konsep filosofi yang sangat luar biasa untuk sistem pertahanan negaranya. Apakah saat sekarang masih relavan? Konsep ini kelihatanya berlaku sepanjang masa. Ini adalah warisan dari peradaban jaman dahulu kala, ini pun jika kita mampu memaknainya, teramat berharga nilai-nilai yang diwarisankan kepada kita, walau dalam bentuk simbol, kewajiban kitalah untuk menggali dan mendalaminya. 


(Bersambung)

AWAL MANIPULASI SEJARAH BANGSA SUNDA NUSANTARA


Pada awal berdirinya negara Amerika Serikat (4 Juli 1776), maharaja Sunda Nusantara, SRI BADUGA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALIOEDDIN AL MISRI memberikan pinjaman keuangan/ kolateral (ribuan ton emas) kepada negara Amerika Serikat. Beliau merupakan raja pertama yang mengakui kemerdekaan Amerika Serikat yang dipimpin presiden pertama, George Washington. Beliau juga turut membantu dalam pembangunan gedung pemerintahan AS, “White House”. Oleh karena itulah bentuk gedung pemerintahan AS, “White House” serupa  dengan Istana Bogor (salah satu istana Maharaja Sunda Nusantara). 

Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris, dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (dari arsip kuno yang ditemukan, wilayah Amerika sebenarnya merupakan kerajaan bawahan dari kemaharajaan Sunda Nusantara). Raja Inggris, George III terguncang jiwanya atas kemerdekaan Amerika Serikat, dan menaruh dendam kepada kemaharajaan Sunda Nusantara.

Pada tanggal 10 Mei 1810, pasukan kemaharajaan Sunda Nusantara dibawah pimpinan SRI BADUGA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI dapat mengalahkan pasukan laut Kerajaan Perancis dibawah komando Herman Williem Daendels, yang hendak menyerang wilayah kedaulatan kemaharajaan Sunda Nusantara. H.W. Daendels beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendels dipenjarakannya. H.W. Daendels adalah perwakilan dari kerajaan Perancis (ketika itu Belanda masih dijajah oleh Perancis). Maharaja Sultan Achmad Al Misri, berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan.

Kekalahan tentara laut Perancis dibawah komando Daendels oleh Baginda Sultan Achmad diperingati dengan rasa syukur. Sultan Achmad yang pernah bersekolah di Inggris mengundang sahabatnya Thomas Stanford Raffles untuk merayakannya, karena menganggap Inggris adalah musuh bebuyutan Perancis. Beliau beranggapan bahwa Inggris akan merasa senang bila kemaharajaan Sunda Nusantara berhasil memukul Perancis dan menawan panglimanya. Namun ternyata T.S. Raffles membawa tugas misi khusus dari Raja Inggris, George IV, yang masih dendam pada maharaja Sunda Nusantara atas kemerdekaan negara Amerika Serikat. T.S. Raffles ditugaskan untuk membunuh Sultan Achmad, menghancurkan kemaharajaan Sunda Nusantara, dan membebaskan H.W. Daendels. Karena H.W. Daendels adalah bangsawan De’Orange yang masih sepupu keluarga Buckingham, dan ketika itu Perancis telah kalah oleh Inggris. 

T.S. Raffles mengajak Sultan Achmad untuk berkeliling wilayah Nusantara, dengan tujuan Pulau Banda (bagian kepulauan Sunda Kecil, penghasil pala terbaik di dunia). Ketika itu Sultan Achmad hanya dikawal pasukan kecil saja, karena tujuannya hanya sekedar jalan-jalan. Sultan Achmad tidak menyadari bahwa ajakan sahabatnya itu sebenarnya adalah jebakan, karena sebelum keberangkatan, T.S. Raffles telah memerintahkan pasukan AL nya untuk menunggu di Laut Banda. Begitu sampai di laut Banda, rombongan Sultan Achmad dikepung oleh pasukan AL Inggris yang telah siap dengan persenjataan lengkap. Sultan Achmad tidak berdaya, kemudian diikat dan ditinggalkan begitu saja oleh T.S Raffles di sebuah pulau kosong, dengan tujuan agar mati. Kapal kebesaran Sultan Achmad diambil alih oleh T.S. Raffles dengan tujuan agar dia dapat kembali ke pusat kerajaan Sunda Nusantara tanpa dicurigai oleh pasukan kerajaan Sunda Nusantara. 

Inilah sebabnya ketika rombongan kapal kebesaran Sultan Achmad (yang telah dikuasai T.S. Raffles) beserta kapal pasukan AL Inggris kembali ke pelabuhan Sunda Kalapa tak ada perlawanan, karena mengira mereka adalah rombongan Sultan Achmad dan sahabatnya T.S. Raffles. Siasat ini menyebabkan T.S. Raffles beserta pasukannya yang telah siap dengan persenjataan lengkap, dapat dengan mudah menduduki pusat kerajaan Sunda Nusantara. Setelah menguasai pusat pemerintahan kerajaan, selanjutnya T.S. Raffles mengambil alih beberapa wilayah strategis hingga sampai Malaka dan Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles juga menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten.

Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda (sahabat kerajaan Inggris) di Semarang, dan Herman William Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. T.S. Raffles berhasil membebaskan H.W. Daendels dan membuat perjanjian yang intinya mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan syarat mengikuti seluruh skenario rekayasa dan membungkam siapa saja yang mengetahui sejarah ini selanjutnya. Maka dimulailah kekejaman penjajahan Belanda sebagai kepanjangan Kerajaan Inggris. 

Peristiwa ini menjadi awal pemalsuan sejarah Sunda Nusantara selama +/- 200 tahun. Sejak saat itu, ribuan ton emas dijarah, yang digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst). Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip (bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.

Hilangnya kepempinan nasional Sunda Nusantara, menyebabkan kerajaan-kerajaan dibawah konfederasi Kemaharajaan Sunda Nusantara menjadi terpecah belah. Sejak saat itu, banyak terjadi perlawanan kepada pemeritah kolonial Hindia Belanda, ditandai dengan meletusnya Perang Pattimura (Maluku, 1817), Perang Paderi (Sumatera Barat, 1821-1837), Perang Diponegoro (Jawa Tengah, 1825-1830), dll. Namun perlawanan dari kerajaan-kerajaan ini dapat dipatahkan oleh Belanda, karena tidak ada persatuan lagi.

Para raja-raja yang soleh dan mau bekerjasama dengan Belanda, diperdaya dengan menyimpan harta emas mereka di Bank Zurich, Jerman, dimana harta Kesultanan Nusantara (Cirebon, G.Pakuan, Banten, Deli, Riau, Kutai, Makasar, Bone, Goa, Luwuk, Ternate, dll,) dalam nilai ratusan trilyun Dollar Amerika (dalam bentuk emas, logam mulia, berlian, dsb) di simpan di Bank Zurich, Jerman. Kemudian karena kekalahan Jerman pada PD I (1911-1914), maka harta tersebut diambil paksa oleh pemenang, pihak Sekutu, yang selama perang banyak dibiayai oleh organisasi Yahudi. Inilah sebabnya kenapa Jerman benci Yahudi. Kemudian harta-harta tsb. dipercayakan untuk disimpan di negeri Belanda. Namun ketika Belanda kembali terjajah oleh Jerman pada Perang Dunia ke II, maka harta tsb. menjadi tercerai berai, dan sebagian digunakan oleh NAZI untuk membiayai perang mereka. Kekalahan Jerman di perang dunia ke II menyebabkan aset tersebut kemudian dibagi kepada negara Sekutu (dalam hal ini Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, Belanda).

Pada tahun 1934, Sultan Paku Buwono X memberikan bantuan jaminan keuangan (kolateral) kepada Liga Bangsa Bangsa (LBB) di Amerika Serikat, dengan tujuan membantu kebangkrutan ekonomi dunia. Liga Bangsa Bangsa (LBB) adalah cikal bakal dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tercatat emas yg diberikan 57.169 ton emas 24 karat, yg kemudian diAKUI oleh pihak AS dalam perjanjian “The Green Hilton Agreement” & disaksikan Sri Paus (Vatikan).

Paska proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945), para Sultan/ Raja (konfederasi) dibawah Kemaharajaan Sunda Nusantara mendukung pemerintah Republik Indonesia dibawah kepemimpinan presiden pertama Ir. Soekarno, dengan syarat beliau juga bersedia memulihkan Kekaisaran Sunda Nusantara (maksudnya tetap mengakui keberadaan para Sultan/Raja di wilayah Sunda Nusantara, sebagaimana halnya di Malaysia atau Inggris). Presiden Soekarno setuju syarat tsb., dan oleh karena itu beliau juga diberi tahu mengenai aset bangsanya yang dipergunakan oleh bangsa lain dan digelapkan. Beliau juga diamanahkan oleh para Sultan/Raja Sunda Nusantara untuk berusaha mengembalikan aset bangsa tsb.

Atas hal tersebut maka Ir. Soekarno mengirim surat rahasia ke PBB, dan menyampaikan gugatan kepada negara Sekutu untuk mengembalikan aset bangsa tsb. dalam rangka pembangunan kembali bangsa Sunda Nusantara. Ingat uang kita sebelum Rupiah menggunakan nama SEN (SN=Sunda Nusantara). Labrakan Ir. Soekarno kepada berbagai ketidakadilan dan imperialisme dunia, karena beliau menyadari bahwa “Indonesia” adalah “SUPER POWER” sesungguhnya dan pemegang amanah dunia.

Gugatan Ir. Soekarno baru disambut baik, ketika Amerika Serikat dipimpin oleh presiden John F. Kennedy, dengan harapan AS mendapat dukungan Ir. Soekarno dalam perlawanan menghambat komunisme. Pada tahap awal disetujui pengembalian aset bangsa Sunda Nusantara pada tahun 1963, dengan ditandatanganinya perjanjian “Green Hilton Agreement”, yaitu pengembalian 57.147 ton emas kepada rakyat Republik Indonesia (pemilik sah) melalui pemerintahan Republik Indonesia sebagi pengemban amanah Kekaisaran Sunda Nusantara (Imperium of Zhunda Nuswantara), dengan disaksikan Sri Paus, yang banyak mengetahui sejarah aset dunia. Sayangnya rencana ini tidak berjalan baik, karena terjadi pembunuhan terhadap presiden John F. Kennedy, pada tahun 1964. Diduga pembunuhan ini dilakukan oleh organisasi rahasia Yahudi, yang menguasai ekonomi dan menyetir arah politik negeri AS hingga saat ini (Presiden John F. Kennedy tidak mau bekerjasama dengan organisasi ini). 

Paska pembunuhan presiden John F. Kennedy, di bumi Nusantara juga terjadi gerakan penggulingan presiden Soekarno pada tahun 1965, yang diduga didalangi oleh CIA (dibawah kendali organisasi rahasia Yahudi). Kekayaan aset Nusantara masih banyak tersimpan di 93 account di bank-bank utama didunia (ciri negaranya berbendera merah dan putih menandakan sumber asetnya).

Organisasi rahasia Yahudi ini diduga hingga saat ini masih menjalankan misinya dalam rangka membentuk tatanan dunia baru di bawah kepemimpinan Yahudi, dengan menguasai sektor keuangan dunia (IMF), bisnis persenjataan, bisnis media dan sistem informasi, serta bisnis strategis lainnya. Pemalsuan sejarah bangsa-bangsa di dunia, termasuk bangsa Sunda Nusantara juga didalangi oleh organisasi tersebut. Oleh karena itulah 90% bangsa kita tidak percaya akan cerita sejarah kebesaran bangsanya karena distorsi informasi ini, dan sebagian lagi tidak mau tahu karena lebih mengejar materi.

Marilah kita simak Doktrin Zionisme (Protocol VI) yang menyatakan: 

“Kehancuran kekuasaan akan terjadi setelah orang-orang berilmu (aristocrat) kaum 'the goyim' jatuh statusnya menjadi kaum proletar bersamaan dengan kredit negara-negara yang semakin meningkat, karena ketergantungan mereka yang sangat besar kepada kegiatan monopoli berskala besar, yang kita bangun, yang menjadi sumber penghasilan mereka. Di satu sisi, promosi Pemerintahan Super sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan kepada mereka, kita terus tingkatkan.

Kelompok aristocrat non Yahudi masih tetap berbahaya bagi kita, karena mereka masih berstatus memiliki tanah-tanah pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan mereka. Berbagai cara kita kembangkan agar tanah-tanah itu jatuh ke tangan kita dan kita kuasai, yaitu dengan cara: 
  1. Menaikkan beban tanah tersebut dengan cara menaikkan hutang mereka, dengan jaminan tanah-tanah mereka yang menyebabkan kepemilikan tanah terikat kepada kita dan pemiliknya akan tunduk tanpa syarat; 
  2. Kita bikin sulit kehidupan orang-orang berilmu (aristocrat) kaum non Yahudi yang akhirnya mereka akan musnah, karena kaum aristocrat mereka terbiasa dengan kehidupan yang mudah dan mewah; 
  3. Aktivitas spekulasi kita naikkan untuk mengembangkan kegiatan industri dan perdagangan, sehingga kegiatan industri akan semakin menguat; 
  4. Dengan kegiatan industri yang menguat, kita sedot sumberdaya manusia dan modal (finansial) dari tanah-tanah pertanian tersebut dan akhirnya, ke dua sumberdaya tadi akan berpindah tangan ke kita berupa akumulasi harta kekayaan, sehingga kaum aristocrat non yahudi akan jatuh statusnya menjadi kaum proletar; 
  5. Gaya hidup mewah kita perkenalkan kepada kaum aristocrat non Yahudi, yaitu dengan kita naikkan taraf pendapatan mereka, tetapi mereka harus membeli kebutuhan pokok dengan harga yang tinggi, karena berkurangnya hasil-hasil pertanian dan peternakan; 
  6. Kita ajarkan faham anarkis dan mabuk-mabukan kepada kaum buruh non Yahudi sebagai kaum terpelajarnya mereka yang akan mengurangi kegiatan industri dan menyempitnya lapangan pekerjaan. 
Akhirnya, kaum aristocrat non Yahudi akan tunduk kepada kita hanya agar eksistensi mereka tetap dihargai dan mereka tidak menyadari bahwa kita tetap akan memusnahkan mereka. Kita samarkan proses keseluruhan ini dengan istilah meningkatkan produktivitas buruh melalui teori-teori politik ekonomi yang para ahli ekonomi kita ajarkan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut.” 

Pada era pemerintahan Ir. Soekarno, beliau begitu lantang mengumandangkan politik “BERDIKARI” atau Berdiri Dengan Kaki Sendiri, bahwa bangsa Sunda Nusantara harus dapat mandiri, jangan tergantung kepada negara lain. Pada bulan Agustus 1965, beliau mengatakan “go to hell with your aid” sebagai kata talak/perceraian dengan IMF serta Bank Dunia dan memutuskan membangun Nusantara secara mandiri. Sayangnya politik ”BERDIKARI ini tidak berlangsung lama, karena pada bulan September 1965 terjadi kudeta berdarah terhadap presiden Soekarno (kudeta ini diduga melibatkan CIA). Selanjutnya dimulailah rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto, yang kebijakan politiknya dekat dengan kepentingan Amerika Serikat.

Bagaimana dengan kondisi negeri kita saat ini?? Sudahkah bangsa kita hidup dan berkehidupan seperti yang tercantum dalam doktrin Zionisme di atas...??? Bila kita tidak segera menyadarinya, maka bangsa kita akan menjadi jongosnya bangsa-bangsa adi kuasa dan akan menjadi kepanjangan tangan dari negara-negara adi kuasa/kaya (istilahnya negara donor) ..!!!

- SEKIAN -

SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA - Bag-3: Kesultanan Banten dan Sunda Nusantara


SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA 
(Bagian-3) 

3. Ratu Dewata (1535 – 1534) 

Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang ”vegetarian”.

Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan jasa Rakeyan Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 sebagai berikut (artinya saja): 

"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran".

Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.

Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca). 

“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”

(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa). 

Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah). 

4. Ratu Sakti (1543 – 1551) 

Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali”. 

Kemudian raja ini melakukan pelanggaran, yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. 

5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567) 

Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan sudah tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

Prabu Nilakendra tidak perduli pada situasi ini, dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan pesta pora makanan enak, seperti diceritakan dalam Carita Parahyangan: 

“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar”.

(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan). 

Prabu Nilakendra juga tidak perduli untuk membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh.

Kondisi kerajaan yang tak menentu dan melihat penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa Banten ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau masih buyut dari Sri Baduga Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih kerajaan Pajajaran. Serangan Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton). 

Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh kesultanan Banten. 

6. Raga Mulya (1567 – 1579) 

Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Walaupun hanya menguasai wilayah kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat bertahan selama 12 tahun di wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya diserang kembali oleh kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.

Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan dalam pupuh Kinanti (artinya saja): 

“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”. 

Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.

Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 : 

“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala”. 

(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi cikal bakal penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Naskah Banten memberitakan, bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.

Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan diboyongnya Palangka tersebut, maka resmilah Sultan Maulana Yusuf menjadi penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah”, karena beliau juga adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. 

KESULTANAN BANTEN DAN SUNDA NUSANTARA 

Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah (1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). 

Kesultanan Banten merupakan pewaris ”sah” dari Kerajaan Sunda Nusantara, penerus dari Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara, yang wilayah kekuasaannya mendunia.

Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Banten: 

1. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF HIDAYATULLAH AL MISRI (SUNAN GUNUNG JATI/JATI PURBA) (1513-1552). Beliau adalah raja kesultanan Cirebon yang melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah CUCU SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI, dari putrinya, NYAI RATU RARA SANTANG, setelah menikah dengan RAJA MESIR SYARIEF ABDULAH AL-MISRI (Keturunan RASULULLAH SAW ke-22). MENIKAH DENGAN KANJENG GUSTI RATU PREMBAYUN (PUTERI TERTUA MAHARAJA KESULTANAN DEMAK, SULTAN FATAH/ PUTERA TERTUA dari RAJA MAJAPAHIT, PRABU BRAWIJAYA V). Wilayah kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.

2. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA HASANUDIN AL MISRI/ MAULANA SABA KIN-KING (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan dari Charuban(Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).

3. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA YUSUF AL MISRI (1570-1580). Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.

4. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA MUHAMMAD AL MISRI (1580-1596).

5. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MAFACHIR RACHMATULLAH AL MISRI (1596-1640).

6. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MA’ALI ACHMAD RACHMATULLAH AL MISRI/ KYAI AGENG TIRTAYASA (1640-1651).

7. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA KANJENG SULTAN AGUNG ABUL TATGHI ABDUL FATAH AL MISRI/ SULTAN WANGI AGENG TIRTAYASA (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda (VOC), dan  menolak perjanjian monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional.

8. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NAZAR ABDUL KAHAR AL MISRI (1675-1687).

9. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABU FADHL MOEHAMMAD YAHYA (1687 – 1690).

10. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ZAINUL ABIDIN AL MISRI (1690-1733).

11. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL FATAH MUHAMMAD SYAFEI ZAINUL ARIFIN AL MISRI (1733-1747).

12. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NASAR MOEHAMMAD ZAINUL ASIKIN AL MISRI (1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb., maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo.

13. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALI’OEDDIN AL MISRI (1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.

14. SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI (1802-1810-1811). Berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan. Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10 Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya. 

Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Kerajaan Inggris, Thomas Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah seteru dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad, karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menangkap Sultan Achmad dan membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluarga bangsawan De’Orange, sepupu keluarga Buckingham.

Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan ditinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda (sahabat kerajaan Inggris) yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.

Ribuan ton emas dijarah sejak saat itu, yg digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst). Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip (bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.

Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini. 

15. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABDULAH AL MISRI.  Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat 1860.

16. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN GUNAWAN MARTAKUSUMAH AL MISRI.

17. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN ABDULLAH HALIM PRAWITA PURNAMA AL MISRI.

18. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI. WAFAT DI BOGOR 12 NOVEMBER 1989. 

19. SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA  KANJENG GUSTI PANGERAN  HADIPATI HARYA RACHMATULLAH HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II/  HIS IMPERIAL MAJESTY SERI PADUKA YANG MAHA MULYA  BAGINDA MAHARAJA MAJESTY KAISER KANGJENG MAHA PAGUSTEN  EMPEROR SULTAN AGUNG MAHA PRABU SYARIEF ABUL MAFACHIR  MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II. Lahir di Jakarta 30 september 1963 (Legal Crown of THE Monarchies of the Sovereign Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity. 

PENUTUP 

Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.

Keberadaan Al Misri II di jaman Order Baru sangat di takuti keberadaannya. Kerena itu tidak heran jika beberapa anggota keluarga Al Misri II pernah mendekap di sel karena di curigai akan berbuat makar. Namun keberadaan mereka diakui dunia Internasional, maka penahanannya tidak lebih dari 2 hari. Di tempat yang sama Al Misri II melalui sekretaris pribadinya, menunjukkan CD (Corps Diplomatics). Dengan kartu CD yang isinya Simbol, bendera, keterangan, cap kerajaan, dan tanda tangan kaisar dapat dengan mudah dalam urusannya ke luar negeri. Karenanya, kata beliau, CD telah diuji kebenarannya saat dirinya membuat paspor Ke Brunei Darussalam. Diakuinya, hanya dalam waktu 3 jam semuanya telah selesai. Hal itu tak lain dari pengakuan hukum-hukum internasional yang mengakui keberadaan kekaisaran Sunda Nusantara.

Kesejahteraan seluruh bangsa rakyat Sunda Nusantara didaratan Sunda Nusantara-Sunda Melayu sampai saat ini di simpan di 93 Negara dalam bentuk assat-asset : 

• Collaterals in federal reserve certificate of the united states America
• Bound Guarantee Redland Merchant Bank of Switzerland
• Obligation certificate of deposit credit Swiss Bank International 
• Certificate of Swiss Bank Corporation 
• Obligation treasure Bound National Bank of England Bank de Netherlands City Bank New York and United Overseas Bank Singapore. 

Selain itu asset-asset ini juga berbentuk logam mulia, platinum, dan benda-benda berharga lainnya yang dikumpulkan oleh Raja-raja di seluruh Sunda Nusantara di daratan Sunda Melayu Nusantara Bangsa Sunda Nusantara di daratan Sunda Nusatara di kepulauan Sunda Besar-Sunda Kecil, Di samping itu masih tersimpan uang sebesar 4000 triliun poundsterling yang tersimpan di Negara Inggris. Dapat dibayangkan betapa besarnya asset-asset bangsa Sunda Nusantara yang hingga saat ini masih tersimpan dan tersebar di luar negeri yang di sebut the making of a super power dan Sunda Nusantara Dollar Trilion, milik pemerintah Negara Kerajaan Bangsa Sunda Nusantara.

- SEKIAN -

SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA - Bagian 2 (Sejarah Kerajaan Pakuan Pajajaran)


SEJARAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN 

Nama-nama Raja Pajajaran: 

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513) 
     Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1513 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1551 – 1579) 

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513). 

Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).

Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana, sebagai berikut:

Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”. 

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja): 

“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”. 

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.

Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura), memiliki 3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang. 

Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam, hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI (RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon.

Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya Subang Larang beragama islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran.

Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan raja (penguasa) Cirebon oleh uwanya, Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu ketegangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon.

Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kiansantang bersedih dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).

Kiansantang kembali ke istana Pajajaran, dan selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). 

2. Surawisesa (1513 – 1535) 

Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini  disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal). Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”. 

Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon. Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.

Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela, wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka.

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya, beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan: 

Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.” 

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.

(Bersambung.....)