SEJARAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN
Nama-nama Raja Pajajaran:
1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513)
Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1513 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1551 – 1579)
1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513).
Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun
(1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua
kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari
ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru
Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari
mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa
Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan
nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630
sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya
berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari
segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama
besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga
terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang
pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing
memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama
Islam).
Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat
kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang
gugur di perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka
Raja-raja Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari
Prabu Maharaja Lingga Buana, sebagai berikut:
“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan
musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir
berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia
berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih
Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua
pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran
dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya
sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara
namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Linggabuana
membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan,
angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu
Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan
keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah
menurut penuturan orang Sunda”.
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga
setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari
kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat
Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi
pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga
di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi
Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana,
maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus
menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada
yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas
timbang”, dan “pare dongdang”.
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena
merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota)
di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari
4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak
tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang”
(padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa,
calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.
Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah
Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh
carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1
caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti.
Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada
penguasa setempat. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam
bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan
kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan
untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara
saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang
kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena
langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak
tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan
Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga
desa perdikan, desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang
sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh
maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal
dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan
Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai
Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri
pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan
negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan
lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia
dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.
Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan
sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut
mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan
Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga
diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan
Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar =
3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk
mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan
Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad
ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa
pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan)
sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian
diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari
beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang
Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda)
keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir
Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang
(juga beragama Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura),
memiliki 3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang.
Kian Santang
adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2
yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka
kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung Prabu Susuk Tunggal,
menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik untuk
mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar
agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana mengembara
ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana
dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari
kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri
dinobatkan oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa
Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau
yang mendirikan kota Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara
hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam, hingga sampai ke Timur
Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI (RAJA MESIR)
keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang dikenal
juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon.
Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai
menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana
Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya
Prabu Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar
niat anaknya tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam
(istrinya Subang Larang beragama islam), namun beliau lebih menyukai
agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak terhadap ajakan anaknya
tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat memaksa ayahnya,
dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran.
Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I
sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra
tahun 1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman
upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya
Rara Santang, yang dijadikan raja (penguasa) Cirebon oleh uwanya,
Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan
besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman
pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki
Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu Sri Baduga, maka
alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri Baduga.
Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri Baduga
karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu ketegangan
antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan.
Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab,
bukan terhadap Kerajaan Cirebon.
Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan
ini menimbulkan ketegangan antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu
Siliwangi), hingga pada suatu ketika terdengar berita oleh Sri Baduga
bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan dan memaksa ayahnnya untuk
memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin berperang melawan
putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan
istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kiansantang bersedih dan
bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan
kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut
Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau
beserta pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan
(Legenda menceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah
menjadi harimau).
Kiansantang kembali ke istana Pajajaran, dan
selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kiansantang
tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari
tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat
bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka
mahabah dan mencapai kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang
menyerahkan tahta kerajaan kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri
Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal).
2. Surawisesa (1513 – 1535)
Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan Cirebon
berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon
adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran
Cakrabuana (dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri
Baduga Maharaja adalah Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita
Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan
“kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.
Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat
pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis
yang berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati
bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu
tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus
ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda.
Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan
1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua
“costumodos” (kurang lebih 351 kuintal). Perjanjian ini ditandatangani
tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de
Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian
itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman
menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.
Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan
Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan
Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di
Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan
Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut
yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus.
Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang
menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah menantu Raden Patah
sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan memperistri Ratu
Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu
Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih
terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah
kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah
mertua Raden Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut
Fadillah dengan Arya Burah.
Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan
Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan
pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan
oleh Pangeran Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para
pengikutnya. Serangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan
Pajajaran di Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan
pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Pangeran Hasanudin
kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief Hidayatullah), menjadi Bupati
Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon. Setahun kemudian,
Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa.
Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas
di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul
mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang
justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.
Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco
de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di
India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal.
Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng
terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala.
De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari
Malaka, mula-mula menuju Banten, akan tetapi
karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke
Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada
tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa
Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin
(dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho
terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke
pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan
yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil
meloloskan diri ke Pasai.
Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela,
wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun,
Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi
berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon –
Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke
darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak
hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur
pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran Cirebon
dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena
kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat
pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya
menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan
bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.
Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon
dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada
tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarief Hidayatullah. Buyut
Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di
Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk
Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah
Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa
kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat
dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan
terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka.
Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang
kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil
memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk
mengenang kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap
mendiang ayahnya, beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat
ayahnya. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan
tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan,
dan memuat tulisan:
“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan
untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru
Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit
pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di
Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke
Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan,
undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat
dalam saka 1455.”
Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam
prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu
berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran
jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara
srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun
seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal
dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.
Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal
dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya,
Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental
Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat.
Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa
memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia
membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan
dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia
dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun
pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan
“petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.
(Bersambung.....)
BalasHapusSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)
menambah wawasan sekali makasih
BalasHapuspt markaindo selaras