Jumat, 02 Maret 2018

KOSMOLOGI SUNDA (Bagian 2)




PENCIPTAAN BUMI

Didalam sejarah Baduy dijelaskan, pada mulanya bumi terbentuk dari yang ngenclong, suatu materi yang kental dan bening, lama kelamaan menjadi keras dan besar, dan ini adalah awal mula dari bagian bumi. Yang disebut Sasaka Buana atau Padaageung. Titik mula adalah tonggak kabuyutan yang mengandung arti, itulah pusat dunia, awal dari kehidupan makhluk. Untuk memberikan kehidupan, kemudian Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara kedunia, dua Batara diturunkan di Sasaka Buana dan Lima Batara mendirikan nagara telung puluh telu, panca salawe nagara, atau negara diluar Kanekes (Garna : 1988).

Proses pembentukan Bumi secara terperinci dijelaskan dalam Buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Buku ini menjelaskan, bahwa pada awalnya bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta-juta tahun kemudian asap gelap diseluruh muka bumi secara ber angsur-angsur dan terus menerus-menerus seluruhnya menghilang. Bumi menjadi dingin. Walaupun demikian belum ada makhluk hidup. Kemudian permukaan bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan.

Beberapa juta tahun kemudian muncullah tumbuh-tumbuhan kecil, lalu mucul makhluk hidup berupa hewan; kemudian hewan yang hidup di lautan seperti ikan dan sejenisnya. Setelah itu beberapa juta tahun kemudian muncul berjenis-jenis tumbuhan dan sementara itu muncul makhluk hewan raksasa yang beraneka macam jenisnya; kemudian bermacam-macam makhluk hewan unggas serta hewan lainnya seperti babi, kuda dan sejenisnya. Lalu berjuta-juta tahun kemudian muncullah makhluk hidup berwujud manusia tingkatan rendah dan sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia hewan, yang seterusnya setelah beribu-ribu tahun kemudian berwujud separuh hewan separuh manusia. Lama setelah itu muncul makhluk yang serupa manusia, lalu tingkat rendah dan akhirnya muncullah jenis makhluk manusia yang sempurna.

Uraian tentang sejarah terciptannya bumi diatas ditemukan didalam naskah Pusta Rajya-rajya di Bhumi Nusantara, pada parwa I sarga I, ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan di Cirebon pada tahun 1677 Masehi (Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, 1983–1984). Adapun naskah dan bahasa aslinya, sebagai berikut :

”Witan sargakala niking bhumitala. Bhumitala pinakgni dumilah mwang uswa. Prayuta warca tumuli kukus petengrat bhumi tala canaih-canaih dhumana-rawata sirna. Bhumi mahatis. Ya dastun mangkana tatan hana janggama. Ateher bhumanda la nikang dadi prawata lawan sagara.

Prayuta warca tumuli dadi tasthawarahalit, ateher dadi janggama prakara satwa; ateher satwekeng haneng sagara maka dimina mwang sarwwa mina. Rihuwus ika prayuta warca tumuli shatware kang nanawidha mwangring samang kana dadi ta janggama satwa raksa nung nanawidha prakaranya; Ateher sarwwa janggama satwa inuturun mwang satwa lenya waneh kadi waraha, turangga mwang lenya manih.

Ateher prayuta warca tumuluy dadi tajanggama manusa dharma lawan tatan purnna. Hana pwa purwwa janma purusa satwa, ateher lawas ira mewu iwu warca manih akrti saparwa satwa sasaparwa manusa. Lawas ri huwus ika dadi ta puru sakara, ateher manusadhhar mamwang wekasan dadi tapurusa purnna”.

Abdul Rozak (2005) didalam Buku Teologi Kebatinan Sunda memaparkan, bahwa sejarah bumi menurut penganut Aliran Perjalanan Kebathinan, berkaitan dengan kondisi dan posisi manusia sebagai makhluk yang mulia, secara kodrati, diciptakan untuk mengolah dan menjadikan dunia beserta isinya agar dapat di manfaatkan maksimal. Sebelum ada manusia terlebih dahulu Tuhan menciptakan sarana dan prasarana bagi terselenggaranya nilai mulia manusia dari makhluk lainnya. Dengan demikian manusia diharapkan mampu mengolah dan memanfaatkan dunia beserta isinya secara baik dan sempurna.

Tahap-tahap Proses Penciptaan Jagat Raya, Pertama, yang diciptakan Tuhan adalah berupa rasa panas, sebagai bentuk ciptaan non fisik atau abstrak, tidak kasat mata namun dapat dirasakan. Panas kemudian mengkristal menjadi bahan bakar dunia, yakni api. Kemudian mengkristal dan membesar membentuk Matahari. 

Proses Ke-dua, Matahari sebagai sumber yang selalu memancarkan rasa panas. Namun terdapat sisi alam lainnya yang tak terjangkau, sehingga menimbulkan rasa dingin. Rasa dingin memiliki kemampuan untuk membekukan semua benda yang terkena dayanya, kemudian mengkristal menjadi sumber bahan pendingin, dan terbentuklah Air.

Proses Ke-tiga, adalah terbentuknya Angin, yang terjadi karena daya tarik menarik antara hawa panas dan hawa dingin, atau kondisi alam yang di timbulkan oleh daya saling mempengaruhi antara matahari dan air.

Proses Ke-empat, adalah terbentuknya Bumi, sebagai perpaduan antara panas matahari dengan semilirnya angin, kemudian terjadi penguapan. Dari penguapan timbul rasa tetap, mengkristal menjadi bumi. Dari hukum Tuhan di atas, maka uap yang sangat ringan ini berterbangan di udara. Terbangnya uap di udara juga akibat hembusan angin. Uap tersebut tertahan oleh daratan yang lebih tinggi atau gunung gunung. Sementara gunung yang diciptakan Tuhan bersuhu sangat dingin dan menyebabkan uap mengkristal, berubah kembali menjadi butiran air hujan. Hujan menjadikan bumi menjadi subur. Dari adanya hujan yang berpadu dengan rasa panas menciptakan iklim, ditunjang dengan semilir angin muncullah tumbuhan, kemudian binatang. Selanjutnya muncul manusia, sebagai ciptaan yang terakhir dan sempurna, yang direncanakan Tuhan untuk menjadikan wakilnya dalam mengatur dunia sesuai dengan hukum Cakra Manggilingan. Rangkaian proses penciptaan jagat raya oleh Tuhan memberikan pengertian, bahwa kehidupan manusia merupakan perpaduan harmonis dan tak terpisahkan dari beberapa unsur saripati api, air, angin dan bumi (tanah). 

Luar Biasa!!!...ternyata sudah sedemikian tinggi wawasan ilmu pengetahuan para leluhur kita!!!..Mereka sudah demikian rinci menjelaskan proses penciptaan jagat raya..Dan ini sangat ilmiah!!!....melampaui Teori Big Bang!!!...karena leluhur kita menjelaskan bahwa pada awalnya Tuhan menciptakan rasa panas. Artinya sebelum ada "big bang", diciptakan rasa panas terlebih dahulu, kemudian rasa panas mengkristal menjadi Matahari pertama, sebagai cikal bakal alam semesta. Kemudian Matahari pertama ini meledak, dan pecah menjadi bintang-bintang dan planet-planet, membentuk kumpulan galaksi. Salah satu bagian dari pecahan inilah yang kemudian menjadi Matahari, dan planet-planet yang mengelilinginya (termasuk bumi) dan disebut sebagai Tata Surya.

Pengetahuan lainnya yang mugkin baru kita ketahui adalah Air dan Angin yang ternyata telah ada sebelum terbentuknya bumi. Leluhur kita menjelaskan bahwa air, dan angin adalah dua unsur yang sesungguhnya telah ada sebelum planet-planet terbentuk. Dan ini sangat logis, karena bagaimana bisa matahari pertama yang semula demikian panas, dan pecah, kemudian bagian pecahannya ini ada yang berubah menjadi planet-planet, seperti bumi, tanpa adanya unsur yang mendinginkan. Proses pendinginan dari bentuk awal planet bumi yang semula panas inilah, yang selanjutnya menjadikan uap dan terbentuknya hujan, dan dari hujan terbentuklah air dan samudera (lautan) di bumi kita.... Sungguh menakjubkan!!!.. 

Konsep tersebut di atas, di dalam Naskah Siksa Kandang Karesyan dibahas dalam Panca Wuku. Jakob Sumardjo (2004) membahas dalam uraian tentang Mandala.

KONSEP NERAKA

Dari ajaran-ajaran yang mereka terima sangat meyakini bahwa segala perilaku kehidupan manusia harus dapat dipertanggung jawabkan secara lahiriah maupun bathiniah, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat nanti. Mereka meyakini apa yang dilakukan baik buruknya akan kembali pada dirinya, dan ada yang menyaksikan, yaitu Gusti nu nyidikeun Allah anu nganyatakeun, Pangeran anu nangtayungan. Dalam hal ini mentaati Pikukuh dan Pitutur karena merupakan pedoman yang sangat penting, disamping kemampuan menjaga moral dan etika hidup.

Tentang perhitungan di hari akhir pada dasarnya diyakini di dalam setiap agama. Karena keyakinan akan adanya perhitungan di hari akhir akan membawa dan mampu mengendalikan perbuatan manusia ke arah yang benar. Sekalipun dalam perkembangannya, sebagaimana yang dianut oleh banyak kaum sufi, kesadaran untuk mentaati segala perintah yang bersifat ilahiyah dan menjauhi larangan-larangannya semata-mata karena kesadaran dan kecintaannya terhadap Sang Pencipta, bukan karena takut terhadap neraka. Kecintaan terhadap Sang pencipta harus bisa mengalahkan rasa takut terhadap neraka, mengingat neraka adalah ciptaan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.

Penggambaran neraka didalam tradisi Sunda Buhun sudah di tuliskan pada dua manuskrip daun palem yang ditulis dengan aksara Sunda Kuna. Naskah tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau Perpustakaan Nasional; kropak 413 dan kropak 423. Kedua naskah diperkirakan berasal dari abad ke-17 Masehi.

Pleyte menyebutkan bahwa naskah yang tertua, yaitu kropak 413 ditulis oleh salah seorang siswa KYAI RAGA, ketua kabuyutan Kyai Raga, yang terletak di lereng gunung Sri Manganti atau sekarang disebut dengan nama Cikuray, sebelah timur wilayah kebudayaan Sunda (tuntung Sunda). Naskah dimaksud mengisahkan perjalanan Purnawijaya, ke neraka. Purnawijaya diajarkan oleh sang Dewa Utama mengenai akibat dari perbuatan jahat. Purnawijaya diajak untuk datang ke neraka dan melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa. Di dalam perjalanannya Purnawijaya bertanya kepada Yamadipati, penjaga neraka, tentang cara mengakhiri penyiksaan ini. Yamadipati menjelaskan bahwa keberadaan mereka para penghuni neraka karena perbuatan buruk mereka ketika hidup, serta mereka bisa reinkarnasi kembali untuk memperbaiki kesalahan/dosanya pada kehidupan selanjutnya. 

Carita Purnawijaya merupakan sebuah gubahan dari buku teks Jawa Kuna yang berjudulkan Kuñjarakarna. Naskah ini mengisahkan seorang Yaksa (sejenis raksasa) yang bertapa karena ingin menebus dosanya. Kisah didalam versi Sunda Kuna ini berbeda secara signifikan dari cerita Jawa Kuna. Versi Jawa Kuna terdiri dari dua bagian dan merupakan sebuah cerita yang bernafaskan agama Budha, karakter Budhis pada versi Sunda sudah hilang sama sekali. Dan hanya terdiri dari satu bagian saja. Cerita Kuñjarakarna (jawa) dibagi dua bagian, antara lain perjalanan Kuñjarakarna ke neraka.

Kuñjarakarna bertapa dan mendapatkan berkah dari Wairocana atau sang Budha untuk bisa melihat neraka. Pertama-tama disuruhnya pergi ke neraka Yama untuk melihat langsung siksaan yang dialami orang-orang durhaka, dan menanyakan sebab musabab penderitaan lima lapis (pancagati). Disana melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa dan direbus didalam sebuah ketel besar. Kemudian melihat sebuah ketel baru yang sedang disiapkan, ternyata ketel ini di peruntukkan bagi Purnawijaya, sahabat karib Kuñjarakarna yang akan meninggal dalam waktu beberapa hari. 

Kuñjarakarna terkejut dan meminta kepada sang Budha, apakah bisa memperingatkan sahabatnya. Dan sang Buda memperbolehkannya, namun Purnawijaya tetap tidak boleh menghindari hukuman. Meskipun begitu hukumannya diperpendek, dari 100 tahun menjadi sepuluh hari. Setelah masa berlalu, Purnawijaya diperkenankan kembali kebumi dan kembali kepada istrinya, Kusumagandhawati. Cerita berakhir dengan mengisahkan Kuñjarakarna dan Purnawijaya bersama-sama bertapa dan menyucikan diri dengan laku yang amat berat, dilereng Mahameru. Maka setelah 12 tahun atas ijin Sang Budha mereka berdua mendapatkan jalan kebahagiaan dijagat Yang Maha Tunggal (SIDDHLOKA). Didalam istilah lainnya disebut pula alam JATINISKALA.

Kisah dari naskah Sunda Kuna memiliki hubungan erat dengan teks Jawa Kuna Kuñjarakarna. Hal ini bukan suatu yang kebetulan. Naskah tertua Kuñjarakarna yang memuat teks Jawa, sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden sebagai Naskah Leiden Or 2266 diperkirakan oleh para pakar berasal dari Jawa Barat. 

Setiap makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai dengan peranannya yang diterima dari Sang Pencipta. Orang-orang tua didaerah masih banyak yang menasehati anak-anaknya agar memiliki ucap, lampah dan tekad yang baik dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan istilah kesadaran diri yang berasal dari adanya perpaduan (kesatuan) antara: bayu (kekuatan) yang diwujudkan dalam tindakan (perbuatan), sabda (ucapan) dan hedap (itikad/niat di hati). Manusia hendaknya memiliki kesadaran diri terhadap peranannya masing-masing, dengan melakukan berbagai pengabdian lahir dan batin, agar kelak bisa kembali ke alam Jatiniskala, alam keabadian sejati, yakni :
“Alam Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik pati, sorga tanpa balik papa, hayu tanpa balik halano, han tanpa balik wogan, moksa tanpa balik wulan”.

Penjelasan lebih lanjut perihal neraka adalah sebagai berikut:

“manggihkeun bumi patala, si dona désa ma (?), murub muncar pakatonan, dipareuman hanteu meunang, dorana leuwih sadeupa, jalanna sadeupa sisih, jalan kakurung ku lembur, lembur kakuning ku jalan, pantona kowari beusi, dipeundeutan ku tambaga, dilorongan ku salaka, kuncina heunteung homas, ... dikamrata ku tahina, tahi lembu kanéjaan ..... ditatanggaan maléla. Ditanjuran ku handong bang, katomas deung panéjaan, waduri kembang jayanti, sekar siratu bancana, eukeur meujeuh branang siang, dihauran kembangura, dija ... kembang pupo lodi, didupaan ruruhuman, dadi wangi haseup dupa, mrebuk aruhum … jalan kawiti sorgaan”.

(Maka sampai di bumi bawah tujuannya adalah sebuah daerah, yang menyala dan berbara. Hal ini sulit dipadamkan. Gerbangnya lebih dari satu depa sedangkan jalannya masing-masing setengah depa dan dilingkari oleh pemukiman. Pemukiman ini melingkari jalan. Pintunya berpanel besi dan ditutup dengan tembaga serta memiliki laci perak dan kunci emas ... (jalannya) diratakan dengan tahi, tahi sapi muda dan diberi tangga baja. Ditanami dengan andong merah, katomas dan panéjaan, bunga waduri dan bunga jayanti. Selain siratu bancana yang sedang berkembang indah. Selain ditebari pula dengan bunga tabur sepanjang pohon nagasari (?) yang dijadikan harum oleh bermacam-macam parfum. Sehingga menjadi terciumlah harumnya asap dupa ...... sebagai permulaan jalan ke sorga).

Makna Kosmologi Sunda yang terkandung didalam naskah maupun lisan intinya menjelaskan, bahwa: konsep kosmologi Sunda bukan hanya dimaksudkan untuk pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih ditujukan agar kehidupan manusia jelas tujuan akhirnya, yaitu mencapai kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala (surga) dan buana jatiniskala yang abadi.

Buana ruhur atau buana nyungcung diyakini tempat bersemayamnya Batara Tunggal (Tuhan YME), namun Batara Tunggal dapat berada dimana saja. Buana nyungcung dianggap tempat kembalinya roh manusia dan tempat tinggal yang abadi. Konsep Jatiniskala mungkin ada kemiripan dengan ageman agama lain. Hal ini perlu ditelusuri persamaannya, sangkan “ulah sasar hirup.”

“baruk dasang wiku amun ka dewata leungit kawikwanana pandita, lamun samadi mihdap hyang dewata hilangna kapanditaan, ja kassakeun katineung sarwa dingan trisna-trisna bala swarangan.”
(katanya, kalau wiku ‘pendeta’ memuja kepada dewata, hilanglah kewikuannya. Jika pendeta bersemedi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian dan kecintaannya (kepada Tuhan YME) tergeser oleh (kelakuannya) sendiri).
 “....... mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewa dan dewa tunduk kepada hiyang”. 

Naskah ini (keyakinan Sunda Buhun) menempatkan Hiyang (Tuhan YME) ditempat yang paling tinggi dan diatas dewa.

Strata pembaktian menunjukan kondisi sosial urang Sunda yang memang sangat religius, tidak memisahkan kehidupan bermasyarakat, bernegara dengan keyakinannya. Dasa per bakti menunjukkan adanya tertib sosial dan keagamaan, atau tertib hidup dalam urusan masyarakat, mencakup masalah pribadi dan keluarga; profesional; spiritual. Pengaturan etika hidup masyarakat, atau keluarga sebagaimana nampak dari pembaktian anak; istri; dan suami. Pembaktian bagi kaum profesi nampak pada siswa; guru; petani; wado; mantri; nangganan; mangkubumi; dan raja. Sedangkan didalam masalah spiritual menempatkan Hyang (Tuhan YME) dipuncak perbaktian, bahkan raja dan dewapun tunduk pada Hyang (Tuhan YME).

Akhir cerita, setelah saya membaca tulisan tentang Kosmologi Sunda dari Agus Setia Permana, merasa takjub dan semakin yakin dan percaya bahwa para leluhur kita adalah merupakan bangsa yang besar dan sudah memiliki ilmu pengetahuan tinggi dalam berbagai aspek, baik ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan spiritual (religi). Para leluhur kita sama sekali bukan bangsa yang banyak kita dengar dari pelajaran sekolah, yaitu penganut animisme, dinamisme, bangsa yang bodoh (cileupeung)...Tidak, tidak seperti itu!!!...Silakan baca kembali tulisan di atas. Apakah yang ditulis oleh para leluhur kita, hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur, dan omong kosong belaka? Tidak, tidak seperti itu, ini adalah kebenaran yang memang demikian adanya. Mengapa kita sebagai generasi penerus tidak mau mempelajari ilmu pengetahuan yang ditulis oleh para leluhur kita? Mengapa kita lebih suka mempelajari ilmu pengetahuan produk import? Padahal, sesungguhnya di sinilah (nusantara) awal semua pengetahuan berasal. 

- SEKIAN -
  
Disadur dari tulisan: Agus Setia Permana (4/12/2011)

1 komentar: