Mungkin
di antara pembaca ada yang merasa bahwa judul tulisan ini konyol dan hanya
berisi omong kosong belaka. Tetapi sampai kapan kita dapat menolak suatu
kebenaran dan fakta-fakta yang ditemukan? Sampai kapan kita bisa memasang kaca
mata kuda, mempertahankan pemahaman-pemahaman fanatisme dan doktrin-doktrin yang
sebenarnya keliru?
Saya
di sini ingin mengajak para pembaca untuk membuka wawasan pengetahuan, terlepas
dari semua konsep-konsep fanatisme, doktrin-doktrin yang selama ini banyak mempengaruhi
cara berfikir kita. Berhentilah menjadi fanatik, dan menyalahkan agama lain
tanpa adanya bukti, dan fakta-fakta yang jelas, karena pada dasarnya semua
agama bersumber pada Tuhan Yang Satu, Dia Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, Sumber dari segalanya. Semua agama itu esensinya mengajarkan hal
yang sama, yaitu kebaikan dan kasih sayang. Tidak ada satu agamapun yang
mengajarkan kejahatan, mencuri, membunuh, dsb.
Memang
benar agama Islam adalah agama yang terakhir sehingga paling sempurna, namun
janganlah kita menjadi sombong, karena kesombongan justru akan menjerumuskan
kita kepada kebodohan dan kemalasan untuk mempelajari esensi dari ajaran Islam
itu sendiri. Tanpa memahami esensi ajaran Islam, maka kita tidak berhak
mengakui kesempurnaan Islam. Esensi ajaran Islam itu sendiri pada dasarnya
merupakan penyempurnaan dari agama-agama yang telah diturunkan sebelumnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama Islam dan agama-agama lain yang
diturunkan sebelumnya bersifat saling melengkapi.
Hal
ini ditegaskan dalam kitab suci Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 2 sampai 4
sebagai berikut:
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran)
yang telah diturunkan kepadamu, dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.
Jelas
dalam ayat di atas dijelaskan, bahwa orang
yang bertaqwa harus beriman kepada Al Qur’an dan juga kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelumnya. Dengan kata lain, bahwa disamping Al Qur’an terdapat rujukan kitab-kitab sebelumnya
yang telah diturunkan Tuhan kepada umat-umat sebelumnya (agama sebelumnya) yang
juga perlu kita pelajari. Karena bagaimana mungkin kita dapat beriman
kepada kitab-kitab sebelumnya, tanpa kita mempelajari dan memahaminya terlebih
dahulu?
Rasulullah
Muhammad SAW sendiri mengajarkan “Belajarlah
kalian sampai ke negeri Cina”.
Kenapa Rasulullah menghendaki umatnya
belajar ke negeri Cina? Ada apa di negeri Cina?
Pada
dasarnya terdapat tiga hal yang menjadi esensi pesan Rasulullah, sebagai
berikut:
Pertama,
dalam menempuh perjalanan dari Arab ke negeri Cina, akan melintasi beberapa
negeri, antara lain India tempat berkembangnya agama Hindu, dan di negeri Cina sendiri
berkembang agama Budha. Artinya umat Islam dapat mempelajari agama-agama yang
diturunkan sebelum Islam.
Kedua, di negeri Cina
maupun negeri-negeri yang dilintasi dalam perjalanan dari Arab ke negeri Cina
terdapat banyak ilmu pengetahuan yang tidak ada di negeri Arab, dan perlu
dipelajari guna memperkaya wawasan ilmu pengetahuan umat Islam.
Ketiga,
baik di negeri Cina maupun negeri-negeri yang dilintasi dalam perjalanan dari
Arab ke negeri Cina, umat Islam dapat memperkenalkan ajaran agama Islam
(dakwah) sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Tuhan YME melalui
rasul-Nya Muhammad SAW.
Terbukti
apa yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW tersebut membawa hasil yang
menakjubkan di kemudian hari, dimana kekhalifahan Islam berjaya menjadi pusat
perkembangan ilmu pengetahuan dunia, serta agama Islam dapat diterima dan
berkembang di negeri India dan Cina. Bahkan menurut sejarah, penyebaran agama
Islam di Indonesia tidak terlepas dari jasa ulama-ulama Islam yang berasal dari
negeri Cina dan India (Gujarat).
Dari
pesan Rasulullah di atas, dapat disimpulkan juga bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan adalah sejalan dengan Agama, atau
bukan merupakan hal yang saling bertentangan. Karena baik agama maupun ilmu
pengetahuan bersumber pada Tuhan Yang Satu (Allah SWT, Allah Bapa, Yahweh, Sang Hyang Widi, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Kersa, atau nama lainnya). Jadi bagaimana mungkin
agama dengan pengetahuan saling bertentangan? Dengan demikian, semestinya apa yang diajarkan oleh agama
itu adalah logis atau bisa diterima oleh akal. Bila ada suatu ajaran agama
yang tidak logis, maka itu pasti adalah doktrin yang dimasukkan atas
kepentingan seseorang, kelompok/golongan, atau bukan ajaran dari Tuhan yang
disampaikan melalui nabi atau rasul-Nya.
Pertanyaan pertama
yang mungkin ada di benak pembaca terkait dengan topik Sejarah Agama adalah Sejak Kapankah Agama ada?
Merujuk
pada kitab suci Al Qur’an dan Al Kitab adalah sejak Adam dan Hawa diturunkan ke
bumi dan diamanahkan oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Pertanyaan berikutnya, adalah kapan Adam
dan Hawa diturunkan ke bumi?
Dalam
Al Kitab (Kitab Kejadian 1 : 27) disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) pada hari ke enam,
setelah bumi diciptakan terlebih dahulu. Kemudian pada Kitab Kejadian 2 : 7
- 22 dijelaskan bahwa Allah menciptakan
manusia (Adam) kemudian menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan mereka
ditempatkan di taman Eden. Pada kitab Al Qur’an dijelaskan pula bahwa ketika Adam diciptakan, malaikat dan iblis
sudah diciptakan terlebih dahulu, kemudian mereka diperintahkan Tuhan untuk
sujud kepada Adam.
Pada
sisi lain, berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan, menyimpulkan bahwa manusia (homo sapien) terwujud karena
proses evolusi, bermula dari bentuk mahluk hidup paling sederhana (mahluk
bersel satu), berkembang menjadi mahluk tanpa tulang (invertebrata), berkembang
lagi menjadi mahluk hidup dalam air, berkembang lagi menjadi mahluk hidup di
darat tanpa kaki (melata), berkaki dua, berkaki empat, hingga berbentuk manusia
purba, dan akhirnya menjadi manusia yang seperti sekarang ini (homo sapien).
Apakah hasil penelitian ilmuwan ini
bertentangan dengan agama?
Tentu
saja tidak, karena apa yang dijelaskan dan disebutkan hari dalam Al Kitab
(Kitab Kejadian 1) itu sebenarnya adalah 1 Hari Illahi atau yang dikenal dalam
agama Hindu sebagai 1 Hari Brahma atau sama dengan 1.000 Mahayuga. Dengan
mengacu pada perhitungan yang pernah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi, bahwa 1 Mahayuga = 43.800 tahun, maka 1
Hari Brahma adalah sama dengan 43,8 juta tahun. Jadi bila dalam kitab Al
Kitab dijelaskan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan pada hari
ke enam, sebenarnya menjelaskan bahwa manusia (homo sapien) baru ada dalam kurun waktu 262,8 juta tahun sejak bumi terbentuk. Bumi
sendiri terbentuk melalui proses evolusi alam semesta yang memerlukan waktu
sangat panjang sejak alam semesta awal diciptakan. Dengan demikian, sebenarnya semua bentuk fisik yang ada saat ini tidak
seketika tercipta, namun melalui proses evolusi hukum alam, yang menjadi
ketetapan dari sang Pencipta (Sunatullah).
Pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah
taman Eden tempat awal Adam dan Hawa ditempatkan?
Dalam
Al Qur’an dijelaskan bahwa ketika pertama kali Adam diciptakan, Tuhan
memerintahkan malaikat dan iblis sujud kepada Adam, atau dengan kata lain Adam pernah berada pada satu tempat bersama
para malaikat dan iblis.
Apakah taman Eden itu di bumi?
Tentu
saja bukan, karena pada penjelasan lain dalam kitab suci disebutkan bahwa Adam dan Hawa diturunkan ke bumi karena
melanggar perintah Tuhan ketika masih berada di surga. Mungkin diantara
pembaca merasa bingung terhadap apa yang dijelaskan dalam Al Kitab, khususnya
antara Kitab Kejadian 1 yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan
pada hari ke-enam (setelah penciptaan langit dan bumi, tumbuhan dan hewan, serta segala isinya), sementara pada Kitab Kejadian 2 (lanjutan dari Kitab
Kejadian 1) menyebutkan bahwa manusia (Adam dan Hawa) diciptakan setelah hari
ke-tujuh, dan mereka ditempatkan di Taman
Eden.
Mana yang benar, manusia diciptakan pada
hari ke-enam atau setelah hari ke-tujuh?
Bila
merujuk pada teori evolusi, maka terbentuknya
manusia (Adam dan Hawa) pada kurun waktu 262,9 juta tahun sejak bumi terbentuk,
tentunya tidak hanya seorang diri namun dalam jumlah tertentu (jamak).
Disinilah kita harus memahami secara seksama, bahwa apa yang dijelaskan dalam kitab suci tentang Adam, sesungguhnya tidak
memiliki hanya satu arti (makna).
Demikianlah keunikan kitab suci, terdapat beberapa lapis makna dalam
ayat-ayat-Nya. Dan untuk memahaminya kita tidak dapat hanya mengandalkan
akal kita saja yang sangat terbatas, karena akal kita tidak akan mampu memahami
semua petunjuk Tuhan yang disampaikan-Nya melalui kitab suci.
Kenapa
demikian? Karena untuk hal-hal yang mendalam,
termasuk hal-hal yang gaib, Tuhan menghendaki kita untuk belajar lebih
sungguh-sungguh, bukan ala kadarnya saja, kita harus memperkaya wawasan
pengetahuan seluas mungkin dengan membaca berbagai literatur tanpa dibatasi
oleh konsep-konsep, doktrin-doktrin yang membelenggu kita. Di samping itu,
kita juga harus berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan YME agar diberi
petunjuk/bimbingan oleh-Nya untuk mendapatkan seorang Guru spiritual yang
mumpuni dan dapat mengantarkan kita pada kunci ilmu yang sudah dianugerahkan
Tuhan kepada kita semua.
Sehubungan dengan kunci ilmu ini, sesungguhnya Al Qur’an sudah memberi petunjuk dalam surat Al Hajj : 46, berikut:
Sehubungan dengan kunci ilmu ini, sesungguhnya Al Qur’an sudah memberi petunjuk dalam surat Al Hajj : 46, berikut:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.
Pada
ayat di atas dijelaskan bahwa manusia
memiliki hati yang dianugerahkan Tuhan untuk memahami. Sekali lagi saya
tegaskan, Hati untuk memahami!!!
Tuhan tidak mengatakan otak atau akal untuk memahami. Karena Hati lah kunci
dari semuanya, Hatilah kunci hubungan kita kepada Tuhan. Melalui hatilah Tuhan
akan memberi petunjuk kepada kita semua. Bagaimana cara menggunakan hati kita?
Inilah yang perlu kita pelajari secara seksama, dan memerlukan bimbingan dari
seorang Guru yang mumpuni.
Kembali
ke topik, beberapa hal yang saya jelaskan berikut ini memang tidak dapat
ditemukan dalam kitab suci manapun. Dalam tulisan ini, saya juga membatasi pada
hal-hal yang boleh dijelaskan, karena untuk hal-hal yang mendalam para pembaca
harus memahaminya melalui pengalaman langsung, atau dengan kata lain melalui
petunjuk/bimbingan langsung dari Tuhan.
Sebagai
pengantar, dan sekaligus untuk menjawab pertanyaan tentang kisah Adam di atas,
saya ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya terdapat
3 (tiga) makna dari Adam yang dijelaskan dalam kitab suci, sebagai
berikut:
Pertama,
Adam dalam pengertian Ruh atau Diri Sejati kita (bukan mahluk fisik) yang
diciptakan Tuhan di alam Ruh, sebelum alam semesta fisik dan keberadaan ini diciptakan. Inilah makna sesungguhnya yang dikisahkan pada Kitab Kejadian 2. Dengan demikian, Kitab Kejadian 2 dan 3 sesungguhnya adalah penjelasan dari Kitab Kejadian 1 yang mengungkap hakikat penciptaan manusia (Adam dan Hawa), dimana yang diceritakan di sini semuanya bermakna simbolik. Atau bukan kelanjutan dari Kitab Kejadian 1, sehingga rancu bila ditafsirkan kisah Adam dan Hawa di Taman Eden terjadi setelah hari ke-7.
Kedua, Adam dalam
pengertian manusia (mahluk fisik) yang terbentuk melalui proses evolusi, dalam
hal ini tidak merujuk pada satu orang, karena terbentuknya manusia (homo sapien) sekaligus
dalam bentuk jamak. Inilah yang dijelaskan pada Kitab Kejadian-1, Tuhan menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) pada hari ke-6.
Ketiga,
adalah Adam merujuk pada nabi Adam a.s. yang merupakan nabi pertama setelah
manusia terbentuk dari proses evolusi dan ditugaskan Tuhan untuk mengajarkan
agama dari Tuhan YME. Inilah yang dijelaskan pada Kitab Kejadian 4 dan seterusnya.
Dengan
demikian, adalah anggapan yang keliru
bila mengatakan bahwa pada zaman Nabi Adam a.s, di bumi ini hanya ada satu
pasang manusia, yaitu Adam dan Hawa. Karena sesungguhnya pada zaman tersebut telah cukup banyak manusia (homo sapien) yang
terbentuk melalui proses evolusi. Hal ini sesuai dengan penjelasan pada Kitab Kejadian 1 yang menyebutkan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan pada hari ke-6 setelah penciptaan langit dan bumi, tumbuhan dan hewan, serta segala isinya).
Adapun pengertian Adam sebagai Ruh, inilah sesungguhnya awal dari sejarah agama, ketika Ruh atau Diri Sejati kita semua masih berada di alam Ruh, ketika Ruh kita masih bersama Tuhan, ketika agama disampaikan langsung oleh Tuhan kepada kita, jauh sebelum alam semesta dan keberadaan diciptakan, ketika itu belum ada yang berbentuk fisik. Pengertian Adam sebagai Ruh di sini juga bermakna jamak, karena ini bermakna Ruh atau Diri Sejati kita semua, yaitu Ruh saya, Ruh semua pembaca, Ruh semua manusia di bumi, dan Ruh semua mahluk yang berkesadaran.
Adapun pengertian Adam sebagai Ruh, inilah sesungguhnya awal dari sejarah agama, ketika Ruh atau Diri Sejati kita semua masih berada di alam Ruh, ketika Ruh kita masih bersama Tuhan, ketika agama disampaikan langsung oleh Tuhan kepada kita, jauh sebelum alam semesta dan keberadaan diciptakan, ketika itu belum ada yang berbentuk fisik. Pengertian Adam sebagai Ruh di sini juga bermakna jamak, karena ini bermakna Ruh atau Diri Sejati kita semua, yaitu Ruh saya, Ruh semua pembaca, Ruh semua manusia di bumi, dan Ruh semua mahluk yang berkesadaran.
Pada
beberapa kitab spiritual, dijelaskan bahwa pada
dasarnya setiap manusia terdiri dari Tubuh Fisik, Jiwa, dan Ruh. Tubuh
fisik ini seperti pakaian yang akan rusak, dimana ketika tubuh fisik kita mati,
maka akan digantikan dengan tubuh fisik yang baru sejalan dengan proses
reinkarnasi (Baca Catatan saya tentang Reinkarnasi). Sedangkan Jiwa dan Ruh kita
tetap ada dan tidak pernah mati. Semua ingatan (memori) dalam perjalanan
proses reinkarnasi juga tetap ada dan tersimpan dalam ingatan (memori) dari
Jiwa dan Ruh kita. Namun, karena kehendak Tuhan, semua memori ini tertutup dan
hanya bisa diakses atas izin Tuhan. Hal ini juga telah dijelaskan dalam catatan
saya tentang Reikarnasi.
Perihal Ruh atau Diri Sejati kita ini
termasuk bagian dari rahasia Tuhan. Sebagaimana dijelaskan
dari Al Qur’an pada Surat Al Israa : 85 berikut :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang
ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."
Kenapa Ruh termasuk bagian dari rahasia
Tuhan?
Ini
disebabkan di dalam Ruh atau Diri Sejati
kita terdapat percikan Dzat Tuhan. Dalam beberapa buku Spiritual
menyebutkan Ruh kita sebagai Atma. Pada beberapa aliran kepercayaaan disebutkan
bahwa barang siapa yang dapat mengenal Ruh atau Diri Sejatinya, maka dia akan
mengenal Tuhannya. Sehingga terdapat konsep Manunggaling Kawula Gusti, atau
manunggalnya antara hamba dengan Tuhannya. Namun perlu saya ingatkan agar
pembaca berhati-hati dalam memahami konsep ini, karena sesungguhnya Ruh/ Diri Sejati atau Atma berbeda
dengan Tuhan YME Sang Pencipta. Dengan demikian, bila ada
orang-orang yang mengaku sudah ma’rifat (mengenal) Tuhan, apalagi mengaku sudah
manungaling dengan Tuhan, pastilah mereka telah keliru, karena yang dianggap
sebagai Tuhan oleh mereka adalah Ruh/Diri Sejati atau Atmanya.
Memang
terdapat beberapa orang yang atas izin Tuhan YME, mereka diperkenankan untuk
mengenal percikan Dzat Tuhan yang ada di dalam Ruh (Diri Sejati)-nya. Nah
inilah sesungguhnya tingkatan spiritual tertinggi (pencerahan) yang dapat
dicapai oleh sang hamba (manusia). Karena tak
ada satupun mahluk Tuhan termasuk para malaikat yang sanggup mengenal Tuhan
secara utuh. Dia Yang Maha Besar di luar jangkauan hamba-Nya, tak dapat
dibayangkan seperti apa, dan kita sebagai hamba hanya mampu mengenal percikan
Dzat-Nya, yang bila dibandingkan dengan Tuhan Sang Pencipta, percikan Dzat-Nya ini bagaikan
sebutir debu di hadapan Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu, tidak ada
alasan sedikitpun bagi kita untuk menjadi sombong, mengaku sudah mengenal
Tuhan, apalagi mengaku manunggal dengan Tuhan, dan berkata “Ana’l Haq” atau
akulah Kebenaran. Ini jelas pemahaman yang keliru!!!.
Namun
bagaimanapun, Ruh atau Diri Sejati kita
adalah suatu yang istimewa, karena Tuhan menganugerahkan suatu yang istimewa di
dalam Ruh (Diri Sejati) kita, yaitu percikan dari Dzat Tuhan. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al Qur’an Surat Shaad: 72:
“Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya (Adam/Ruh/Diri Sejati manusia) dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya”.
Demikianlah,
meskipun hanya kepada percikan Dzat-Nya,
malaikat-malaikat bersujud kepada percikan Dzat-Nya, yang ada di dalam Ruh
(Diri Sejati) kita. Inilah keistimewaan manusia yang dianugerahkan Tuhan dengan
percikan Dzat-Nya.
Adapun
perihal Jiwa, pada dasarnya
merupakan mediator antara Ruh (Diri Sejati) dengan tubuh fisik. Sebagaimana
Ruh, Jiwa ini juga berbentuk non-fisik, atau termasuk hal yang ghaib. Saya
tidak ingin menjelaskan secara rinci pengetahuan tentang Jiwa dan Ruh (Diri
Sejati), karena hal ini merupakan pengetahuan yang harus dialami langsung oleh
para pembaca, dimana kuncinya sudah saya sebutkan pada penjelasan sebelumnya di
atas. Sebagai gambaran umum, sesungguhnya jiwa
inilah yang ketika tubuk fisik kita meninggal akan mengalami siksaan (neraka)
atau mendapatkan anugerah surga, sesuai dengan amal perbuatannya
masing-masing pada saat masih hidup di bumi. Sedangkan, yang kembali kepada Tuhan adalah Ruh (Diri Sejati) kita. Demikian
penjelasan singkat tentang Ruh (Diri Sejati) dan Jiwa.
Kembali
ke topik, kita lanjutkan kisah Adam dalam arti Ruh (Diri Sejati) kita ketika
masih di alam Ruh. Disana kita diberi berbagai kenikmatan dan keistimewaan oleh
Tuhan, sehingga dalam kitab suci disimbolkan
sebagai taman Eden. Namun
kemudian terjadilah peristiwa yang menjadi awal dari segalanya, yaitu ketika
Ruh (Diri Sejati) kita semua melanggar perintah langsung dari Tuhan (dalam kitab suci disimbolkan sebagai memakan buah khuldi), karena tergoda
oleh bujuk rayu Iblis. Mungkin bila di antara pembaca yang peka dapat merasakan
di hatinya terdalam ada suatu perasaan sedih dan rindu sewaktu membaca apa yang
saya jelaskan ini. Itulah ingatan dari Ruh (Diri Sejati) kita ketika masih
berada di Alam Ruh.
Sejak
itulah, dan karena kesalahan Ruh (Diri
Sejati) kita sendiri, maka kita lari dari hadapan Tuhan. Jadi bukan, karena
diusir oleh Tuhan!!! Kemudian karena Tuhan tidak dapat memaksa kita untuk
kembali bersama-Nya, maka diciptakanlah alam semesta dan semua keberadaan ini
yang ditujukan sebagai sarana bagi kita semua untuk belajar menyadari semua
kesalahan kita, agar dapat bersedia kembali bersama-Nya.
Demikianlah
begitu besar Kasih Sayang Tuhan kepada
kita semua, sehingga Dia menciptakan segalanya hanya untuk kita. Melalui alam semesta dan keberadaan inilah
semua mahluk dapat belajar untuk memahami Kebesaran dan Kasih Sayang Tuhan, menyadari semua kesalahannya, berserah diri kepada Tuhan dan memilih
Tuhan di atas segalanya, untuk dapat kembali bersama-Nya. Di alam semesta ini semua mahluk belajar
melalui proses evolusi dan reinkarnasi, dan berlaku hukum sebab akibat, atau
hukum karma. Setiap kali kita berbuat sesuai dengan perintah Tuhan, maka
kita akan menerima manfaatnya, sebaliknya setiap kali kita melanggar
perintah-Nya, maka kita juga akan mendapatkan ganjarannya. Siapa yang menanam
maka dia akan memetik hasilnya!.
Demikianlah
kita mengalami proses evolusi dan
reinkarnasi yang memakan waktu yang sangat panjang sehingga kita menjadi mahluk
manusia (homo sapien). Semuanya merupakan proses pembelajaran yang harus kita lalui. Bila
kita analogikan perjalanan proses evolusi dan reinkarnasi ini sebagai permainan
video games, maka proses evolusi dan
reinkarnasi ini adalah tingkatan-tingkatan (level) kesulitan yang harus kita
lalui. Dan sekarang setelah kita dilahirkan sebagai mahluk manusia, ini
harus kita syukuri karena kita sudah berhasil melalui level-level yang lebih
rendah. Dalam wujud sebagai manusia inilah kita memiliki kesempatan untuk menyelesaikan
pembelajaran spiritual dari Ruh (Diri Sejati) kita, yakni untuk kembali kepada
Tuhan YME.
Sejalan
dengan itu, karena begitu besarnya Kasih Sayang Tuhan kepada kita semua,
serta karena Tuhan Maha Tahu bahwa kita sebagai mahluk manusia akan
menempuh pelajaran dalam tingkatan (level) yang lebih sulit, maka Tuhan merasa
perlu untuk mengutus Nabi atau Rasul-Nya dalam menyampaikan petunjuk-petunjuk/ajaran Tuhan. Pada zaman awal keberadaan
manusia inilah Tuhan memilih dan mengutus Nabi Adam a.s untuk mengingatkan
semua manusia di muka bumi agar mengikuti petunjuk-petunjuk / ajaran
Tuhan.
Namun
sayangnya memang sejarah pembelajaran kita sebagai manusia tidak berlangsung
dengan baik, sehingga berulang-ulang kali kita tidak memperdulikan ajaran Tuhan
yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya, dan banyak berbuat kerusakan di muka
bumi. Sehingga berkali-kali juga bumi kita mengalami kehancuran (kiamat kecil)
akibat dari ulah perbuatan kita sendiri. Inilah yang dikenal sebagai siklus
Mahayuga, yaitu siklus dimulainya hingga berakhirnya peradaban manusia atau
kembali ke zaman primitif (Baca catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi).
Sekarang ini kita sudah memasuki siklus
Mahayuga terakhir. Inilah kesempatan terakhir kita untuk
menyelesaikan proses pembelajaran spiritual kita. Pada siklus Mahayuga terakhir
ini, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak hanya menurunkan Nabi
dan Rasul-Nya, namun Tuhan juga mengutus apa yang disebut dengan Avatar.
Apakah itu Avatar?
Dalam
beberapa kitab spiritual dijelaskan bahwa Avatar adalah manusia atau mahluk fisik penjelmaan
dari Tuhan. Namun sekali lagi saya katakan bahwa Tuhan adalah Maha Besar, dan
tak ada satu mahlukpun yang dapat membayangkan Ke-Besar-an dan Ke-Maha Kuasa-an
Tuhan. Oleh karena itu, saya lebih setuju menggunakan istilah bahwa Avatar adalah wakil langsung dari Tuhan yang
memiliki kedudukan tinggi di hadapan Tuhan (lebih tinggi daripada dewa-dewa, mahluk suci apapun, bahkan lebih tinggi dari
malaikat-malaikat agung) yang diturunkan ke bumi dalam wujud mahluk fisik.
Dalam kitab suci Weda, Avatar ini disebutkan sebagai penjelmaan dari dewa Wisnu. Dalam hal ini terdapat kerancuan terhadap penamaan dewa Wisnu, karena Wisnu bukanlah dewa melainkan nama simbolik dari Avatara yang merupakan wakil langsung dari Tuhan YME dan memiliki kedudukan jauh lebih tinggi di atas para dewa. Sebagaimana telah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi, bahwa dewa adalah mahluk Tuhan yang menempati alam dimensi yang lebih tinggi dari kita, sehingga mereka usianya bisa mencapai ribuan tahun, namun mereka juga sama dengan kita masih dalam tahap belajar untuk kembali kepada Tuhan YME, dan juga masih terikat pada siklus reinkarnasi. Artinya, kita yang dilahirkan sebagai manusia saat ini bisa jadi pada beberapa kehidupan sebelumnya (past life) pernah menjadi Dewa.
Dalam kitab suci Weda, Avatar ini disebutkan sebagai penjelmaan dari dewa Wisnu. Dalam hal ini terdapat kerancuan terhadap penamaan dewa Wisnu, karena Wisnu bukanlah dewa melainkan nama simbolik dari Avatara yang merupakan wakil langsung dari Tuhan YME dan memiliki kedudukan jauh lebih tinggi di atas para dewa. Sebagaimana telah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi, bahwa dewa adalah mahluk Tuhan yang menempati alam dimensi yang lebih tinggi dari kita, sehingga mereka usianya bisa mencapai ribuan tahun, namun mereka juga sama dengan kita masih dalam tahap belajar untuk kembali kepada Tuhan YME, dan juga masih terikat pada siklus reinkarnasi. Artinya, kita yang dilahirkan sebagai manusia saat ini bisa jadi pada beberapa kehidupan sebelumnya (past life) pernah menjadi Dewa.
Kembali pada topik, merujuk
pada kitab suci Weda, Avatar pertama
yang diturunkan Tuhan ke muka bumi adalah Matsya Avatar yang diturunkan pada
awal zaman Satya Yuga dalam Siklus Mahayuga terakhir (diperkirakan sekitar
tahun 39.644 SM, dasar perhitungannya dapat dibaca pada catatan saya tentang
Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi), atau dalam Al Kitab disebutkan sebagai zaman Nabi Nuh
a.s. Pada masa itu Matsya Avatar dibantu
oleh Nabi Nuh a.s mengajarkan agama pertama dalam siklus Mahayuga terakhir.
Dengan demikian, terdapat jarak waktu yang sangat panjang (lebih dari 2 milyar
tahun) antara Nabi Adam a.s yang diturunkan pada siklus Mahayuga pertama hingga
Matsya Avatar. Sehingga dapat dikatakan bahwa Matsya Avatar inilah yang
menurunkan agama pertama di muka bumi.
Seperti
yang pernah saya jelaskan dalam catatan saya tentang Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi,
bahwa tempat asal Nabi Nuh a.s sebelum terjadinya peristiwa banjir besar adalah
di bumi Nusantara ini. Dengan demikian agama
pertama yang diturunkan Matsya Avatar dibantu oleh Nabi Nuh a.s berlokasi di
bumi Nusantara ini, yang dikenal sebagai ajaran SURAYANA. Adapun esensi
dari ajaran SURAYANA sesungguhnya hampir sama dengan yang diajarkan sejak zaman
Nabi Adam a.s, yaitu monotheisme (percaya pada Tuhan Yang Maha Esa), pengenalan
kepada Tuhan YME, perbaikan akhlak/ budi pekerti, dan kasih sayang, karena
bersumber pada Tuhan YME.
Paska peristiwa banjir besar, ajaran
SURAYANA ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan menjadi anutan banyak orang
khususnya di wilayah India dan bumi Nusantara hingga memasuki akhir zaman Treta
Yuga
(13.364 SM), atau dalam kurun waktu sekitar 26.280 tahun. Dalam kurun waktu
tersebut tercatat sebanyak 5 kali lagi
Avatar diturunkan ke bumi (setelah Matsya Avatar) guna menjaga kemurnian
esensi ajaran SURAYANA (Nama-nama Avatar ke-dua hingga ke-enam dapat dilihat di
https://en.wikipedia.org/wiki/Avatar).
Kemudian
pada akhir zaman Treta Yuga (13.364 SM)
Tuhan menurunkan Avatar ke-tujuh, yang bernama Sri Rama dan diceritakan
dalam kisah Ramayana. Pada zaman Avatar Rama ini peradaban manusia diperkirakan
telah menguasai teknologi tinggi (lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi
yang ada saat ini), serta terjadi peperangan yang dahsyat antara pasukan yang
dipimpin Rama Sang Avatar dengan pasukan yang dipimpin Rahwana (Raja Asura).
Garis besar cerita zaman Rama dapat dibaca dalam catatan saya tentang Zaman
Awal Peradaban Bangsa Bumi.
Sekitar 4.380 tahun setelah Sri Rama,
diturunkan lagi Avatar ke-delapan pada
awal zaman Dwapara Yuga (8.984 SM), yaitu Sri Krishna,
yang dikisahkan dalam kitab Mahabharata. Pada
zaman Sri Krishna inilah ajaran SURAYANA dimurnikan, dikembangkan dan berganti
nama menjadi ajaran SUNDAYANA, dengan simbol Matahari dan Bulan (Surya dan
Chandra). Makna dari simbol Matahari dan Bulan akan dijelaskan nanti pada
catatan terpisah. Sri Krishna adalah
guru spiritual dari Pandawa Lima, serta memiliki dua orang murid utama, yaitu:
Arjuna penengah Pandawa, dan Udawa keponakan Sri Krishna. Arjuna inilah
yang sesungguhnya merupakan penulis pertama dari Kitab Bhagawad Gita, dan
Mahabharata. Sedangkan Udawa adalah penulis dari Hamsa Gita. Kitab Bhagawad
Gita dan Hamsa Gita ini berisi ajaran spritual Sri Krishna kepada Arjuna dan
Udawa.
Adapun
negeri para Pandawa adalah Indraprasta
yang dulunya merupakan hutan belukar (Hutan Kandawa) dan merupakan bagian dari
wilayah kerajaan Hastinapura. Negeri Indraprasta ini diperkirakan berlokasi di
wilayah Nusantara. Oleh karena itulah, kisah tentang Pandawa begitu melekat
di hati masyarakat Indonesia, bahkan hingga saat ini. Di Jawa Timur terdapat
gunung bernama Arjuna, di Sumbawa Timur terdapat kota bernama Bima, terdapat
candi-candi di Jawa Tengah dengan nama-nama satria Pandawa, juga terdapat nama
raja atau kerajaan Dharmawangsa, Dharmasraya (putra sulung Pandawa) di wilayah
Jawa dan Sumatera.
Dengan pengelolaan para Pandawa, negeri
Indraprasta di bumi Nusantara mencapai puncak kejayaannya, dan menjadi pusat
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dunia. Para leluhur kita menyebut zaman
itu sebagai zaman Swargantara. Berita tentang kejayaan dan
kemakmuran negeri Indraprasta tersebar ke seluruh dunia, dan terekam dalam
catatan Plato, tentang keberadaan negeri Atlantis yang diperkirakan merujuk
pada negeri Indraprasta. Atlantis sendiri berasal dari bahasa Sansekerta Atala,
yang berarti negara yang makmur bagaikan surga atau tempat yang tinggi (banyak
pegunungan). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu merupakan
pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu
pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya.
Kisah
tentang para Pandawa secara lengkap dapat dibaca dalam Kitab Mahabharata. Kisah kejayaan negeri Atlantis (Indraprasta)
ini berakhir dengan terjadinya perang Bharata Yuda yang diduga melibatkan
berbagai bentuk senjata pemusnah massal (nuklir), serta tenggelamnya pusat kerajaan Atlantis di Nusantara akibat bencana gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami dan
kenaikan muka air laut yang dipicu oleh pemanasan global dampak perang Bharata
Yuda. Dalam catatan sejarah, peristiwa tenggelamnya negeri Atlantis ini dikenal
sebagai periode akhir zaman es (sekitar 8.800 SM), yang mengakibatkan
terpecahnya Benua Atlantis menjadi banyak pulau, antara lain: pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Tenggelamnya pusat kerajaan Atlantis di Nusantara mengakibatkan terjadinya eksodus besar-besaran
dari sebagian besar penduduknya ke seluruh penjuru dunia.
Mereka yang eksodus ini membawa
sisa-sisa peradaban dan iptek dari negeri Atlantis, serta menjadi cikal bakal
perkembangan peradaban yang ada di wilayah Mesopotamia/Sumeria (5.500-2.500
SM), Mesir Kuno (3.150 SM), India Kuno (2.800-1.800 SM), serta Maya dan Aztec
kuno di Amerika, yang oleh sebagian para ilmuwan disebutkan sebagai kebudayaan
tertua di dunia. Mereka yang eksodus ini
juga turut membawa/ menyebarkan ajaran SUNDAYANA dari Sri Krishna ke seluruh penjuru
dunia, termasuk ke wilayah Timur Tengah.
Sedangkan
mereka yang masih tinggal/menetap di
bumi Nusantata sepakat untuk tidak lagi mengembangkan iptek, karena menyadari
bahaya dari iptek yang berujung pada peperangan. Mereka sepakat untuk
menjalani kehidupan yang selaras dengan alam, atau dalam istilah sekarang
dikenal sebagai “Back to nature”. Sejak periode 8.800 SM hingga sekitar 5.000 SM, belum ada
sebuah kerajaan yang muncul di wilayah Nusantara. Periode selama sekitar 3.800
tahun ini disebutkan sebagai masa perenungan dari sisa-sisa bangsa Atlantis di
Nusantara, mereka berfokus pada pendekatan diri kepada Tuhan YME (spiritual).
Kemudian pada periode tahun 5.000 SM, dikisahkan muncul kembali raja pertama di Nusantara bernama Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya, dengan pusat kerajaannya di daerah yang saat ini disebut dengan Parahyangan. Adapun arti kata Parahyangan sendiri terdapat beberapa penafsiran, pertama yaitu Pa = tempat; Ra = Cahaya (Sinar); Hyang = Tuhan; kedua yaitu Pa berasal dari singkatan nama Parikesit cucu dari Arjuna; RaHyang = Raja pandita (raja yang juga merupakan Guru Spiritual). Disebutkan bahwa Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya adalah turunan dari Prabu Parikesit (cucu Arjuna) .
Kemudian pada periode tahun 5.000 SM, dikisahkan muncul kembali raja pertama di Nusantara bernama Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya, dengan pusat kerajaannya di daerah yang saat ini disebut dengan Parahyangan. Adapun arti kata Parahyangan sendiri terdapat beberapa penafsiran, pertama yaitu Pa = tempat; Ra = Cahaya (Sinar); Hyang = Tuhan; kedua yaitu Pa berasal dari singkatan nama Parikesit cucu dari Arjuna; RaHyang = Raja pandita (raja yang juga merupakan Guru Spiritual). Disebutkan bahwa Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya adalah turunan dari Prabu Parikesit (cucu Arjuna) .
Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik
Maya selanjutnya berputra Maha Ratu Resi Prabu Sindhu La Hyang,
yang kelak menurunkan Dinasti Warman. Prabu Sindhu inilah yang menyebarkan ajaran
SUNDAYANA warisan dari Sri Krishna hingga menjadi agama utama di seluruh wilayah
Nusantara, sehingga beliau diberi gelar sebagai Maha Ratu Resi (Guru Spiritual). Terdapat sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Prabu Sindhu adalah seorang Nabi yang diutus Tuhan YME untuk memurnikan ajaran dari Sri Krishna sang Avatar. Bila dilihat dari periode antara zaman Sri Krishna sang Avatar dengan zaman Prabu Sindhu (sekitar 5.000 SM) dimana ada rentang waktu yang cukup lama (sekitar 3.800 tahun), maka bisa jadi pendapat bahwa Prabu Sindhu adalah seorang Nabi adalah benar.
Adapun perihal nama ajarannya yang sama dengan apa yang diajarkan Sri Krishna (SUNDAYANA), kemungkinan disebabkan ajaran Prabu Sindhu tidak jauh berbeda dengan apa yang diajarkan Sri Krishna, sehingga masyarakat setempat (nusantara) masih menyebut ajaran Prabu Sindhu dengan nama SUNDAYANA. Sebagian ajaran SUNDAYANA hingga saat ini masih melekat pada ajaran/agama asli leluhur Nusantara, antara lain: Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu Bali, serta beberapa aliran kepercayaan yang ada di Nusantara. Nama Sindhu juga banyak diabadikan sebagai nama tempat di wilayah Nusantara, antara lain curug Cidulang (berasal dari kata Sindhu La Hyang) di Cicalengka, nama pantai di Bali, nama pantai di Pulau Natuna, dll.
Adapun perihal nama ajarannya yang sama dengan apa yang diajarkan Sri Krishna (SUNDAYANA), kemungkinan disebabkan ajaran Prabu Sindhu tidak jauh berbeda dengan apa yang diajarkan Sri Krishna, sehingga masyarakat setempat (nusantara) masih menyebut ajaran Prabu Sindhu dengan nama SUNDAYANA. Sebagian ajaran SUNDAYANA hingga saat ini masih melekat pada ajaran/agama asli leluhur Nusantara, antara lain: Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu Bali, serta beberapa aliran kepercayaan yang ada di Nusantara. Nama Sindhu juga banyak diabadikan sebagai nama tempat di wilayah Nusantara, antara lain curug Cidulang (berasal dari kata Sindhu La Hyang) di Cicalengka, nama pantai di Bali, nama pantai di Pulau Natuna, dll.
Tidak
hanya di Nusantara, Prabu Sindhu juga
menyebarkan ajaran SUNDAYANA hingga ke negeri Jepang, dan ajarannya diberi nama
Sinto, kemudian juga ke India, dan ajarannya diberi nama Shindu, kemudian
berganti nama menjadi Hindu. Dengan demikian terdapat kekeliruan sejarah
yang selama ini diajarkan di sekolah, bahwa sesungguhnya asal dari agama Hindu
bukan dari India, melainkan dari negeri kita ini (Nusantara). Oleh karena
itulah, agama Hindu yang ada di Indonesia (misal Hindu Bali) tidak sama dengan
agama Hindu yang ada di India. Demikian juga apa yang disebut sebagai agama
Hindu yang banyak dianut masyarakat pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu
tidak sama dengan agama Hindu dari di India, namun lebih mirip dengan agama Hindu Bali.
(Dilanjutkan pada Bagian ke-2)......
ijin share yah kak
BalasHapusperbedaan tepung terigu dan tapioka
Literasinya darimana kak...
BalasHapus