PENCIPTAAN BUMI
Didalam sejarah Baduy dijelaskan, pada
mulanya bumi terbentuk dari yang ngenclong, suatu materi yang kental
dan bening, lama kelamaan menjadi keras dan besar, dan ini adalah awal
mula dari bagian bumi. Yang disebut Sasaka Buana atau Padaageung. Titik
mula adalah tonggak kabuyutan yang mengandung arti, itulah pusat dunia,
awal dari kehidupan makhluk. Untuk memberikan kehidupan, kemudian
Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara kedunia, dua Batara diturunkan di
Sasaka Buana dan Lima Batara mendirikan nagara telung puluh telu, panca
salawe nagara, atau negara diluar Kanekes (Garna : 1988).
Proses
pembentukan Bumi secara terperinci dijelaskan dalam Buku Penelusuran
Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984). Buku ini menjelaskan, bahwa
pada awalnya bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala.
Berjuta-juta tahun kemudian asap gelap diseluruh muka bumi secara ber
angsur-angsur dan terus menerus-menerus seluruhnya menghilang. Bumi
menjadi dingin. Walaupun demikian belum ada makhluk hidup. Kemudian
permukaan bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan.
Beberapa
juta tahun kemudian muncullah tumbuh-tumbuhan kecil, lalu mucul makhluk
hidup berupa hewan; kemudian hewan yang hidup di lautan seperti ikan
dan sejenisnya. Setelah itu beberapa juta tahun kemudian muncul
berjenis-jenis tumbuhan dan sementara itu muncul makhluk hewan raksasa
yang beraneka macam jenisnya; kemudian bermacam-macam makhluk hewan
unggas serta hewan lainnya seperti babi, kuda dan sejenisnya. Lalu
berjuta-juta tahun kemudian muncullah makhluk hidup berwujud manusia
tingkatan rendah dan sempurna. Mereka adalah manusia purba, manusia
hewan, yang seterusnya setelah beribu-ribu tahun kemudian berwujud
separuh hewan separuh manusia. Lama setelah itu muncul makhluk yang
serupa manusia, lalu tingkat rendah dan akhirnya muncullah jenis makhluk
manusia yang sempurna.
Uraian tentang sejarah
terciptannya bumi diatas ditemukan didalam naskah Pusta Rajya-rajya di
Bhumi Nusantara, pada parwa I sarga I, ditulis oleh Pangeran Wangsakerta
dan kawan-kawan di Cirebon pada tahun 1677 Masehi (Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, 1983–1984). Adapun naskah dan
bahasa aslinya, sebagai berikut :
”Witan sargakala
niking bhumitala. Bhumitala pinakgni dumilah mwang uswa. Prayuta warca
tumuli kukus petengrat bhumi tala canaih-canaih dhumana-rawata sirna.
Bhumi mahatis. Ya dastun mangkana tatan hana janggama. Ateher bhumanda
la nikang dadi prawata lawan sagara.
Prayuta
warca tumuli dadi tasthawarahalit, ateher dadi janggama prakara satwa;
ateher satwekeng haneng sagara maka dimina mwang sarwwa mina. Rihuwus
ika prayuta warca tumuli shatware kang nanawidha mwangring samang kana
dadi ta janggama satwa raksa nung nanawidha prakaranya; Ateher sarwwa
janggama satwa inuturun mwang satwa lenya waneh kadi waraha, turangga
mwang lenya manih.
Ateher prayuta warca tumuluy
dadi tajanggama manusa dharma lawan tatan purnna. Hana pwa purwwa janma
purusa satwa, ateher lawas ira mewu iwu warca manih akrti saparwa satwa
sasaparwa manusa. Lawas ri huwus ika dadi ta puru sakara, ateher
manusadhhar mamwang wekasan dadi tapurusa purnna”.
Abdul Rozak (2005) didalam Buku Teologi Kebatinan Sunda memaparkan, bahwa sejarah bumi menurut penganut Aliran Perjalanan Kebathinan, berkaitan dengan kondisi dan posisi
manusia sebagai makhluk yang mulia, secara kodrati, diciptakan untuk
mengolah dan menjadikan dunia beserta isinya agar dapat di manfaatkan
maksimal. Sebelum ada manusia terlebih dahulu Tuhan menciptakan
sarana dan prasarana bagi terselenggaranya nilai mulia manusia dari
makhluk lainnya. Dengan demikian manusia diharapkan mampu mengolah dan
memanfaatkan dunia beserta isinya secara baik dan sempurna.
Tahap-tahap Proses Penciptaan Jagat Raya, Pertama, yang diciptakan Tuhan adalah berupa rasa panas, sebagai
bentuk ciptaan non fisik atau abstrak, tidak kasat mata namun dapat
dirasakan. Panas kemudian mengkristal menjadi bahan bakar dunia, yakni
api. Kemudian mengkristal dan membesar membentuk Matahari.
Proses Ke-dua, Matahari sebagai sumber yang selalu memancarkan rasa panas. Namun
terdapat sisi alam lainnya yang tak terjangkau, sehingga menimbulkan
rasa dingin. Rasa dingin memiliki kemampuan untuk membekukan semua benda
yang terkena dayanya, kemudian mengkristal menjadi sumber bahan
pendingin, dan terbentuklah Air.
Proses Ke-tiga, adalah terbentuknya Angin, yang
terjadi karena daya tarik menarik antara hawa panas dan hawa dingin,
atau kondisi alam yang di timbulkan oleh daya saling mempengaruhi antara
matahari dan air.
Proses Ke-empat, adalah terbentuknya Bumi, sebagai perpaduan antara panas matahari dengan semilirnya angin, kemudian terjadi penguapan. Dari penguapan timbul rasa tetap, mengkristal menjadi bumi.
Dari hukum Tuhan di atas, maka uap yang sangat ringan ini berterbangan
di udara. Terbangnya uap di udara juga akibat hembusan angin. Uap
tersebut tertahan oleh daratan yang lebih tinggi atau gunung gunung.
Sementara gunung yang diciptakan Tuhan bersuhu sangat dingin dan
menyebabkan uap mengkristal, berubah kembali menjadi butiran air hujan.
Hujan menjadikan bumi menjadi subur. Dari adanya hujan yang berpadu
dengan rasa panas menciptakan iklim, ditunjang dengan semilir angin muncullah tumbuhan, kemudian binatang. Selanjutnya muncul manusia, sebagai ciptaan yang terakhir dan sempurna,
yang direncanakan Tuhan untuk menjadikan wakilnya dalam mengatur dunia
sesuai dengan hukum Cakra Manggilingan. Rangkaian proses penciptaan
jagat raya oleh Tuhan memberikan pengertian, bahwa kehidupan manusia
merupakan perpaduan harmonis dan tak terpisahkan dari beberapa unsur
saripati api, air, angin dan bumi (tanah).
Luar
Biasa!!!...ternyata sudah sedemikian tinggi wawasan ilmu pengetahuan
para leluhur kita!!!..Mereka sudah demikian rinci menjelaskan proses
penciptaan jagat raya..Dan ini sangat ilmiah!!!....melampaui Teori Big
Bang!!!...karena leluhur kita menjelaskan bahwa pada awalnya Tuhan
menciptakan rasa panas. Artinya sebelum ada "big bang", diciptakan rasa
panas terlebih dahulu, kemudian rasa panas mengkristal menjadi Matahari
pertama, sebagai cikal bakal alam semesta. Kemudian Matahari pertama ini
meledak, dan pecah menjadi bintang-bintang dan planet-planet, membentuk
kumpulan galaksi. Salah satu bagian dari pecahan inilah yang kemudian
menjadi Matahari, dan planet-planet yang mengelilinginya (termasuk bumi)
dan disebut sebagai Tata Surya.
Pengetahuan lainnya
yang mugkin baru kita ketahui adalah Air dan Angin yang ternyata telah
ada sebelum terbentuknya bumi. Leluhur kita menjelaskan bahwa air, dan
angin adalah dua unsur yang sesungguhnya telah ada sebelum planet-planet
terbentuk. Dan ini sangat logis, karena bagaimana bisa matahari pertama
yang semula demikian panas, dan pecah, kemudian bagian pecahannya ini
ada yang berubah menjadi planet-planet, seperti bumi, tanpa adanya unsur
yang mendinginkan. Proses pendinginan dari bentuk awal planet bumi yang
semula panas inilah, yang selanjutnya menjadikan uap dan terbentuknya
hujan, dan dari hujan terbentuklah air dan samudera (lautan) di bumi
kita.... Sungguh menakjubkan!!!..
Konsep tersebut di
atas, di dalam Naskah Siksa Kandang Karesyan dibahas dalam Panca Wuku.
Jakob Sumardjo (2004) membahas dalam uraian tentang Mandala.
KONSEP NERAKA
Dari
ajaran-ajaran yang mereka terima sangat meyakini bahwa segala perilaku
kehidupan manusia harus dapat dipertanggung jawabkan secara lahiriah
maupun bathiniah, baik menyangkut kehidupan di dunia maupun kehidupan di
akhirat nanti. Mereka meyakini apa yang dilakukan baik buruknya akan kembali pada dirinya,
dan ada yang menyaksikan, yaitu Gusti nu nyidikeun Allah anu
nganyatakeun, Pangeran anu nangtayungan. Dalam hal ini mentaati Pikukuh
dan Pitutur karena merupakan pedoman yang sangat penting, disamping
kemampuan menjaga moral dan etika hidup.
Tentang
perhitungan di hari akhir pada dasarnya diyakini di dalam setiap agama.
Karena keyakinan akan adanya perhitungan di hari akhir akan membawa dan
mampu mengendalikan perbuatan manusia ke arah yang benar. Sekalipun
dalam perkembangannya, sebagaimana yang dianut oleh banyak kaum sufi, kesadaran
untuk mentaati segala perintah yang bersifat ilahiyah dan menjauhi
larangan-larangannya semata-mata karena kesadaran dan kecintaannya
terhadap Sang Pencipta, bukan karena takut terhadap neraka.
Kecintaan terhadap Sang pencipta harus bisa mengalahkan rasa takut
terhadap neraka, mengingat neraka adalah ciptaan Tuhan, bukan Tuhan itu
sendiri.
Penggambaran neraka didalam tradisi Sunda
Buhun sudah di tuliskan pada dua manuskrip daun palem yang ditulis
dengan aksara Sunda Kuna. Naskah tersebut saat ini disimpan di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau Perpustakaan Nasional;
kropak 413 dan kropak 423. Kedua naskah diperkirakan berasal dari abad
ke-17 Masehi.
Pleyte menyebutkan bahwa naskah yang tertua, yaitu kropak 413 ditulis oleh salah seorang siswa KYAI RAGA,
ketua kabuyutan Kyai Raga, yang terletak di lereng gunung Sri Manganti
atau sekarang disebut dengan nama Cikuray, sebelah timur wilayah
kebudayaan Sunda (tuntung Sunda). Naskah dimaksud mengisahkan perjalanan Purnawijaya, ke neraka.
Purnawijaya diajarkan oleh sang Dewa Utama mengenai akibat dari
perbuatan jahat. Purnawijaya diajak untuk datang ke neraka dan melihat
bagaimana orang-orang berdosa disiksa. Di dalam perjalanannya
Purnawijaya bertanya kepada Yamadipati, penjaga neraka, tentang cara
mengakhiri penyiksaan ini. Yamadipati menjelaskan bahwa keberadaan
mereka para penghuni neraka karena perbuatan buruk mereka ketika hidup,
serta mereka bisa reinkarnasi kembali untuk memperbaiki
kesalahan/dosanya pada kehidupan selanjutnya.
Carita Purnawijaya merupakan sebuah gubahan dari buku teks Jawa Kuna yang berjudulkan Kuñjarakarna.
Naskah ini mengisahkan seorang Yaksa (sejenis raksasa) yang bertapa
karena ingin menebus dosanya. Kisah didalam versi Sunda Kuna ini berbeda
secara signifikan dari cerita Jawa Kuna. Versi Jawa Kuna terdiri dari
dua bagian dan merupakan sebuah cerita yang bernafaskan agama Budha,
karakter Budhis pada versi Sunda sudah hilang sama sekali. Dan hanya
terdiri dari satu bagian saja. Cerita Kuñjarakarna (jawa) dibagi dua
bagian, antara lain perjalanan Kuñjarakarna ke neraka.
Kuñjarakarna
bertapa dan mendapatkan berkah dari Wairocana atau sang Budha untuk
bisa melihat neraka. Pertama-tama disuruhnya pergi ke neraka Yama untuk
melihat langsung siksaan yang dialami orang-orang durhaka, dan
menanyakan sebab musabab penderitaan lima lapis (pancagati). Disana
melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa dan direbus didalam sebuah
ketel besar. Kemudian melihat sebuah ketel baru yang sedang disiapkan,
ternyata ketel ini di peruntukkan bagi Purnawijaya, sahabat karib
Kuñjarakarna yang akan meninggal dalam waktu beberapa hari.
Kuñjarakarna
terkejut dan meminta kepada sang Budha, apakah bisa memperingatkan
sahabatnya. Dan sang Buda memperbolehkannya, namun Purnawijaya tetap
tidak boleh menghindari hukuman. Meskipun begitu hukumannya diperpendek,
dari 100 tahun menjadi sepuluh hari. Setelah masa berlalu, Purnawijaya
diperkenankan kembali kebumi dan kembali kepada istrinya,
Kusumagandhawati. Cerita berakhir dengan mengisahkan Kuñjarakarna dan
Purnawijaya bersama-sama bertapa dan menyucikan diri dengan laku yang
amat berat, dilereng Mahameru. Maka setelah 12 tahun atas ijin Sang
Budha mereka berdua mendapatkan jalan kebahagiaan dijagat Yang Maha
Tunggal (SIDDHLOKA). Didalam istilah lainnya disebut pula alam
JATINISKALA.
Kisah dari naskah Sunda Kuna memiliki
hubungan erat dengan teks Jawa Kuna Kuñjarakarna. Hal ini bukan suatu
yang kebetulan. Naskah tertua Kuñjarakarna yang memuat teks Jawa,
sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden sebagai Naskah
Leiden Or 2266 diperkirakan oleh para pakar berasal dari Jawa Barat.
Setiap
makhluk yang ada di jagat raya, baik di bumi sakala maupun di buana
niskala, hendaknya mampu menjalankan tugasnya masing-masing sesuai
dengan peranannya yang diterima dari Sang Pencipta. Orang-orang tua
didaerah masih banyak yang menasehati anak-anaknya agar memiliki ucap,
lampah dan tekad yang baik dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan
istilah kesadaran diri yang berasal dari adanya perpaduan (kesatuan)
antara: bayu (kekuatan) yang diwujudkan dalam tindakan (perbuatan),
sabda (ucapan) dan hedap (itikad/niat di hati). Manusia hendaknya
memiliki kesadaran diri terhadap peranannya masing-masing, dengan
melakukan berbagai pengabdian lahir dan batin, agar kelak bisa kembali ke alam Jatiniskala, alam keabadian sejati, yakni :
“Alam
Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik pati,
sorga tanpa balik papa, hayu tanpa balik halano, han tanpa balik wogan,
moksa tanpa balik wulan”.
Penjelasan lebih lanjut perihal neraka adalah sebagai berikut:
“manggihkeun
bumi patala, si dona désa ma (?), murub muncar pakatonan, dipareuman
hanteu meunang, dorana leuwih sadeupa, jalanna sadeupa sisih, jalan
kakurung ku lembur, lembur kakuning ku jalan, pantona kowari beusi,
dipeundeutan ku tambaga, dilorongan ku salaka, kuncina heunteung homas,
... dikamrata ku tahina, tahi lembu kanéjaan ..... ditatanggaan maléla.
Ditanjuran ku handong bang, katomas deung panéjaan, waduri kembang
jayanti, sekar siratu bancana, eukeur meujeuh branang siang, dihauran
kembangura, dija ... kembang pupo lodi, didupaan ruruhuman, dadi wangi
haseup dupa, mrebuk aruhum … jalan kawiti sorgaan”.
(Maka
sampai di bumi bawah tujuannya adalah sebuah daerah, yang menyala dan
berbara. Hal ini sulit dipadamkan. Gerbangnya lebih dari satu depa
sedangkan jalannya masing-masing setengah depa dan dilingkari oleh
pemukiman. Pemukiman ini melingkari jalan. Pintunya berpanel besi dan
ditutup dengan tembaga serta memiliki laci perak dan kunci emas ...
(jalannya) diratakan dengan tahi, tahi sapi muda dan diberi tangga baja.
Ditanami dengan andong merah, katomas dan panéjaan, bunga waduri dan
bunga jayanti. Selain siratu bancana yang sedang berkembang indah.
Selain ditebari pula dengan bunga tabur sepanjang pohon nagasari (?)
yang dijadikan harum oleh bermacam-macam parfum. Sehingga menjadi
terciumlah harumnya asap dupa ...... sebagai permulaan jalan ke sorga).
Makna
Kosmologi Sunda yang terkandung didalam naskah maupun lisan intinya
menjelaskan, bahwa: konsep kosmologi Sunda bukan hanya dimaksudkan untuk
pengetahuan semata-mata mengenai struktur jagat raya, melainkan lebih
ditujukan agar kehidupan manusia jelas tujuan akhirnya, yaitu mencapai
kebahagiaan dan ketenteraman hidup di buana niskala (surga) dan buana
jatiniskala yang abadi.
Buana ruhur atau buana nyungcung diyakini tempat bersemayamnya Batara Tunggal (Tuhan YME), namun Batara Tunggal dapat berada dimana saja. Buana nyungcung dianggap tempat kembalinya roh manusia dan tempat tinggal yang abadi.
Konsep Jatiniskala mungkin ada kemiripan dengan ageman agama lain. Hal
ini perlu ditelusuri persamaannya, sangkan “ulah sasar hirup.”
“baruk
dasang wiku amun ka dewata leungit kawikwanana pandita, lamun samadi
mihdap hyang dewata hilangna kapanditaan, ja kassakeun katineung sarwa
dingan trisna-trisna bala swarangan.”
(katanya, kalau wiku
‘pendeta’ memuja kepada dewata, hilanglah kewikuannya. Jika pendeta
bersemedi (memuja) dewata, hilanglah kependetaannya, karena perhatian
dan kecintaannya (kepada Tuhan YME) tergeser oleh (kelakuannya)
sendiri).
“....... mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewa dan dewa tunduk kepada hiyang”.
Naskah ini (keyakinan Sunda Buhun) menempatkan Hiyang (Tuhan YME) ditempat yang paling tinggi dan diatas dewa.
Strata
pembaktian menunjukan kondisi sosial urang Sunda yang memang sangat
religius, tidak memisahkan kehidupan bermasyarakat, bernegara dengan
keyakinannya. Dasa per bakti menunjukkan adanya tertib sosial dan
keagamaan, atau tertib hidup dalam urusan masyarakat, mencakup masalah
pribadi dan keluarga; profesional; spiritual. Pengaturan etika hidup
masyarakat, atau keluarga sebagaimana nampak dari pembaktian anak;
istri; dan suami. Pembaktian bagi kaum profesi nampak pada siswa; guru;
petani; wado; mantri; nangganan; mangkubumi; dan raja. Sedangkan didalam
masalah spiritual menempatkan Hyang (Tuhan YME) dipuncak perbaktian,
bahkan raja dan dewapun tunduk pada Hyang (Tuhan YME).
Akhir
cerita, setelah saya membaca tulisan tentang Kosmologi Sunda dari Agus
Setia Permana, merasa takjub dan semakin yakin dan percaya bahwa para
leluhur kita adalah merupakan bangsa yang besar dan sudah memiliki ilmu
pengetahuan tinggi dalam berbagai aspek, baik ilmu pengetahuan alam,
ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan spiritual (religi).
Para leluhur kita sama sekali bukan bangsa yang banyak kita dengar dari
pelajaran sekolah, yaitu penganut animisme, dinamisme, bangsa yang
bodoh (cileupeung)...Tidak, tidak seperti itu!!!...Silakan baca kembali
tulisan di atas. Apakah yang ditulis oleh para leluhur kita, hanyalah
sebuah dongeng pengantar tidur, dan omong kosong belaka? Tidak, tidak
seperti itu, ini adalah kebenaran yang memang demikian adanya. Mengapa
kita sebagai generasi penerus tidak mau mempelajari ilmu pengetahuan
yang ditulis oleh para leluhur kita? Mengapa kita lebih suka mempelajari
ilmu pengetahuan produk import? Padahal, sesungguhnya di sinilah
(nusantara) awal semua pengetahuan berasal.
- SEKIAN -
Disadur dari tulisan: Agus Setia Permana (4/12/2011)
blognya sangat bagus sekali kak
BalasHapuspt markaindo selaras