Definisi KOSMOLOGI menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cetakan Kesepuluh yang
diterbitkan Balai Pustaka, berarti : (1) cabang astronomi yang
menyelidiki asal usul, struktur dan hubungan ruang dan waktu dari alam
semesta (2) cabang dari meta fisika yang menyelidiki alam semesta
sebagai sistim yang beraturan, sedangkan Kosmografi, berarti: (1) pengetahuan tentang seluruh susunan alam (2) penggambaran secara umum tentang jagat raya termasuk bumi.
Tulisan
ini mengeksplorasi naskah-naskah Sunda buhun tentang Jenis dan
tingkatan alam di jagat raya menurut kepercayaan di masa lalu dan diberi
judul Kosmologi, namun dalam tulisan disinggung Kosmografi, karena agak
sulit memisahkan keduanya ketika membahas salah satunya, mengingat
sumbernya yang terpisah-pisah dan sulitnya mencari sumber keterangan
yang utuh tentang kosmologi Sunda, kecuali dari naskah-naskah Sunda
Kuna.
Sebelum dilanjutkan, yuk kita mendengarkan lagu kacapi suling, "Pajajaran cantrik", biar santai membacanya:
Sebelum dilanjutkan, yuk kita mendengarkan lagu kacapi suling, "Pajajaran cantrik", biar santai membacanya:
SUMBER INFORMASI
Kosmologi Sunda dalam bentuk naskah yang beredar secara umum baru diketahui dari Koropak 420. Oleh para peneliti kemudian dinamakan Kosmologi Sunda. Di dalam Pengantar Buku tersebut (2006) dijelaskan, bahwa semula
para peneliti mengira ketiga naskah tersebut (kropak 420 dan 421 dan
422) berisi teks yang bertalian dengan ajaran agama Islam, karena
dalam katalog naskahnya yang dibuat C.M. Pleyte awal abad 20 naskah
koropak 420 berisi ajaran Sunan Gunung Jati (lesjes Soenan Goenoeng
Djati), adalah tokoh penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Tatar
Sunda yang dipandang sebagai salah seorang wali dari Walisanga di Pulau
Jawa. Namun, ternyata teks naskah koropak 420 tidak berisi tentang ajaran agama Islam, melainkan uraian Kosmologis Sunda Buhun.
Di dalam teks itu disebut Gunung Jati satu Kali, namun maknanya
menunjuk pada suatu tempat dalam sistem Kosmologi Sunda Pra Islam, dan
tidak bertalian dengan nama tokoh Islami yakni Sunan Gunung Jati. Menurut para peneliti naskah, naskah dimaksud tidak perlu diragukan lagi kesahihannya, mengigat ditemukan di Kawali
yang pernah menjadi ibu kota Sunda Galuh pada abad 14–15 M. Pada masa
itu pula Islam sudah mulai masuk ke daerah Galuh, bahkan Haji Purwagaluh
berasal dari sini. Setelah Pakuan dibumi hanguskan oleh pasukan Banten
banyak para pembesar Pajajaran dan masyarakat Sunda yang masih “tuhu ka
Pajajaran” mengungsi ke Kawali. Demikian pula pemberi naskah dan
penyimpan naskah ini, yakni Bupati Galuh, R.A. Kusumadiningrat, adalah
trah raja Sunda Pajajaran yang bertanggung jawab menyimpan benda-benda
pusaka peninggalan Pajajaran. Inilah sejarah ditemukannya naskah
Kosmologi Sunda.
Di dalam Harian Umum Pikiran Rakyat,
edisi Kamis 2 Juni 2005, Edi S.Ekadjati menguraikan Kosmologi Sunda dan
menghubungkan naskah Kosmologi Sunda (kropak 420) dengan naskah Jatiraga
(kropak 422). Menurut penjelasannya, berkaitan dengan adanya jalan ideal yang menghubungkan bumi sakala (alam dunia) dengan buana niskala dan buana jatiniskala,
maka dalam naskah lontar Kropak 420 diutarakan secara panjang lebar
tentang ciri-ciri dan sifat kehidupan di bumi sakala. Sedangkan dalam
Koropak 422 di kemukakan ciri-ciri dan sifat kehidupan di buana niskala
dan buana jatiniskala yang menggiring manusia agar memilih jalan ideal
yang lurus menuju buana niskala yang berupa surga yang menyenangkan,
bahkan menempatkan buana jatiniskala di derajat yang paling tinggi. Dengan demikian, rasanya kurang lengkap jika membaca naskah Kosmologi Sunda tanpa membaca Jatiraga.
Naskah-naskah yang berhubungan dengan Kosmologi Sunda, selain bersumber dari kedua naskah diatas, dapat ditemukan dari naskah lain. Naskah-naskah dimaksud, antara lain :
(1) Sewakadarma (dibuat tanpa tahun penulisan, namun menyebutkan naskah Jatiniskala)
(2) Serat Dewabuda (ditulis tahun 1435 dan tidak menyebutkan naskah lain) ;
(3) Jatiniskala (ditulis tanpa tahun dan tidak menyebut naskah lainnya) ;
(4) Kawih Paningkes (ditulis tanpa tahun, tidak menyebut naskah lain) ;
(5) Sanghyang Siksa Kandang Karesyan (ditulis pada tahun 1518, antara lain menyebut Sang Sewakadarma, naskah ini lebih muda dari nakah Sewakadarma) ;
(6) Carita Parahyangan (ditulis tahun 1580, antara lain menyebutkan Sanghyang Siksa, naskah ini lebih muda dari naskah Sanghyang Siksa) ;
(7) Carita Purnawijaya, Kropak
413 dan 423. Kedua manus krip daun lontar ini dianggarkan berasal dari
abad ke-17 Masehi dan disimpan di perpustakaan nasional.
Naskah-naskah
diatas menjelaskan tentang perjalanan atma atau jiwa manusia yang telah
lepas dari jasad (kurungan) atau mengenai kaleupasan-kalepasan, moksa.
Naskah-naskah dimaksud membagai dua bagian pembahasannya, yakni
persiapan ketika jiwa menghadapi maut dan peralihan jiwa ke dunia gaib,
serta perjalanan jiwa sesudah meninggalkan jasad.
Sedangkan naskah PURNAWIJAYA menjelaskan tentang alam naraka. Memang
naskah seperti SEWAKADARMA menunjukkan ada pengaruh aliran Trantayana
yang berkembang di tatar Sunda waktu itu, menampilkan campuran aliran
Siwa dhanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan
nama agama Budha Mahayana, bahkan penulis menemukan kitab ini masih
digunakan saudara-saudara kita di Bali. Namun unsur agama Pribumi (Sunda) sudah digunakan, seperti nampak adanya istilah Hyang yang dibedakan dari istilah dewa.
NASKAH KAWIH PANINGKES atau Panikis memperlihatkan telah
bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata, sri, mahayoga dan
moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu dan Budha dengan
istilah pohaci, wirumananggay, kahiyangan, sanghiyang dan puhun, bahkan
pada masa disusunnya naskah Kawih Paningkes, ageman Sunda Buhun sudah
mendominasi ajaran-ajaran tersebut.
Etika ini
berhubungan pula dengan isi naskah selanjutnya, tentang kewajiban dan
strata manusia dan para dewa, semua harus berbakti kepada Batara Niskala (Tuhan YME) sebagai Yang Hak dan Yang Wujud, sebagaimana yang telah ditentukan sejak penguasa alam menyempurnakan mayapada.
Menurut buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat (1983-1984) disebutkan: Dewa-dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Siwa dan lain-lainnya tunduk kepada Batara Seda Niskala (Tuhan YME).
Dialah penguasa alam, nu ngretakeun bumi niskala (yang mengatur dunia
gaib). Jika saja disebutkan ada pengaruh agama Hindu didalam keyakinan
urang Sunda, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa akhli, ada
baiknya jika meninjau pendapat Wangsakerta (1677) maupun Pleyte (1905).
Keduanya menjelaskan, bahwa agama Hindu pada masa itu hanya berlaku
(dianut) oleh lingkungan keraton dan para pejabatnya, sedangkan rakyat
kebanyakan, atau masyarakat Sunda buhun, tetap setia menganut agama
ajaran leluhurnya. Hanya saja pada masa Pajajaran raja dan rakyat
sudah berpadu, ngegem ajaran Sunda Wiwitan atau Jati Sunda, yang
diistilahkan Purbatisti-Purbajati. Tak heran jika Pajajaran sangat
membekas didalam paradigma masyarakat Sunda sampai sekarang,
dibandingkan dengan kerajaan lainnya.
JAGAT RAYA
Menurut Edi S. Ekadjati di dalam Islam jagat raya terdiri dari lima alam, yaitu alam roh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, dan alam akhirat. Didalam
Islam alam roh dan alam rahim yang merupakan alam gaib menjadi tempat
kehidupan manusia sebelum lahir kedunia (alam dunia), sementara alam
barzah dan alam akhirat yang juga merupakan alam gaib menjadi tempat
kehidupan manusia sesudah mengalami kematian. Kehidupan manusia di alam
dunia sangat menentukan kehidupannya di alam kubur dan alam akhirat.
Kosmologi menurut konsep Islam didasarkan pada kronologis kehidupan
manusia (dan makhluk lainnya).
Adpun naskah Kosmologi Sunda dan Jatiraga, sebagaimana ditulis oleh Undang A Darsa dan Edi S. Ekadjati (2006), membagi jagat raya menjadi 3, yaitu :
1. SAKALA :
Dunia
nyata dihuni oleh berbagai mahluk yang memiliki jasmani dan rohani.
Mereka disebut manusia, hewan, tumbuhan, serta benda-benda lain yang
dapat dilihat, bergerak dan yang diam.
2. NISKALA :
Dunia
gaib, dihuni oleh berbagai makhluk yang tak berjasad, seperti
dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, jiwa-jiwa orang yang sudah
meninggal, sorga dan neraka. Makhluk-makhluk tak berjasad tersebut
diantaranya dewa-dewi dalam panteon Hindu dan Budha serta panteon Sunda
Buhun. Hal ini sebagaimana disebutkan didalam naskah PANIKIS, yang
memperlihatkan telah bercampurnya isitilah-istilah seperti dewa, dewata,
sri, mahayoga dan moksa yang biasa digunakan dalam istilah agama Hindu
dan Budha dengan istilah pohaci, wirumananggay, kahiyangan, sanghiyang
dan puhun.
Jika manusia terbawa angkara murka maka akan kembali ke alam niskala
sebagai penghuni neraka. Namun jika menurut aturan para dewa penjaga
neraka mendapat keringanan, maka harus reinkarnasi kembali ke alam sakala.
Hal ini disebutkan pula didalam NASKAH SEWAKADARMA yang disusun oleh seorang pertapa perempuan, bernama BUYUT NI DAWIT,
yang bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana Gunung Kumbang,
diperkirakan disusun sebelum dibuatnya naskah Sanghyang Kandang Karesyan
(1518 M). Menurut Ayatrohaedi (2003) dalam tulisan Nganjang Ka
kalenggangan, menyebutkan, bahwa :
Diatas Kahyangan
kelima Dewata (Isora, Brahma, Maha dewa, Wisnu, Siwa) terdapat kahyangan
Sari Dewata dengan Ni Dang Larang Nuwati sebagai penghuninya, yang pada
saat hidup di dunia telah berikrar tidak akan kawin untuk mengabdikan
diri kepada agama. Namun karena ikrarnya itu, karena kesedihannya, maka dia tidak dapat menempati surga tertinggi.
Setingkat diatas kahiyangan Nuwati, terletak Kahyangan Bungawari,
disitulah tempat tinggal Pwah Sanghyang Sri (Dewi Padi), Pwah Naga
Nagini (Dewi Bumi), dan Pwah Soma Adi (Dewa Bulan). Disitulah batas
kehidupan Surgawi (sorga tingkat tertinggi).
Namun suatu hal yang perlu dipahami pula, bahwa yang dimaksud kahyangan atau kasorgaan ini bukanlah alam tertinggi, melainkan alam NISKALA.
3. JATINISKALA
Alam Jatiniskala atau kemahagaiban sejati, dihuni oleh Dzat Yang Maha Tunggal (Tuhan YME), dinamakan
pula Sang Hyang Manon, atau Dzat Yang Maha Pencipta disebut Si
Ijujatinistemen, pencipta batas tetapi tak terkena batas. Dunia berada
dalam Dzat nya.
Alam Jatiniskala bukanlah alam kasorgaan sebagaimana yang disebutkan dalam naskah KOSMOLOGI SUNDA, atau alam surgawi sebagaimana disebutkan dalam naskah SEWAKADARMA, dan batas kehidupan surgawi bukan batas akhir dari jagat raya, karena bagi
sang Atma yang mendapat gemblengan Sewakadarma tidak hanya berhenti
sampai di batas sorga, melainkan mampu memasuki bumi kancana, karena disitulah terletak Jatiniskala,
tempat kegaiban yang sejati, keadaan serba cerah dalam keheningan yang
mutlak. Disitulah tempat keabadian, telah lepas melampaui semua
kehidupan dan penghuni alam sakala dan niskala.
Urang Sunda Buhun sangat tegas membedakan antara Surga tempat bermukim para dewa dan Kahyangan tempat keberadaannya Hyang, sebagaimana yang ditulis didalam Sang-hyang Kandang Karesyan, masuk surga disebutnya munggah, sedangkan masuk kahiyangan disebut moksa. Artinya surga adalah tempat sementara, sedangkan kahiyangan atau alam Jatiniskala inilah tempat yang abadi.
Naskah ini menuliskan, :
“......
Inilah keinginan manusia ...... ; yun sementara berarti menginginkan
surga, akan kembali menemui dunia, dan yun terhindar berarti ingin
mencapai moksa, tidak mau terbawa menjadi penghuni surga. Demikianlah
keinginan manusia. (.... Ini kahayang janma ...; yun munggah ma ngaranna
hayang sorga, mumul munggah mumul mang gihkon bwana; yang luput
ngaranna hayang moktsa; mumul kabawa ku para sarga. Na mana sakitu kaha
yang janma saenyana)”. (Ayatrohaedi, 2003).
Alam Jatiniskala digambarkan
suka tanpa mengenal duka, kenyang tanpa mengenal lapar, hidup tanpa
mengenal mati bahagia tanpa mengenal nestapa, baik tanpa mengenal buruk,
pasti tanpa mengenal kebetulan, moksa lepas tanpa mengenal ulangan hidup (reinkarnasi).
Keterangan dari naskah Sewaka Darma di atas tidak jauh berbeda dengan
keterangan dari naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesiyan, terutama
kaitannya dengan keinginan manusia untuk memasuki alam Jatiniskala, yakni :
“Jika
meninggal sukmanya akan menemui kemuliaan dan kebahagiaan, mengalami
siang tanpa malam, suka tanpa duka, kemuliaan tanpa kenistaan, senang
tanpa menderita, indah tanpa wujud, menjadi hyang tanpa kembali menjadi
dewa. Itulah yang disebut parama lenyep (kesadaran utama)”.
TUTUR TINULAR
Susunan Jagat raya didalam Keyakinan Masyarakat Baduy tidak terlepas dari kisah perjalanan manusia melalui tiga buana (alam), yakni : buana handap atau panca tengah, buana rarang dan berakhir di buana luhur (buana atas).
Istilah buana menunjukan ruang kehidupan sangat luas yang harus dilalui
setiap manusia. Manusia dilahirkan ke buana panca tengah untuk
mengembara (ngumbara) dan belajar, apakah akan menemukan kesenangan,
bahagia atau sengsara di kelak kemudian hari.
Masyarakat
Baduy menyebut juga dunia panca tengah termasuk sorga jeung naraka
(surga dan neraka), dan tempat kehidupan makhluk dan tanaman. (Garna : 1988).
Pandangan
masyarakat Baduy merujuk kedalam pandangan terpusat, sehingga mengangap
dunia terbagi dua bagian, yakni masyarakat Baduy sebagai masyarakat
sakral yang diberi tugas untuk mengelola Sasaka, serta masyarakat luar
Baduy, sebagai masyarakat yang profan (tidak sakral/kudus atau tidak
berhubungan dengan agama) mengelola nagara telung puluh telu,
pancasalawe nagara.
Keyakinan ini nampak pula dalam ungkapan :
Satangkubeun langit
Langit nu nuruban
Satangkarak ning lemah
Dunya nu nangkarak Menelungkupnya langit
Langit yang menutupi
Membentangnya tanah
Dunia yang membentang
Menurut Engkus Ruswana, salah satu tokoh penganut ajaran
Sunda Wiwitan mengemukakan, bahwa: Gambaran jagat raya terungkap dalam
Pantun Langgasari Kolot, yang menyebut tiga alam atau tiga buana, yakni :
1. Buana Nyungcung, yaitu tempat bersemayamnya Sang-Hyang Keresa (Tuhan YME).
2. Buana Pancatengah tempat berdiamnya manusia dan mahluk lainnya.
3. Buana Larang atau neraka.
Diantara Buana Nyungcung dan Buana Pancatengah terdapat 18 lapisan alam atau Mandala, yang dilalui Manusia setelah meninggal dunia. Tingkatan alam tersebut sebagai berikut:
1. Bumi Suci alam Padang.
2. Sang Hyang burung ribut.
3. Sang Hyang Sorong Kancana
4. Bumi cengcerengan.
5. Bumi Putih.
6. Bumi Hawuk.
7. Bumi koneng.
8. Bumi Hejo.
9. Bumi Hideung.
10. Bumi Beureum.
11. Bumi Pohaci, kerepek seah patapan Hujan.
12. Paguruh Paguntur Patap an Gugur.
13. Mega Siantrawela.
14. Mega Sikareumbingan.
15. Mega Sikarambangan
16. Mega beureum.
17. Mega Malang.
18. Mega Manggul
DALAM TRADISI PERPANTUN BOGOR
Didalam
tradisi para perpantun Bogor mengenal adanya proses kehidupan manusia
yang harus melalui sembilan alam (mandala), sejak di dunia fana dan alam
baka. Kesembilan mandala tersebut adalah:
1. Mandala Kasungka ;
2. Mandala Parmana ;
3. Mandala Karna ;
4. Mandala Rasa ;
5. Mandala Seba ;
6. Mandala Suda ;
7. Jati Mandala ;
8. Mandala Samar ;
9. Mandala Agung.
Sejak
dari Jati Mandala maka wilayah tersebut sudah termasuk Mandala
Kasucian, tempat berdiamnya para Karuhun (leluhur) yang sudah mencapai
alam kasucian.
Tahapan Mandala ini dikisahkan, sebagai berikut :
- Ari Panjangnya Jaman. Nurutkeun tahapan Mandala; jeung ti hiji mandala deui anggangna teh hanteu saruwa ... !. Kabehna Mandala saloba salapan !
- Nahap Ngundak ti handap anu disebut Mandala Kasungka. Laju nahap di Mandala Parmana. Laju nahap di Mandala Karna; Laju di Mandala Rasa .. unggah di Mandala Seba; unggah deui di Mandala Suda ... !
- Dimandala Suda kumpul karuhun-karuhun anu meunang pulang anting ka jagat ieu; di lebah perelu .... meunang ngarupa cara manusa. Tapi ngan nyawarakeuna rasa manusa ........ ! atawa nyawara tanpa rupa !.
- Anggeus Mandala Suda, laju: Mandala anu nahap kana alam kasucian; nyaeta anu disebut Mandala Padumu kan para Karuhun dina ngaran: Jati Mandala .... ! lain Mandala Jati .... tapi Jati Mandala ..... ! Nya didinya ayana Paseban Pangauban paranti kumpul para Karuhun anu geus diwenangkeun bisa turun deui ngalongok manusa ieu jagat bari ngarupa jeung nyawara. Nya tonggoheun eta paseban ayana: Papanggungan Bale Agung. Paranti Karuhun narang gowan giliran mudu Nitis ....!
- Saruhureun Jati Mandala, nyaeta Mandala Samar tea ........ ! Tonggoheun enggon Karuhun aya tilu enggon anu sajajar. Nu ditengah: paranti Sanghiyang Guru ...... anu disebut Sanghiyang Guriang Tunggal. Anu dikenca paranti Sanghiyang Wenang. Enggon anu beulah katuhu paranti Sanghiyang Wening. Tonggo heun enggon tengah aya deui enggon paranti Sanghiyang Kala, nya Dewa nya Batara ..... !
- Saruhureun eta kabeh Mandala tadi, aya deui Mandala anu ti Mandala samar bae, anggangna teh: Duwa Puluh Salapan Jaman Satengah .... ! nya eta Mandala anu disebut Mandala Agung tea ... ! nya di dinya ayana: Sanghiyang Tunggal ... anu Nunggal di sakabeh Alam jeung sakabeh Jagat.
Sukma atau roh manusia berasal dari Buana Nyungcung (Kahyangan) atau tempatnya Sang-Hyang Tunggal (Tuhan YME). Jika roh manusia telah selesai menjalankan tugas hidup dan kehidupannya di Buana Pancatengah, maka sukma harus kembali ke Kahyangan (Tuhan YME). Sukma dahulu turunnya dari Kahyangan dalam keadaan baik maka kembalinyapun harus baik pula, namun jika sukma tersebut kotor maka kembalinya ke Buana Larang atau neraka. Baik buruknya sukma sangat tergantung kepada amal perbuatan sewaktu berada di Buana Panca tengah.
Teks buhun umumnya mengabarkan cita-cita urang sunda buhun jika meninggalkan alam dunya yakni “balik ka Hyang lain ka Dewa”. Namun yang menentukan tempat seseorang sesudah kematian adalah sikap, perilaku, dan perbuatan selama hidup di dunia. Jika
sikap, perilaku dan perbuatannya buruk dan bertentangan dengan ajaran
agama, maka akan masuk kedalam siksa neraka, hingga mendapat keringanan
dan kemudian akan dilahirkan kembali (reinkarnasi) ke alam dunia. Jika sikap, perilaku, dan perbuatannya baik, maka rohnya akan naik menuju alam niskala yang menyenangkan (surga).
PENCIPTAAN BUMI (Dijelaskan pada bag. ke-2).
menambah wawasan sekali kak
BalasHapuscasing sosis halal