Marilah kita lanjutkan cerita tentang leluhur bangsa
Nusantara yang telah saya jelaskan dalam Kisah Zaman Awal Peradaban Bangsa Bumi. Dalam
kisah sebelumnya telah dijelaskan bahwa zaman Dwapara Yuga (diperkirakan
terjadi pada tahun 8.984 SM), ditandai dengan kelahiran Sang Avatar Sri
Krishna. Pada zaman itu, dikisahkan terdapat sebuah bangsa besar bernama bangsa
Bharata dengan kerajaannya bernama Hastina (diceritakan dalam kitab Mahabharata). Wilayah kerajaan Hastina diperkirakan mencakup wilayah India sebagai pusat kerajaannya, dan
membentang luas hingga ke wilayah Nusantara (sekarang).
Dalam perkembangannya, kerajaan Hastina ini terpecah menjadi dua, akibat pertikaian antara para Kurawa dan para Pandawa yang masih bersaudara. Pihak Pandawa yang seharusnya menjadi pewaris tahta kerajaan Hastina, diperdaya oleh pihak Kurawa (dengan akal licik Patih Sengkuni), sehingga mereka hanya mendapatkan hak kekuasaan atas tanah yang sebagian besar wilayahnya merupakan hutan belantara (dikenal sebagai hutan Kandawa). Nah, tanah hutan belantara yang diserahkan kepada pihak Pandawa inilah yang selanjutnya dibangun oleh pihak Pandawa menjadi sebuah kerajaan besar, makmur dan berperadaban tinggi bernama Indraprasta, dimana wilayahnya berlokasi di Nusantara (sekarang). Diduga kerajaan Hastina dan Indraprasta inilah yang oleh Plato disebut sebagai negara Atlantis sebagaimana yang dijelaskan pada catatannya sebagai berikut:
“Negeri Atlantis dikelilingi oleh pegunungan, dan lebih tinggi dari permukaan laut. Mengandung gunung berapi, dan sering terkena gempa dan banjir. Gunungnya mengandung emas, perak, tembaga, dan timah, dan gabungan alami dari emas dan tembaga yang disebut orichalcum”.
Namun sayangnya kerajaan Hastina dan Indraprasta yang makmur dan beperadaban tinggi tidak berlangsung lama karena terjadi perang Bharata Yudha, antara pihak Pandawa (kerajaan Indraprasta) dan pihak Kurawa (kerajaan Hastina) yang melibatkan senjata berteknologi tinggi (senjata sejenis nuklir). Paska Perang Baharata Yudha, baik kerajaan Hastina maupun Indraprasta kedua-duanya mengalami kerusakan yang parah akibat penggunaan senjata pemusnah massal, dan paparan debu radio aktif yang telah membinasakan sebagian penduduknya dalam area yang luas.
Paska Perang Bharata Yudha, kerajaan Hastina dan Indraprasta selanjutnya disatukan di bawah kekuasaan Pandawa sebagai pihak pemenang, dengan pusat kerajaannya di Indraprasta (Nusantara). Pandawa bersama sesepuh bangsa Bharata juga memutuskan untuk menghancurkan segala jenis senjata pemusnah massal dan tidak lagi mengembangkan iptek, karena menyadari akibatnya yang berujung pada peperangan.
Paska perang Bharata Yudha, dikisahkan Prabu Yudistira (Pandawa) tidak lama memerintah di kerajaan Hastina dan Indraprasta, karena mereka memutuskan untuk mundur (mandeg pandito), dan menyerahkan tahta kerajaan kepada Parikesit (cucu Arjuna). Setelah Prabu Parikesit, kerajaan Hastina dan Indraprasta masih berlangsung selama 3 (tiga) generasi lagi, yakni: Prabu Yudayana, Prabu Yudayaka, dan Prabu Gendrayana sebagai raja terakhir (diperkirakan terjadi sekitar 8.900-8.800 SM).
Pada masa pemerintahan Prabu Gendrayana inilah terjadi peristiwa gempa bumi dan letusan gunung berapi yang dahsyat, sehingga mengakibatkan tsunami dan banjir besar yang menenggelamkan pusat kerajaannya di Indraprasta (Nusantara). (diperkirakan terjadi sekitar 8.800 SM). Peristiwa banjir besar ini diperkirakan dipicu juga oleh terjadinya pemanasan global dampak Perang Bharata Yudha, yang menyebabkan pencairan es di Kutub Utara dan Selatan, atau disebut oleh para ilmuwan sebagai periode akhir zaman Es, dan mengakibatkan kenaikan muka air laut setinggi lebih dari 100 m. Pusat kerajaan Indraprasta (Atlantis) diperkirakan berlokasi di sekitar Laut Jawa dan selat Karimata, dan sebagian lagi berpendapat berlokasi di Selatan Pulau Bali.
Dalam catatannya Plato mengisahkan “Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam”.
Dalam peristiwa ini, pusat peradaban bangsa Atlantis di Nusantara, berikut bangunan-bangunan berteknologi tinggi tenggelam ke bawah permukaan air laut. Sedangkan bangunan berteknologi tinggi lainnya yang tersisa pada wilayah daratan, sejalan dengan waktu, dan akibat bencana letusan gunung berapi yang kerapkali terjadi di wilayah Nusantara, menjadi ikut terkubur di bawah permukaan tanah. Dalam hal ini, Bangunan situs Gunung Padang, di Cianjur diduga merupakan salah satu bangunan yang tersisa dari peradaban Atlantis (Bangunan ini diperkirakan berusia 10.000 tahun).
Sebagian besar penduduk kerajaan Atlantis (di Nusantara) mengungsi/eksodus dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penduduk Atlantis yang eksodus ini selanjutnya menjadi cikal bakal dari perkembangan budaya dan iptek yang ada di wilayah Mesopotamia/Sumeria (5.500-2.500 SM), Mesir Kuno (3.150 SM), India Kuno (2.800-1.800 SM), yang oleh sebagian para ilmuwan sebagai kebudayaan tertua di dunia. Adapun sisa-sisa penduduk Atlantis yang masih bertahan di wilayah Nusantara, menyebar menuju wilayah daratan (pulau-pulau) yang tidak tenggelam, dan saat ini dikenal sebagai Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.
Kisah selanjutnya, yang mungkin masih menjadi tanda tanya dari pembaca adalah perihal awal dari munculnya kembali kerajaan di Nusantara.
Berdasarkan beberapa narasumber menyatakan bahwa sejak periode 8.800 SM hingga sekitar 5.000 SM, belum ada sebuah kerajaan yang muncul di wilayah Nusantara. Periode selama sekitar 3.800 tahun ini disebutkan sebagai masa perenungan dari sisa-sisa bangsa Atlantis di Nusantara. Mereka bepegang teguh untuk tidak lagi mengembangkan iptek dan berpedoman hidup untuk selaras dengan alam, atau dalam istilah sekarang dikenal sebagai “Back to nature”, serta berfokus pada pendekatan diri kepada Tuhan YME (spiritual).
Kemudian pada periode tahun 5.000 SM, dikisahkan muncul kembali raja pertama di Nusantara bernama Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya, dengan pusat kerajaannya di daerah yang saat ini disebut dengan Parahyangan. Adapun arti kata Parahyangan sendiri terdapat beberapa penafsiran, pertama yaitu Pa = tempat; Ra = Cahaya (Sinar); Hyang = Tuhan; kedua yaitu Pa berasal dari singkatan nama Parikesit cucu dari Arjuna; RaHyang = Raja pandita (raja yang juga merupakan Guru Spiritual). Disebutkan bahwa Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya adalah turunan ke-55 dari Prabu Gendrayana (buyut dari Prabu Parikesit).
Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya selanjutnya berputra Maha Ratu Resi Prabu Sindhu LaHyang. Prabu Sindhu inilah yang menyebarkan ajaran SUNDAYANA (ajaran dari Sang Avatar Sri Krishna) hingga menjadi agama utama di seluruh kerajaan Nusantara. Beberapa narasumber menyatakan bahwa Prabu Sindhu disamping sebagai raja, beliau juga seorang Guru Spiritual (Ratu Pandita), dan ada juga yang menyebutkan bahwa beliau adalah nabi yang diutus Tuhan YME. Ajaran Prabu Sindhu (SUNDAYANA) hingga saat ini sebagian masih melekat pada ajaran/agama asli leluhur Nusantara (sebelum kedatangan agama Hindu dari India), antara lain: ajaran Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu Bali, serta beberapa aliran kepercayaan yang ada di Pulau Jawa, Bali, dan wilayah lainnya di Nusantara.
Tidak hanya di Nusantara, Prabu Sindhu juga menyebarkan ajaran SUNDAYANA hingga ke negeri Jepang, dan ajarannya diberi nama Sinto, kemudian juga ke India dengan nama ajaran Shindu dan kemudian berganti nama menjadi Hindu. Dengan demikian terdapat kekeliruan sejarah yang selama ini diajarkan di sekolah, bahwa sesungguhnya asal dari agama Hindu bukan dari India, melainkan dari negeri kita ini (Nusantara). Oleh karena itulah, agama Hindu yang ada di Indonesia (misal Hindu Bali) tidak sama dengan agama Hindu yang ada di India. Demikian juga apa yang disebut sebagai agama Hindu yang banyak dianut masyarakat pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu tidak sama dengan agama Hindu yang ada di India.
Demikianlah kisah kerajaan di Nusantara pada tahun 5.000 SM hingga awal zaman Kaliyuga (224 SM). Sebagian berpendapat, bahwa bentuk kerajaan pada masa itu tidak sama dengan bentuk kerajaan secara umum. Karena kerajaan di Nusantara pada masa itu mirip sebagai padepokan atau pusat kegiatan pendidikan spiritual yang mendunia. Sebagai kerajaan yang dihormati oleh seluruh bangsa-bangsa dan raja-raja di seluruh dunia. Bahkan dikisahkan, bahwa semua raja di seluruh dunia perlu mendapat restu dan dilantik oleh raja Nusantara yang disebut sebagai Ratu Pandita. Dan ada yang menyebutkan bahwa tempat pelantikan para raja di seluruh dunia ini, berlokasi di situs Gunung Padang, Cianjur (saat ini)?
Selanjutnya pada awal zaman Kaliyuga, periode awal tahun Masehi dikisahkan lagi bahwa wilayah Nusantara dipimpin oleh seorang raja agung nan bijaksana bernama Prabu Angling Darma, yang dikenal juga oleh masyarakat Jawa Barat sebagai Aki Tirem Luhur Mulya. Beberapa narasumber kami menyatakan bahwa Prabu Angling Darma ini adalah turunan ke-70 dari Prabu Sindhu LaHyang. Dengan demikian, bila silsilahnya ditelusuri lebih jauh akan sampai ke Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit).
Hal yang unik adalah perihal makam Prabu Angling Darma yang diakui berada di 4 (empat) lokasi, yaitu: di Cihunjuran (Banten), Sumedang (Jawa Barat), Pati (Jawa Tengah), Bojonegara (Jawa Timur). Bila kita mengacu pada kisah sebelumnya, bahwa pusat kerajaan Nusantara yang dipimpin oleh Prabu Sindhu berlokasi di daerah Parahyangan, maka silakan pembaca memperkirakan sendiri dimana lokasi sebenarnya dari makam Prabu Angling Darma!!!. Terdapatnya pengakuan dan cerita masyarakat di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa) tentang Prabu Angling Darma, menunjukkan bahwa sesungguhnya wilayah kekuasaan Prabu Angling Darma atau Aki Tirem paling tidak meliputi wilayah seluruh Pulau Jawa, bahkan mungkin meliputi seluruh wilayah Nusantara, karena beliau adalah generasi penerus dari Prabu Sindhu yang merupakan Ratu Pandita yang dihormati oleh para raja di seluruh dunia.
Sebagai generasi penerus Prabu Sindhu, diperkirakan Prabu Angling Darma juga merupakan seorang Ratu Pandita (raja sekaligus pimpinan spiritual), sehingga bentuk kerajaannya tidak sama dengan kerajaan secara umum, namun lebih mirip sebagai padepokan atau pusat kegiatan pendidikan spiritual. Oleh karena itulah, dalam Naskah Wangsakerta, Aki Tirem atau Prabu Angling Darma tidak disebut sebagai raja, namun disebut sebagai Penghulu.
Pada masa pemerintahan Prabu Angling Darma inilah dimulai berdirinya kerajaan pertama di Nusantara (dalam arti bentuk kerajaan secara umum) bernama Salakanagara. Dalam Naskah Wangsakerta, disebutkan bahwa Salakanagara merupakaan kerajaan tertua di Nusantara, yang berdiri tahun 130/131 M dengan raja pertamanya bernama Dewawarman I, dan pusat kerajaannya (ibu kota) di Rajatapura yang terletak di pesisir Barat Pandeglang (saat ini). Dikisahkan bahwa Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat bernama Aki Tirem Luhur Mulia atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Angling Dharma dalam nama Hindu dan Wali Jangkung dalam nama Islam.
Kerajaan Salakanagara disebutkan dalam catatan Cina sebagai kerajaan Koying yang ditulis oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po. Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau.
Gambaran tentang kerajaan Koying ini dalam catatan Cina sama dengan kondisi ibukota kerajaan Salakanagara, yaitu Rajataputra. Penamaan Koying dalam catatan Cina diduga merupakan singkatan dari Ka dan Yin. Ka = gunung Karang (di daerah Pandeglang); Yin = sebelah selatan lereng gunung. Contoh: Huayin, artinya di sebelah utara/selatan gunung Hua. Dan memang Rajataputra ibukota Salakanagara terletak pada lereng selatan gunung Karang (di daerah Pandeglang dan merupakan gunung berapi). Baca perihal penggunaan nama Yin pada suatu tempat di https://id.wikipedia.org/wiki/Yin_dan_Yang.
Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah siapakah sebenarnya Dewawarman I yang disebutkan dalam Naskah Wangsakerta? Beberapa narasumber kami menyatakan bahwa beliau tidak lain adalah Aji Saka yang juga dikenal dan banyak diceritakan oleh masyarakat baik di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Adapun yang masih rancu dalam sejarah adalah perihal silsilah Prabu Angling Darma yang disebutkan sebagai putra dari Prabu Jayabaya (Kerajaan Kediri). Bagaimana mungkin Prabu Jayabaya yang lahir tahun 1.135 M wafat tahun 1.179 M, melahirkan anak yang lahir pada periode sekitar awal tahun masehi ?
Bagaimanapun perihal silsilah Prabu Jayabaya yang menyebutkan beliau adalah keturunan Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit) mungkin ada benarnya. Karena sesungguhnya semua raja di Nusantara, termasuk Prabu Jayabaya adalah keturunan dari Dewi Pwahacaci Larasati (putri Prabu Angling Darma), keturunan dari Prabu Sindhu La Hyang, dan keturunan dari Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit), dan juga keturunan dari Aji Saka (Dewawarman I) atau menantu Prabu Angling Darma yang menjadi raja pertama kerajaan Salakanagara.
Hal yang selanjutnya mungkin menjadi pertanyaan pembaca adalah siapakah sesungguhnya Aji Saka? Mengapa Prabu Angling Darma yang sudah memiliki kekuasaaan luas di pulau Jawa bersedia menikahkan putrinya Dewi Pwahaci Larasati kepada seorang pendatang yang hanya seorang pedagang/perantau dari negeri Pallawa, dan menjadikannya raja Salakanagara?
Beberapa narasumber kami menyatakan, bahwa ini disebabkan oleh masih adanya kekerabatan (tali persaudaraan) antara Aji Saka dengan Prabu Angling Darma. Bila dirunut jauh silsilah dari Aji Saka sesungguhnya adalah turunan dari Nabi Ishak a.s. bin Nabi Ibrahim a.s. Lihat juga https://kanzunqalam.com/2011/05/09/legenda-ajisaka-mengungkap-zuriat-nabi-ishaq-di-nusantara/
Saka sering disebutkan juga sebaga bangsa Scythian atau Sacae, yang merupakan keturunan dari 10 suku Israel yang hilang. Sebagaimana sumber yang dikutip sebagai berikut:
“Nama Abraham dan Ishak akan terus disebut dimanapun mereka bermukim, Brahman dan Saka misalnya. Hal Ini juga tercantum dalam Injil Perjanjian Lama, bahwa keturunan Abraham akan terindikasi dari keturunan (=nama) Ishak (Kejadian 21:12) .....nama nenek dan bapaku, Abraham dan Ishak, termasyhur oleh karena mereka dan sehingga mereka bertambah-tambah menjadi jumlah yang besar di bumi. (Kejadian 48:16)”.
Demikianlah, sesungguhnya Aji Saka adalah turunan langsung dari Nabi Ishak a.s. bin Nabi Ibrahim a.s. yang menetap di negara Pallawa (Bharata) India.
Pertanyaan selanjutnya, lantas apa hubungan tali persaudaraan Prabu Angling Darma dengan Aji Saka?
Masih berdasarkan narasumber yang sama menyatakan, bahwa paska tengelamnya pusat Kerajaan Hastina dan Idraprasta (di Nusantara), salah seorang putera dari Prabu Gendrayana ada yang ikut mengungsi (eksodus) ke wilayah Mesopotamia/ Summeria dan menjadi leluhur dari Nabi Ibrahim a.s. Hal ini adalah sesuai dengan catatan saya tentang Sejarah Agama (Bagian-2) yang menyatakan bahwa kebudayaan Sumeria yang merupakan evolusi dari kebudayaan Samarra berasal dari Nusantara (penduduk Nusantara/ Atlantis yang eksodus). Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa temuan dan hasil penelitian yang ada.
Dalam catatan saya tentang Sejarah Agama (bagian-2) juga disebutkan bahwa leluhur Nabi Ibrahim a.s di wilayah Mesopotamia/Summeria pada awalnya beragama SUNDAYANA, yang merupakan ajaran monotheisme (percaya pada Tuhan YME) dan disebarkan oleh para murid Prabu Sindhu. Bukti peninggalan ajaran SUNDAYANA di Timur Tengah dapat dijumpai hingga saat ini dalam bentuk Kuil dan bangunan-bangunan suci yang bercirikan simbol Matahari dan Bulan (Surya dan Chandra). Namun seiring dengan perjalanan waktu (dari periode zaman Prabu Sindhu sekitar tahun 5.000 SM hingga tahun kelahiran Nabi Ibrahim a.s yaitu sekitar tahun 1.997 SM) atau dalam rentang waktu sekitar 3.000 tahun, agama SUNDAYANA ini telah banyak menyimpang. Masyarakat Mesopotamia/ Summeria pada zaman Nabi Ibrahim a.s. percaya kepada banyak Dewa, dan menyembah berhala seperti dijelaskan dalam kitab suci Al Qur’an.
Hingga akhirnya Tuhan YME mengutus Rasul-Nya Nabi Ibrahim a.s. untuk mengembalikan ajaran yang lurus dan bersumber langsung dari Tuhan YME. Kisah tentang Nabi Ibrahim a.s dapat dibaca dalam Kitab Suci Al Qur’an dan Kitab Injil (Perjanjian Lama). Selanjutnya, dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim a.s berputra Nabi Ishak a.s. dan Nabi Ismail a.s. Nabi Ishak a.s. berputra Nabi Yakub a.s., dan Nabi Yakub a.s berputra 12 (dua belas) orang, salah satunya adalah Nabi Yusuf a.s.
Dari putra Nabi Yakub a.s ini selanjutnya menurunkan bangsa/bani Israel dan membentuk negara Israel, yang pada awalnya terdiri dari 12 (dua belas) suku, sesuai jumlah putra dari Nabi Yakub a.s. Seiring dengan perjalanan waktu, selanjutnya negara Israel ini pecah menjadi 2 (dua) bagian, yaitu negara Israel Utara (keturunan dari 10 suku bani Israel, termasuk turunan dari Nabi Yusuf a.s.), dan negara Israel Selatan (keturunan dari 2 suku bani Israel, yakni Yehuda dan Benyamin, dan dikenal juga sebagai orang Yahudi).
Negara Israel Utara selanjutnya diserbu oleh kerajaan Asyur, sebagian penduduknya diangkut sebagai tawanan, dan sebagian lagi mengungsi menyebar ke wilayah negara di sekitarnya. 10 suku yang berasal dari negara Israel Utara inilah selanjutnya yang disebut sebagai suku Israel yang hilang, karena keberadaanya sudah sulit diketahui lagi. Adapun kerajaan Israel Selatan juga hancur diserbu oleh kerajaan Babel. Semua penduduknya ditawan, namun mereka masih tetap bersatu sehingga keberadaannya mudah dilacak/ diketahui, dan saat ini dikenal sebagai orang Yahudi.
Adapun Aji Saka yang dikisahkan merupakan seorang pedagang/perantau dari Pallawa (India) adalah keturunan dari 10 suku bangsa Israel yang eksodus dan kemudian menetap di daerah Pallawa (India). Dengan demikian, bila dirunut silsilahnya Aji Saka adalah keturunan dari Nabi Ibrahim a.s. dan bila dirunut lebih jauh lagi, akan berujung pada Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit). Artinya, memang masih ada tali persaudaraan antara Aji Saka (Prabu Dewawarman I) dengan Prabu Angling Darma atau Aki Tirem, karena keduanya adalah turunan dari Prabu Gendrayana.
Hal inilah yang membuat Prabu Angling Darma yang merupakan penguasa kerajaan Nusantara ketika itu, mempercayai Aji Saka untuk menikahi putrinya Dewi Pwahaci Larasati, dan menjadikannya raja di Nusantara, yang kerajaannya diberi nama Salakanagara. Adapun penamaan Salakanagara sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari nama Prabu Sindhu LaHyang yang merupakan leluhur dari Prabu Angling Darma, dan Saka (zuriyat/keturunan Nabi Ishak a.s).
Dari semua penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa Aji Saka atau Dewawarman I yang disebutkan dalam naskah Wangsakerta sebagai raja pertama kerajaan Salakanagara, serta Prabu Angling Darma atau Aki Tirem adalah leluhur dari semua raja di Nusantara. Aji Saka lah yang menurunkan para raja dinasti Warman (Purnawarman di kerajaan Tarumanagara dan Mulawarman di kerajaan Kutai), dan selanjutnya menurunkan para raja di Nusantara (termasuk raja Sriwijaya dan Majapahit). Secara lengkap kisah para raja sejak Dinasti Warman hingga periode Mataram Islam dapat dibaca dalam buku sejarah, atau dalam catatan saya berjudul “Sejarah dan Silsilah Kemaharajaan Sunda Nusantara”.
Demikianlah, kisah awal mula dan silsilah dari leluhur para raja di Nusantara. Semoga kisah ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat Nusantara untuk lebih mengenal jatidiri bangsa ini yang merupakan bangsa yang besar. Karena dari negara kita inilah semua peradaban dunia bermula, termasuk para Nabi dan Rasul bila dirunut silsilahnya akan kembali ke tanah leluhurnya, yakni di bumi Nusantara ini.
Marilah kita sama-sama untuk mengembalikan kejayaan bangsa kita. Janganlah kita menjadi bangsa yang bodoh (belegug) yang mudah dipengaruhi oleh doktrin-doktrin agama yang memecah belah kerukunan bangsa. Ingatlah, bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu !!!, karena bersumber pada Tuhan yang satu. Adapun yang membuat adanya perbedaan, adalah karena faktor manusianya yang salah mengartikan dan memahami ajaran agama yang disampaikan oleh para Nabi/Rasul Allah, dan para Avatar.
Sebagai acuan bagi para pembaca, bahwa untuk membedakan atau mengenal ajaran mana yang sesungguhnya bersumber dari Tuhan YME, hanya satu kuncinya, yaitu pastilah ajaran tersebut memiliki prinsip dasar Kasih Sayang !!!. Oleh karena itulah, dalam setiap surah dalam kitab suci Al Qur’an selalu diawali dengan kalimat “Bismillahirrohmanirrohim”, yang artinya “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Dengan demikian, bila ada pimpinan agama/ulama/pendeta yang menganjurkan kebencian atau permusuhan, dapat dipastikan itu adalah doktrin, dan bukan merupakan ajaran sesunguhnya yang bersumber dari Tuhan YME.
Pada masa lalu, doktrin ini sengaja dimasukkan oleh para pimpinan agama atau para penguasa, yang disebut sebagai ayat-ayat atau hadis-hadis palsu. Mereka juga, mencampur adukkan antara ayat satu dengan ayat lainnya sehingga penafsirannya mennjadi berbeda dengan makna awalnya, bahkan menjadi membingungkan bagi para pembacanya. Mereka sengaja memasukan doktrin tersebut, agar umatnya merasa bahwa ada ancaman terhadap agama mereka, atau dalam istilah politik dikenal sebagai menciptakan “musuh bersama”. Pada gilirannya doktrin ini menjadi alat para penguasa atau pimpinan agama untuk mengumpulkan dana/sumbangan dari masyarakat (umat beragama) yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaanya, dan bahkan digunakan untuk membiayai peperangan dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya.
Bila kita mau berfikir jernih, marilah kita renungkan beberapa pertanyaan berikut:
Apakah mungkin ada ancaman terhadap agama yang sesungguhnya bersumber dari Tuhan YME dan mengajarkan tentang Kasih Sayang???
Apakah benar Tuhan Yang Maha Maha Besar dan Maha Maha Kuasa perlu dibela??? Sementara kita ini hanya sebutir debu yang tidak berarti di hadapan-Nya.
Apakah para Waliyullah di Nusantara zaman dahulu menyebarkan agama Islam melalui peperangan. Jelas tidak!!! Mereka berdakwah dengan mengajarkan perilaku ahlak mulia yang berlandaskan Kasih Sayang.
Bila anda seorang beragama Kristen, kemudian anda diancam akan dipukuli agar berpindah agama menjadi Islam. Apakah anda bersedia pindah agama??? Bila anda merasa tidak takut, jelas akan mengatakan tidak,. Sedangkan bila anda merasa takut disakiti, mungkin saja anda mengatakan bersedia. Namun bersedia sebatas hanya di mulut saja, sedangkan di hati jelas mengatakan tidak. Karena agama adalah masalah keyakinan yang adanya di hati. Dan tidak ada yang dapat menyentuh hati kita, melainkan hanya melalui Kasih Sayang, yang sumbernya berasal dari Tuhan YME sendiri.
Sebagai penutup, marilah kita dengarkan dan saksikan video berikut, agar dapat lebih merasakan kebesaran bangsa Nusantara kita yang tercinta.
- SEKIAN -
Dalam perkembangannya, kerajaan Hastina ini terpecah menjadi dua, akibat pertikaian antara para Kurawa dan para Pandawa yang masih bersaudara. Pihak Pandawa yang seharusnya menjadi pewaris tahta kerajaan Hastina, diperdaya oleh pihak Kurawa (dengan akal licik Patih Sengkuni), sehingga mereka hanya mendapatkan hak kekuasaan atas tanah yang sebagian besar wilayahnya merupakan hutan belantara (dikenal sebagai hutan Kandawa). Nah, tanah hutan belantara yang diserahkan kepada pihak Pandawa inilah yang selanjutnya dibangun oleh pihak Pandawa menjadi sebuah kerajaan besar, makmur dan berperadaban tinggi bernama Indraprasta, dimana wilayahnya berlokasi di Nusantara (sekarang). Diduga kerajaan Hastina dan Indraprasta inilah yang oleh Plato disebut sebagai negara Atlantis sebagaimana yang dijelaskan pada catatannya sebagai berikut:
“Negeri Atlantis dikelilingi oleh pegunungan, dan lebih tinggi dari permukaan laut. Mengandung gunung berapi, dan sering terkena gempa dan banjir. Gunungnya mengandung emas, perak, tembaga, dan timah, dan gabungan alami dari emas dan tembaga yang disebut orichalcum”.
Namun sayangnya kerajaan Hastina dan Indraprasta yang makmur dan beperadaban tinggi tidak berlangsung lama karena terjadi perang Bharata Yudha, antara pihak Pandawa (kerajaan Indraprasta) dan pihak Kurawa (kerajaan Hastina) yang melibatkan senjata berteknologi tinggi (senjata sejenis nuklir). Paska Perang Baharata Yudha, baik kerajaan Hastina maupun Indraprasta kedua-duanya mengalami kerusakan yang parah akibat penggunaan senjata pemusnah massal, dan paparan debu radio aktif yang telah membinasakan sebagian penduduknya dalam area yang luas.
Paska Perang Bharata Yudha, kerajaan Hastina dan Indraprasta selanjutnya disatukan di bawah kekuasaan Pandawa sebagai pihak pemenang, dengan pusat kerajaannya di Indraprasta (Nusantara). Pandawa bersama sesepuh bangsa Bharata juga memutuskan untuk menghancurkan segala jenis senjata pemusnah massal dan tidak lagi mengembangkan iptek, karena menyadari akibatnya yang berujung pada peperangan.
Paska perang Bharata Yudha, dikisahkan Prabu Yudistira (Pandawa) tidak lama memerintah di kerajaan Hastina dan Indraprasta, karena mereka memutuskan untuk mundur (mandeg pandito), dan menyerahkan tahta kerajaan kepada Parikesit (cucu Arjuna). Setelah Prabu Parikesit, kerajaan Hastina dan Indraprasta masih berlangsung selama 3 (tiga) generasi lagi, yakni: Prabu Yudayana, Prabu Yudayaka, dan Prabu Gendrayana sebagai raja terakhir (diperkirakan terjadi sekitar 8.900-8.800 SM).
Pada masa pemerintahan Prabu Gendrayana inilah terjadi peristiwa gempa bumi dan letusan gunung berapi yang dahsyat, sehingga mengakibatkan tsunami dan banjir besar yang menenggelamkan pusat kerajaannya di Indraprasta (Nusantara). (diperkirakan terjadi sekitar 8.800 SM). Peristiwa banjir besar ini diperkirakan dipicu juga oleh terjadinya pemanasan global dampak Perang Bharata Yudha, yang menyebabkan pencairan es di Kutub Utara dan Selatan, atau disebut oleh para ilmuwan sebagai periode akhir zaman Es, dan mengakibatkan kenaikan muka air laut setinggi lebih dari 100 m. Pusat kerajaan Indraprasta (Atlantis) diperkirakan berlokasi di sekitar Laut Jawa dan selat Karimata, dan sebagian lagi berpendapat berlokasi di Selatan Pulau Bali.
Dalam catatannya Plato mengisahkan “Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut, negara besar yang melampaui peradaban tinggi, lenyap dalam semalam”.
Dalam peristiwa ini, pusat peradaban bangsa Atlantis di Nusantara, berikut bangunan-bangunan berteknologi tinggi tenggelam ke bawah permukaan air laut. Sedangkan bangunan berteknologi tinggi lainnya yang tersisa pada wilayah daratan, sejalan dengan waktu, dan akibat bencana letusan gunung berapi yang kerapkali terjadi di wilayah Nusantara, menjadi ikut terkubur di bawah permukaan tanah. Dalam hal ini, Bangunan situs Gunung Padang, di Cianjur diduga merupakan salah satu bangunan yang tersisa dari peradaban Atlantis (Bangunan ini diperkirakan berusia 10.000 tahun).
Sebagian besar penduduk kerajaan Atlantis (di Nusantara) mengungsi/eksodus dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Penduduk Atlantis yang eksodus ini selanjutnya menjadi cikal bakal dari perkembangan budaya dan iptek yang ada di wilayah Mesopotamia/Sumeria (5.500-2.500 SM), Mesir Kuno (3.150 SM), India Kuno (2.800-1.800 SM), yang oleh sebagian para ilmuwan sebagai kebudayaan tertua di dunia. Adapun sisa-sisa penduduk Atlantis yang masih bertahan di wilayah Nusantara, menyebar menuju wilayah daratan (pulau-pulau) yang tidak tenggelam, dan saat ini dikenal sebagai Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.
Kisah selanjutnya, yang mungkin masih menjadi tanda tanya dari pembaca adalah perihal awal dari munculnya kembali kerajaan di Nusantara.
Berdasarkan beberapa narasumber menyatakan bahwa sejak periode 8.800 SM hingga sekitar 5.000 SM, belum ada sebuah kerajaan yang muncul di wilayah Nusantara. Periode selama sekitar 3.800 tahun ini disebutkan sebagai masa perenungan dari sisa-sisa bangsa Atlantis di Nusantara. Mereka bepegang teguh untuk tidak lagi mengembangkan iptek dan berpedoman hidup untuk selaras dengan alam, atau dalam istilah sekarang dikenal sebagai “Back to nature”, serta berfokus pada pendekatan diri kepada Tuhan YME (spiritual).
Kemudian pada periode tahun 5.000 SM, dikisahkan muncul kembali raja pertama di Nusantara bernama Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya, dengan pusat kerajaannya di daerah yang saat ini disebut dengan Parahyangan. Adapun arti kata Parahyangan sendiri terdapat beberapa penafsiran, pertama yaitu Pa = tempat; Ra = Cahaya (Sinar); Hyang = Tuhan; kedua yaitu Pa berasal dari singkatan nama Parikesit cucu dari Arjuna; RaHyang = Raja pandita (raja yang juga merupakan Guru Spiritual). Disebutkan bahwa Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya adalah turunan ke-55 dari Prabu Gendrayana (buyut dari Prabu Parikesit).
Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manik Maya selanjutnya berputra Maha Ratu Resi Prabu Sindhu LaHyang. Prabu Sindhu inilah yang menyebarkan ajaran SUNDAYANA (ajaran dari Sang Avatar Sri Krishna) hingga menjadi agama utama di seluruh kerajaan Nusantara. Beberapa narasumber menyatakan bahwa Prabu Sindhu disamping sebagai raja, beliau juga seorang Guru Spiritual (Ratu Pandita), dan ada juga yang menyebutkan bahwa beliau adalah nabi yang diutus Tuhan YME. Ajaran Prabu Sindhu (SUNDAYANA) hingga saat ini sebagian masih melekat pada ajaran/agama asli leluhur Nusantara (sebelum kedatangan agama Hindu dari India), antara lain: ajaran Sunda Wiwitan, Kejawen, Hindu Bali, serta beberapa aliran kepercayaan yang ada di Pulau Jawa, Bali, dan wilayah lainnya di Nusantara.
Tidak hanya di Nusantara, Prabu Sindhu juga menyebarkan ajaran SUNDAYANA hingga ke negeri Jepang, dan ajarannya diberi nama Sinto, kemudian juga ke India dengan nama ajaran Shindu dan kemudian berganti nama menjadi Hindu. Dengan demikian terdapat kekeliruan sejarah yang selama ini diajarkan di sekolah, bahwa sesungguhnya asal dari agama Hindu bukan dari India, melainkan dari negeri kita ini (Nusantara). Oleh karena itulah, agama Hindu yang ada di Indonesia (misal Hindu Bali) tidak sama dengan agama Hindu yang ada di India. Demikian juga apa yang disebut sebagai agama Hindu yang banyak dianut masyarakat pada zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu tidak sama dengan agama Hindu yang ada di India.
Demikianlah kisah kerajaan di Nusantara pada tahun 5.000 SM hingga awal zaman Kaliyuga (224 SM). Sebagian berpendapat, bahwa bentuk kerajaan pada masa itu tidak sama dengan bentuk kerajaan secara umum. Karena kerajaan di Nusantara pada masa itu mirip sebagai padepokan atau pusat kegiatan pendidikan spiritual yang mendunia. Sebagai kerajaan yang dihormati oleh seluruh bangsa-bangsa dan raja-raja di seluruh dunia. Bahkan dikisahkan, bahwa semua raja di seluruh dunia perlu mendapat restu dan dilantik oleh raja Nusantara yang disebut sebagai Ratu Pandita. Dan ada yang menyebutkan bahwa tempat pelantikan para raja di seluruh dunia ini, berlokasi di situs Gunung Padang, Cianjur (saat ini)?
Selanjutnya pada awal zaman Kaliyuga, periode awal tahun Masehi dikisahkan lagi bahwa wilayah Nusantara dipimpin oleh seorang raja agung nan bijaksana bernama Prabu Angling Darma, yang dikenal juga oleh masyarakat Jawa Barat sebagai Aki Tirem Luhur Mulya. Beberapa narasumber kami menyatakan bahwa Prabu Angling Darma ini adalah turunan ke-70 dari Prabu Sindhu LaHyang. Dengan demikian, bila silsilahnya ditelusuri lebih jauh akan sampai ke Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit).
Hal yang unik adalah perihal makam Prabu Angling Darma yang diakui berada di 4 (empat) lokasi, yaitu: di Cihunjuran (Banten), Sumedang (Jawa Barat), Pati (Jawa Tengah), Bojonegara (Jawa Timur). Bila kita mengacu pada kisah sebelumnya, bahwa pusat kerajaan Nusantara yang dipimpin oleh Prabu Sindhu berlokasi di daerah Parahyangan, maka silakan pembaca memperkirakan sendiri dimana lokasi sebenarnya dari makam Prabu Angling Darma!!!. Terdapatnya pengakuan dan cerita masyarakat di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa) tentang Prabu Angling Darma, menunjukkan bahwa sesungguhnya wilayah kekuasaan Prabu Angling Darma atau Aki Tirem paling tidak meliputi wilayah seluruh Pulau Jawa, bahkan mungkin meliputi seluruh wilayah Nusantara, karena beliau adalah generasi penerus dari Prabu Sindhu yang merupakan Ratu Pandita yang dihormati oleh para raja di seluruh dunia.
Sebagai generasi penerus Prabu Sindhu, diperkirakan Prabu Angling Darma juga merupakan seorang Ratu Pandita (raja sekaligus pimpinan spiritual), sehingga bentuk kerajaannya tidak sama dengan kerajaan secara umum, namun lebih mirip sebagai padepokan atau pusat kegiatan pendidikan spiritual. Oleh karena itulah, dalam Naskah Wangsakerta, Aki Tirem atau Prabu Angling Darma tidak disebut sebagai raja, namun disebut sebagai Penghulu.
Pada masa pemerintahan Prabu Angling Darma inilah dimulai berdirinya kerajaan pertama di Nusantara (dalam arti bentuk kerajaan secara umum) bernama Salakanagara. Dalam Naskah Wangsakerta, disebutkan bahwa Salakanagara merupakaan kerajaan tertua di Nusantara, yang berdiri tahun 130/131 M dengan raja pertamanya bernama Dewawarman I, dan pusat kerajaannya (ibu kota) di Rajatapura yang terletak di pesisir Barat Pandeglang (saat ini). Dikisahkan bahwa Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat bernama Aki Tirem Luhur Mulia atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Angling Dharma dalam nama Hindu dan Wali Jangkung dalam nama Islam.
Kerajaan Salakanagara disebutkan dalam catatan Cina sebagai kerajaan Koying yang ditulis oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po. Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau.
Gambaran tentang kerajaan Koying ini dalam catatan Cina sama dengan kondisi ibukota kerajaan Salakanagara, yaitu Rajataputra. Penamaan Koying dalam catatan Cina diduga merupakan singkatan dari Ka dan Yin. Ka = gunung Karang (di daerah Pandeglang); Yin = sebelah selatan lereng gunung. Contoh: Huayin, artinya di sebelah utara/selatan gunung Hua. Dan memang Rajataputra ibukota Salakanagara terletak pada lereng selatan gunung Karang (di daerah Pandeglang dan merupakan gunung berapi). Baca perihal penggunaan nama Yin pada suatu tempat di https://id.wikipedia.org/wiki/Yin_dan_Yang.
Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah siapakah sebenarnya Dewawarman I yang disebutkan dalam Naskah Wangsakerta? Beberapa narasumber kami menyatakan bahwa beliau tidak lain adalah Aji Saka yang juga dikenal dan banyak diceritakan oleh masyarakat baik di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Adapun yang masih rancu dalam sejarah adalah perihal silsilah Prabu Angling Darma yang disebutkan sebagai putra dari Prabu Jayabaya (Kerajaan Kediri). Bagaimana mungkin Prabu Jayabaya yang lahir tahun 1.135 M wafat tahun 1.179 M, melahirkan anak yang lahir pada periode sekitar awal tahun masehi ?
Bagaimanapun perihal silsilah Prabu Jayabaya yang menyebutkan beliau adalah keturunan Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit) mungkin ada benarnya. Karena sesungguhnya semua raja di Nusantara, termasuk Prabu Jayabaya adalah keturunan dari Dewi Pwahacaci Larasati (putri Prabu Angling Darma), keturunan dari Prabu Sindhu La Hyang, dan keturunan dari Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit), dan juga keturunan dari Aji Saka (Dewawarman I) atau menantu Prabu Angling Darma yang menjadi raja pertama kerajaan Salakanagara.
Hal yang selanjutnya mungkin menjadi pertanyaan pembaca adalah siapakah sesungguhnya Aji Saka? Mengapa Prabu Angling Darma yang sudah memiliki kekuasaaan luas di pulau Jawa bersedia menikahkan putrinya Dewi Pwahaci Larasati kepada seorang pendatang yang hanya seorang pedagang/perantau dari negeri Pallawa, dan menjadikannya raja Salakanagara?
Beberapa narasumber kami menyatakan, bahwa ini disebabkan oleh masih adanya kekerabatan (tali persaudaraan) antara Aji Saka dengan Prabu Angling Darma. Bila dirunut jauh silsilah dari Aji Saka sesungguhnya adalah turunan dari Nabi Ishak a.s. bin Nabi Ibrahim a.s. Lihat juga https://kanzunqalam.com/2011/05/09/legenda-ajisaka-mengungkap-zuriat-nabi-ishaq-di-nusantara/
Saka sering disebutkan juga sebaga bangsa Scythian atau Sacae, yang merupakan keturunan dari 10 suku Israel yang hilang. Sebagaimana sumber yang dikutip sebagai berikut:
“Nama Abraham dan Ishak akan terus disebut dimanapun mereka bermukim, Brahman dan Saka misalnya. Hal Ini juga tercantum dalam Injil Perjanjian Lama, bahwa keturunan Abraham akan terindikasi dari keturunan (=nama) Ishak (Kejadian 21:12) .....nama nenek dan bapaku, Abraham dan Ishak, termasyhur oleh karena mereka dan sehingga mereka bertambah-tambah menjadi jumlah yang besar di bumi. (Kejadian 48:16)”.
Demikianlah, sesungguhnya Aji Saka adalah turunan langsung dari Nabi Ishak a.s. bin Nabi Ibrahim a.s. yang menetap di negara Pallawa (Bharata) India.
Pertanyaan selanjutnya, lantas apa hubungan tali persaudaraan Prabu Angling Darma dengan Aji Saka?
Masih berdasarkan narasumber yang sama menyatakan, bahwa paska tengelamnya pusat Kerajaan Hastina dan Idraprasta (di Nusantara), salah seorang putera dari Prabu Gendrayana ada yang ikut mengungsi (eksodus) ke wilayah Mesopotamia/ Summeria dan menjadi leluhur dari Nabi Ibrahim a.s. Hal ini adalah sesuai dengan catatan saya tentang Sejarah Agama (Bagian-2) yang menyatakan bahwa kebudayaan Sumeria yang merupakan evolusi dari kebudayaan Samarra berasal dari Nusantara (penduduk Nusantara/ Atlantis yang eksodus). Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa temuan dan hasil penelitian yang ada.
Dalam catatan saya tentang Sejarah Agama (bagian-2) juga disebutkan bahwa leluhur Nabi Ibrahim a.s di wilayah Mesopotamia/Summeria pada awalnya beragama SUNDAYANA, yang merupakan ajaran monotheisme (percaya pada Tuhan YME) dan disebarkan oleh para murid Prabu Sindhu. Bukti peninggalan ajaran SUNDAYANA di Timur Tengah dapat dijumpai hingga saat ini dalam bentuk Kuil dan bangunan-bangunan suci yang bercirikan simbol Matahari dan Bulan (Surya dan Chandra). Namun seiring dengan perjalanan waktu (dari periode zaman Prabu Sindhu sekitar tahun 5.000 SM hingga tahun kelahiran Nabi Ibrahim a.s yaitu sekitar tahun 1.997 SM) atau dalam rentang waktu sekitar 3.000 tahun, agama SUNDAYANA ini telah banyak menyimpang. Masyarakat Mesopotamia/ Summeria pada zaman Nabi Ibrahim a.s. percaya kepada banyak Dewa, dan menyembah berhala seperti dijelaskan dalam kitab suci Al Qur’an.
Hingga akhirnya Tuhan YME mengutus Rasul-Nya Nabi Ibrahim a.s. untuk mengembalikan ajaran yang lurus dan bersumber langsung dari Tuhan YME. Kisah tentang Nabi Ibrahim a.s dapat dibaca dalam Kitab Suci Al Qur’an dan Kitab Injil (Perjanjian Lama). Selanjutnya, dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim a.s berputra Nabi Ishak a.s. dan Nabi Ismail a.s. Nabi Ishak a.s. berputra Nabi Yakub a.s., dan Nabi Yakub a.s berputra 12 (dua belas) orang, salah satunya adalah Nabi Yusuf a.s.
Dari putra Nabi Yakub a.s ini selanjutnya menurunkan bangsa/bani Israel dan membentuk negara Israel, yang pada awalnya terdiri dari 12 (dua belas) suku, sesuai jumlah putra dari Nabi Yakub a.s. Seiring dengan perjalanan waktu, selanjutnya negara Israel ini pecah menjadi 2 (dua) bagian, yaitu negara Israel Utara (keturunan dari 10 suku bani Israel, termasuk turunan dari Nabi Yusuf a.s.), dan negara Israel Selatan (keturunan dari 2 suku bani Israel, yakni Yehuda dan Benyamin, dan dikenal juga sebagai orang Yahudi).
Negara Israel Utara selanjutnya diserbu oleh kerajaan Asyur, sebagian penduduknya diangkut sebagai tawanan, dan sebagian lagi mengungsi menyebar ke wilayah negara di sekitarnya. 10 suku yang berasal dari negara Israel Utara inilah selanjutnya yang disebut sebagai suku Israel yang hilang, karena keberadaanya sudah sulit diketahui lagi. Adapun kerajaan Israel Selatan juga hancur diserbu oleh kerajaan Babel. Semua penduduknya ditawan, namun mereka masih tetap bersatu sehingga keberadaannya mudah dilacak/ diketahui, dan saat ini dikenal sebagai orang Yahudi.
Adapun Aji Saka yang dikisahkan merupakan seorang pedagang/perantau dari Pallawa (India) adalah keturunan dari 10 suku bangsa Israel yang eksodus dan kemudian menetap di daerah Pallawa (India). Dengan demikian, bila dirunut silsilahnya Aji Saka adalah keturunan dari Nabi Ibrahim a.s. dan bila dirunut lebih jauh lagi, akan berujung pada Prabu Gendrayana (buyut Prabu Parikesit). Artinya, memang masih ada tali persaudaraan antara Aji Saka (Prabu Dewawarman I) dengan Prabu Angling Darma atau Aki Tirem, karena keduanya adalah turunan dari Prabu Gendrayana.
Hal inilah yang membuat Prabu Angling Darma yang merupakan penguasa kerajaan Nusantara ketika itu, mempercayai Aji Saka untuk menikahi putrinya Dewi Pwahaci Larasati, dan menjadikannya raja di Nusantara, yang kerajaannya diberi nama Salakanagara. Adapun penamaan Salakanagara sendiri sebenarnya merupakan singkatan dari nama Prabu Sindhu LaHyang yang merupakan leluhur dari Prabu Angling Darma, dan Saka (zuriyat/keturunan Nabi Ishak a.s).
Dari semua penjelasan di atas maka dapat disimpulkan, bahwa Aji Saka atau Dewawarman I yang disebutkan dalam naskah Wangsakerta sebagai raja pertama kerajaan Salakanagara, serta Prabu Angling Darma atau Aki Tirem adalah leluhur dari semua raja di Nusantara. Aji Saka lah yang menurunkan para raja dinasti Warman (Purnawarman di kerajaan Tarumanagara dan Mulawarman di kerajaan Kutai), dan selanjutnya menurunkan para raja di Nusantara (termasuk raja Sriwijaya dan Majapahit). Secara lengkap kisah para raja sejak Dinasti Warman hingga periode Mataram Islam dapat dibaca dalam buku sejarah, atau dalam catatan saya berjudul “Sejarah dan Silsilah Kemaharajaan Sunda Nusantara”.
Demikianlah, kisah awal mula dan silsilah dari leluhur para raja di Nusantara. Semoga kisah ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat Nusantara untuk lebih mengenal jatidiri bangsa ini yang merupakan bangsa yang besar. Karena dari negara kita inilah semua peradaban dunia bermula, termasuk para Nabi dan Rasul bila dirunut silsilahnya akan kembali ke tanah leluhurnya, yakni di bumi Nusantara ini.
Marilah kita sama-sama untuk mengembalikan kejayaan bangsa kita. Janganlah kita menjadi bangsa yang bodoh (belegug) yang mudah dipengaruhi oleh doktrin-doktrin agama yang memecah belah kerukunan bangsa. Ingatlah, bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu !!!, karena bersumber pada Tuhan yang satu. Adapun yang membuat adanya perbedaan, adalah karena faktor manusianya yang salah mengartikan dan memahami ajaran agama yang disampaikan oleh para Nabi/Rasul Allah, dan para Avatar.
Sebagai acuan bagi para pembaca, bahwa untuk membedakan atau mengenal ajaran mana yang sesungguhnya bersumber dari Tuhan YME, hanya satu kuncinya, yaitu pastilah ajaran tersebut memiliki prinsip dasar Kasih Sayang !!!. Oleh karena itulah, dalam setiap surah dalam kitab suci Al Qur’an selalu diawali dengan kalimat “Bismillahirrohmanirrohim”, yang artinya “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Dengan demikian, bila ada pimpinan agama/ulama/pendeta yang menganjurkan kebencian atau permusuhan, dapat dipastikan itu adalah doktrin, dan bukan merupakan ajaran sesunguhnya yang bersumber dari Tuhan YME.
Pada masa lalu, doktrin ini sengaja dimasukkan oleh para pimpinan agama atau para penguasa, yang disebut sebagai ayat-ayat atau hadis-hadis palsu. Mereka juga, mencampur adukkan antara ayat satu dengan ayat lainnya sehingga penafsirannya mennjadi berbeda dengan makna awalnya, bahkan menjadi membingungkan bagi para pembacanya. Mereka sengaja memasukan doktrin tersebut, agar umatnya merasa bahwa ada ancaman terhadap agama mereka, atau dalam istilah politik dikenal sebagai menciptakan “musuh bersama”. Pada gilirannya doktrin ini menjadi alat para penguasa atau pimpinan agama untuk mengumpulkan dana/sumbangan dari masyarakat (umat beragama) yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaanya, dan bahkan digunakan untuk membiayai peperangan dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya.
Bila kita mau berfikir jernih, marilah kita renungkan beberapa pertanyaan berikut:
Apakah mungkin ada ancaman terhadap agama yang sesungguhnya bersumber dari Tuhan YME dan mengajarkan tentang Kasih Sayang???
Apakah benar Tuhan Yang Maha Maha Besar dan Maha Maha Kuasa perlu dibela??? Sementara kita ini hanya sebutir debu yang tidak berarti di hadapan-Nya.
Apakah para Waliyullah di Nusantara zaman dahulu menyebarkan agama Islam melalui peperangan. Jelas tidak!!! Mereka berdakwah dengan mengajarkan perilaku ahlak mulia yang berlandaskan Kasih Sayang.
Bila anda seorang beragama Kristen, kemudian anda diancam akan dipukuli agar berpindah agama menjadi Islam. Apakah anda bersedia pindah agama??? Bila anda merasa tidak takut, jelas akan mengatakan tidak,. Sedangkan bila anda merasa takut disakiti, mungkin saja anda mengatakan bersedia. Namun bersedia sebatas hanya di mulut saja, sedangkan di hati jelas mengatakan tidak. Karena agama adalah masalah keyakinan yang adanya di hati. Dan tidak ada yang dapat menyentuh hati kita, melainkan hanya melalui Kasih Sayang, yang sumbernya berasal dari Tuhan YME sendiri.
Sebagai penutup, marilah kita dengarkan dan saksikan video berikut, agar dapat lebih merasakan kebesaran bangsa Nusantara kita yang tercinta.
- SEKIAN -